Senin, 06 Mei 2013

Culture , Globalisasi, Mediation by William Mazzarella


Culture , Globalisasi, Mediation
by
William Mazzarella
Oleh Akhmad Ali

Pertemuan hari ini akan mencoba membahas sebuah tema tentang globalisasi, dimana sebelumnya terdapat dalam  sebuah studi di media dan budaya.  Adanya sebuah kelemahan dalam pembahasan yaitu kebuntuan terhadap sebuah substansi dan essensialis dalam sebuah model budaya.

Pada pertemuan hari ini kami akan mengeksplorasi hubungan antara sebuah proposisi
1.    Globalisasi harus mendorong seorang antropolog untuk berpikir hati-hati tidak saja tentang media. Namun umum, mediasi sebagai konstitutif dalam proses sosial.
2.    Budaya politik dari globalisasi, serta melibatkan sebuah hubungan yang bertentangan dengan mediasi.
3.    Adanya sebuah ketegangan yang bergulat didalamnya, sehingga akan membingungkan konsep budaya.
4.    Etnografi kritis sebagai sebuah alat untuk politik globalisasi untuk mediasi , disini nilai sering di produksi dan diperebutkan dalam budaya.
Sebuah media adalah kerangka material, bisa digunakan dalam membatasi dan menghimpun sosial.
Disamping itu media sebagai tekhnologi dan membuat masyarakat dapat dibayangkan sebagai bentuk representasi.

Introduction
Mediasi adalah sebuah proses yang kemudian diberikan serta memproduksi dan mereproduksi secara social dalam dirinya sendiri melalui media.
Banyak yang mengatakan globalisasi adalah kemunculan dari kekecewaan modernis.
Marx and Angel mengatakan famous phrase, “All that is solid melts into air.” Dan ini sebuah analitis yang berbeda.

SOMETHING HAPPENED

By the early 1990s, many anthropologists, responding to the globalist provocation, found a path back to ethnography by studying what Appadurai (1996) has called “the production of locality”—that is, our informants’ habitual (and not so habitual) practices of representing culture. Drs. Clifford, Marcus, and Fischer had prescribed greater reflexivity.

Hal ini etnografi kritis muncul karena adanya sebuah hubungan antara media dan budaya.
Dalam hal ini memunculkan adanya tuntutan untuk memahami sebuah interaksi yang kompleks yang melibatkan media dalam hal reproduksi sosial.

Sebuah dunia setelah globalisasi adanya sebuah kebudayaan yang berserakan, sehingga Appudurai menulis Appadurai writes of a new generaliz`ed “culturalism,” Poster (2001) menyatakan budaya sekarang ini telah menjadi sebuah masalah bagi semua orang.
Tomlinson (1997) menungkapkan bahwa globalisasi mengungkapkan pula masalah poliyik dan konsepsi dari sebuah asumsi sebenarnya budaya.
Namun selain antropologi sebuah hal baru sseperti  teori dari gejala sosial, di linguistik, simbolik atau postmodern hal ini dinamakan fase kapitalisme (Lyotard)

Banyak para antropolog atau sarjana menyatakan adanya sebuah wacana yang berhubungan globalisasi dan budaya sendiri. Dan semuanya menjadikan sarana infrastruktur dan sebuah tanda( Barker, 1997)

Disini saya menemukan sebuah serta mengebangkan beberapa pemikiran umum tentang media dan mediasi sebagai objek penelitian etnografi sendiri. Sebuah pemikiran sebagai antropolog yang baik serta untuk menggerakan kita dari kebuntuan intelektual.
Appadurai (1996), for example, highlights the disorienting “disjunctures” between    conceptual entities , economy, politics, culture, whose stability and mutual determinations models .

Sebuah keyataan bahwa tehnologi adanya hubungan erat terkait dengan profesionalsime, kepentingan politik, dan ekonomi yang semuanya memobilisasi serta mengatur media global(globalisasi). Dan hal ini adanya sebuah kapitalisasi yang membedakan budaya, karena diproduksi, dikelola secara global(dibentuk)

Locality , Proximity , Hybridity

Bagaimana kita mensubstantialiskan budaya, bagaimana kita membayangkan sebuah analisis lokal dan media. Media massa adalah adalah sebuah alat yang telah dibentuk oleh dunia local.

Local disini merupakan sebuah pandangan yang terdiri dari beberapa nilai budaya dan praktek yang kemudian media harus bisa beradaptasi agar dapat menarik penonton. Adakalanya pula media bisa dipahami sebagai dampak dari dunia lokal baik bersifar manfaat bahkan merusak.

Adanya sebuah proses ritual tradisional misalnya ditayangkan di media. Tentunya ini adalah sudah dilakukan sebuah mediasi dengan sebuah mekanisme dan objektifikasi serta penerjemahannya. Dan disini terjadi sebuah pertemuan antara Budaya dan Media.

Contoh . adaptasi lokal dari global beredar seperti jenis hiburan, sinetron, talk show dan berita (Abu Lughod 1995)
Film Oshin misalnya cocok di Negara Jepang , tapi oshin tidak cocok di Iran.

Hybriditas adalah sebuah momok dikarenakan pada globalisasi ajakan kompleksitas  seperti dirancang untuk memungkinkan adanya sebuah pengambilan tradisional ke modern. Disini etnografer dapat beribicara untuk dijadikan sebagai mediasi sekaligus dapat mengenali perbedaan konstitutif reprodusksi sosial.





Mediation And Media
Mediasi itu memproduksi dan mereproduksi konfigurasi dari jarak dekat. Pemahaman pada diri sendiri melalu sebuah impersonal. pemahaman aktualitas didasarkan politik budaya. Dengan mengambil proses sosial yang diberikan mediasi sebagai praktis politik, etnografis berbicara, untuk menghadiri ke tempat-tempat mediasi, tempat di mana kami datang untuk menjadi diri kita melalui jalan memutar dari sesuatu yang asing untuk diri kita sendiri, tempat di mana kita mengenali perbedaan itu sekaligus konstitutif

Studi Globalisasi, bertentangan dengan superficial, mengumumkan tidak akhir budaya maupun akhir perbedaan. Sebaliknya, mereka mengingatkan kita bahwa budaya adalah efek dari proses sosial mediasi bahwa proses mediasi selalu bergulat dengan indeterminacies internal maupun eksternal provokasi, dan bahwa pelaku sosial sadar atau tidak sadar mencoba untuk mengelola atau memperbaikinya minacies indeter dan provokasi melalui skema tereifikasi identitas budaya dan perbedaan budaya. Bahwa seperti "memperbaiki" sekaligus penting dan mungkin merupakan salah satu aturan dasar dari politik budaya.

Mediasi memproduksi dan mereproduksi configurations , sebuah pemahaman lebih jauh tentang mediasi dipahami tentang bergantung pada pribadinya. Dari dekat sebuah dialektik adanya keterlibatan dan keterasingan yang melekat pada budaya politik itu sendiri. Dan ini bukanlah sebuah teori yang esensial atau sebuah issu.

0 komentar:

Posting Komentar