This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 07 Oktober 2013

CLAUDE LÉVI-STRAUSS "STRUCTURAL ANALYSIS IN LINGUISTICS AND ANTHROPOLOGY" (1945) Akhmad Ali



Levi-Strauss mulai dengan menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu sosial dan mungkin sangat baik kemudian menjadi"Hanya satu yang dapat mengklaim menjadi ilmu" (31), setelah "dicapai baik perumusan metode empiris dan pemahaman tentang sifat dari data yang diajukan kepada para analisis "(31). Disiplin lain, psikologi terutama, sosiologi dan antropologi yang belajar dari linguistik modern "jalan yang mengarah ke pengetahuan empiris social Fenomena "(31). "Analogi metodologis dekat yang ada antara dua disiplin [yaitu linguistik dan antropologi] membebankan kewajiban khusus kolaborasi atas mereka "(32). Levi-Strauss yang paling tertarik pada "bantuan yang linguistik dapat membuat ke antropolog dalam studi kekerabatan "(32) yang, menurutnya, yang paling Struktur dasar dari hubungan sosial bersama oleh manusia dan yang membedakan umat manusia dari hewan lain Jelas, untuk Levi-Strauss, pemahaman sifat sistem kekerabatan harus memberikan wawasan penting dalam sifat masyarakat secara keseluruhan dan, akhirnya, sifat manusia.

Minggu, 22 September 2013

The Rules of Socilogical Method Emile Durkheim Akhmad Ali


Pada pembahasan Fakta sosial, Durkheim mengatakan bahwa sesuatu hal yang mengikat individu serta di luar individu, tidak bisa dibantah, dan biasanya merupakan proses imitasi, adanya penyebaran atau difusi cara bertindak. Fakta sosial juga merupakan kesadaran kolektif (l’amme collective), yaitu bentukan dari segala macam peleburan state pada individu-individu. Apabila fakta social(sosial fact) menyatu dengan kemauan individu (individual manifestation/own right independent) maka hal ini disebut dengan fakta psikologis. Lalu, kita hanya membicarakan tentang peraturan-peraturan (nilai dan norma) yang mengekang kolektif tersebut maka disebut dengan fakta psikologis.
Kemudian pembahsan kedua yakni mengenai obeservasi sosial, pada bab ini dibahas mengenai beberapa persoalan. Pertama, dibahas mengenai bagaimana sosiologi itu sendiri bertindak sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Sosiologi disini juga dibahas sebagai suatu ilmu yang bebas nilai. Dan keharusan sosiologi sebagai suatu ilmu untuk memiliki tujuan, yakni sebagai alat untuk menelaah fakta-fakta sosial.
Pembahasan ketiga,  yakni mengenai membedakan sesuatui yang dianggap normal dengan sesuatu yang dianggap tidak normal dan patologis. Maksud dari sesuatu hal dianggap normal adalah sesuatu yang disetujui secara kolektif, sedangkan hal yang dianggap tidak normal adalah segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan kolektif. Namun yang perlu menjadi perhatian seperti yang tercantum dalam pembahasan bab ini yakni mengenai keharusan jua untuk melihat konteks sosial juga yang ada untuk dapat memutuskan hal-hal yang normal atau abnormal tersebut.
Pembahasan keempat, yang dibahas di bab selanjutnya membahas mengenai bagaimana caranya melakukan sebuah klasifikasi sosial. Ada dua sifat dari klasifikasi, yaitu klasifikasi yang  datau kaku serta klasifikasi yang bercampur. Lalu, hasil dari klasifikasi ini ada dua, yaitu social morphology dan social evolution. Klasifikasi yang pertama menunjukan didalam masyarakat adanya solidaritas, kerja sama, dan hubungannya yang baik dengan alam sedangkan klasifikasi yang kedua menunjukan dalam  masyarakat adanya yang ditengarai sebagai kerja sama kontraktual, dan hubungannya yang relatif terhadap alam.
Pembahasan kelima, yakni dibahas mengenai bagaimana caranya menjelaskan fakta sosial. Dijelaskan bahwa, fakta sosial  merupakan hal yang dapat dijelaskan melalui hubungan kausalitas atau sebab akibat. Fakta sosial juga dijelaskan sebagai produk tambahan dari fakta psikologis (kesadaran, sensasi, refleks, dan insting individu) tetapi tidak menjadikan fakta psikologis sebagai acuan utama untuk menyelesaikan suatu fenomena sosial. Ada pula alat ukur untuk menentukan fakta sosial, yaitu social millieu. Ada dua alat ukur, yaitu dynamic density serta physical density. Pertama adalah seberapa besar takaran hubungan sosial dibandingkan dengan kepentingan. Kedua adalah alat ukur numerik (pasti) dari perubahan komunikasi. Alat ukur pastinya adalah seberapa besar dialog ataupun monolog yang terjadi pada interaksi sosial tersebut.
Dan hal keenam atau hal yang terakhir dibahas dalam buku ini yakni dibahas mengenai bagaimana melakukan sebuah pembuktian secara sosiologis. Metode yang ditawarkan adalah metode komparatif, yaitu membandingkan hubungan sebab dan akibat. Hubungan yang terjadi haruslah terjadi secara dua arah, serta sebab atau akibat yang ada harus lebih dari satu buah. Metode ini berasal dari pemikiran Comte tentang metode historis yang menjadikan keteraturan sosial (teleologis) bertahap menjadi tiga bagian, yaitu teologis, epistemologi, dan aksiologis. Lalu, metode lainnya berasal dari Mill yang mengutip system of logic, dan sebenarnya hal tersebut merupakan pengandaian ilmu ekonomi sebagai ilmu praktis yang mempunyai tujuan tertentu. Metode dari Mill tersebut menginspirasikan adanya hubungan kausal yang tidak hanya berasal dari sebab pertama yang mengakibatkan sebab pertama. Metode kedua adalah metode asosiasi. Metode ini merupakan metode perbandingan antar variabel yang terdapat pada judul penelitian. Metode terakhir yakni mengenai metode deduktif. Metode deduktif, adalah metode yang menitikberatkan kepada hal yang umum lalu kepada hal yang khusus. Artinya, kita harus memakai teori dahulu serta hipotesis untuk menduga secara baik, dan hasil akhirnya diukur melalui sebuah rangkaian uji teori, dan konsep.

Rumusan-rumusan Durkheim yang disatukan dalam The Rules of Sociological Method awalnya didasari oleh keinginan untuk menghasilkan teori-teori sosiologi dengan aturan dan disiplin ilmu alam (science). Durkheim mengkritik pendahulunya, Auguste Comte dan Herbert Spencer yang meskipun telah membuka jalan ke arah positivisme, keduanya masih mendasarkan teori-teorinya pada spekulasi dan ide-ide yang belum tentu merepresentasikan benda-benda konkret yang seharusnya menjadi dasar objek penelitian sosiologi.
Maka, sebagaimana kalimat Durkheim yang dikutip pada bagian awal tulisan ini, langkah pertama dalam penelitian sosiologi adalah memperlakukan fakta sosial sebagai benda konkret yang bisa dilihat dan diteliti.
Dari sini sudah terlihat bagaimana Durkheim menjadikan kegiatan melihat dan meneliti fakta sosial sebagai dasar dalam sosiologi. Dengan demikian, sebuah kesimpulan atau teori dalam sosiologi akan lahir dari proses mengenali fakta sosial, meneliti, mendeskripsikan apa yang dilihat, dan membandingkan antar fakta sosial tersebut. Sosiologi bukan sebuah ilmu yang didasarkan pada pendapat atau spekulasi yang didapatkan secara turun -temurun atau pendapat umum masyarakat yang dianggap merepresentasikan realitas.
Pertanyaannya kini adalah, sebelum kita melihat dan memperlakukan fakta sosial sebagai benda, bagaimana kita menentukan mana yang disebut sebagai fakta sosial dan mana yang bukan. Durkheim telah membuat beberapa batasan tentang hal ini. Menurutnya, tidak setiap hal yang terjadi di masyarakat bisa disebut sebagai fakta sosial. Sebuah fenomena bisa menjadi fakta sosial dan menjadi obyek penelitian sosiologi jika memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat pertama adalah terjadi di luar individu (1966: 3). Durkheim menyebut fakta sosial bisa berupa aturan, norma, gejala, atau perilaku yang berada di luar individu. Artinya, fakta sosial bukanlah sesuatu yang berupa pikiran atau kondisi kejiwaan dari individu.
Meski demikian, tidak serta merta setiap fenomena sosial yang terjadi di luar individu adalah fakta sosial. Durkheim merumuskan syarat kedua fakta sosial yakni harus bersifat umum (1966: 7). Bersifat umum di sini artinya, fenomena tersebut tidak hanya terjadi pada satu atau dua individu saja. Aturan, norma, gejala, atau perilaku baru bisa disebut fakta sosial jika telah menjadi fenomena umum yang terjadi dalam masyarakat tertentu. Jika merujuk ke rumusan ini, kemiskinan belum bisa disebut sebagai fakta sosial apabila hanya ada satu atau dua orang miskin di satu kelompok masyarakat. Tapi ketika data menunjukkan dalam satu kampung hamper seluruhnya adalah orang miskin, maka kemiskinan di kampung tersebut adalah sebuah fakta sosial yang bisa diteliti secara sosiologi. Data menjadi salah satu alat utama untuk menentukan apakah sebuah fenomena bisa menjadi fakta sosial atau tidak.
Setelah dua hal tersebut, syarat berikutnya agar sebuah fenomena sosial bisa menjadi fakta sosial adalah memiliki kekuatan untuk membatasi atau memaksa individu tersebut (1966: 4). Individu tidak memiliki kemampuan untuk melawan aturan atau gejala sosial yang bersifat umum ini. Durkheim juga melihat bahwa kebanyakan orang tidak merasa hal ini adalah batasan atau sesuatu yang memaksa karena mereka menganggapnya sebagai hal yang wajar. Namun dia baru merasakannya ketika dia mencoba melawan batasan ini.
Dari tiga rumusan tentang fakta sosial ini, nyata sekali terlihat Durkheim adalah seorang strukturalis. Artinya, Durkheim percaya individu dibatasi dan dibentuk oleh sistem di luarnya (fakta sosial). Apa yang terjadi pada individu, bagaimana kondisi individu, adalah hasil  bentukan dari sistem di luarnya meskipun banyak individu yang tidak menyadarinya dan menganggap apa yang terjadi pada dirinya sebagai hal yang harus diterima karena sudah seharusnya terjadi seperti itu. Bagi Durkheim,  kekacauan dalam masyarakat akan teratasi jika sistem di luarnya kuat dan bisa mengatur individu. Misalnya aturan hukum, agama, solidaritas sosial, dan sistem ekonomi.
Definisi Durkheim tentang fakta sosial juga menunjukkan ia seorang empiris. Ini sejalan dengan keinginan Durkheim agar sosiologi menggunakan dasar-dasar penelitian seketat ilmu alam. Dengan menjadikan fakta sosial sebagai benda, penelitian sosiologi adalah sebuah kegiatan meneliti obyek konkret yang bisa dilihat, diukur, dan dibandingkan.
Meski fakta sosial adalah fenomena yang bersifat umum dalam satu kelompok masyarakat, tidak berarti fenomena tersebut berlaku untuk setiap orang. Akan tetapi Durkheim percaya bahwa penelitian fakta sosial akan menghasilkan gambaran umum dalam masyarakat. Durkheim memperkenalkan penelitian sosiologi sebagai sebuah proses induksi yg menghasilkan generalisasi. Hasil dari penelitian fakta sosial akan berlaku umum untuk seluruh masyarakat. Meski sifatnya generalisasi, Durkheim tetap percaya sebuah penelitian sosiologi yang mengikuti rumusan-rumusan fakta sosial memiliki validitas tinggi, sebagaimana ilmu alam.
Rumusan-rumusan fakta sosial yang kemudian juga membedakan sosiologi dengan bidang penelitian alam, terutama biologi dan psikologi. Meski sama-sama meneliti manusia, biologi dan psikologi tidak menggunakan rumusan fakta sosial untuk memilih obyek penelitiannya. Biologi dan psikologi meneliti manusia sebagai individu. Berbeda halnya dengan sosiologi yang meneliti individu sebagai bagian dari fakta sosial.
Durkheim membahas secara mendetail dengan membaginya kedalam 6 sub bab bahasan, antara lain : hakikat fakta sosial, aturan mengenai observasi fakta sosial, aturan mengenai pembedaan antara normal dengan abnormal (patologis), klasifikasi tipe sosial, penjelasan mendalam, mengenai fakta sosial, dan aturan untuk mendirikan pembuktian sosiologis
“A social fact is any way of acting, whether  fixed or not, capable of exerting over the individual an external constraint…which is general over the whole of a given society whilst having an existence of its own, independent of its individual manifestations.” (1966: 59)

The Rules of Socilogical Method Emile Durkheim Akhmad Ali


Pada pembahasan Fakta sosial, Durkheim mengatakan bahwa sesuatu hal yang mengikat individu serta di luar individu, tidak bisa dibantah, dan biasanya merupakan proses imitasi, adanya penyebaran atau difusi cara bertindak. Fakta sosial juga merupakan kesadaran kolektif (l’amme collective), yaitu bentukan dari segala macam peleburan state pada individu-individu. Apabila fakta social(sosial fact) menyatu dengan kemauan individu (individual manifestation/own right independent) maka hal ini disebut dengan fakta psikologis. Lalu, kita hanya membicarakan tentang peraturan-peraturan (nilai dan norma) yang mengekang kolektif tersebut maka disebut dengan fakta psikologis.
Kemudian pembahsan kedua yakni mengenai obeservasi sosial, pada bab ini dibahas mengenai beberapa persoalan. Pertama, dibahas mengenai bagaimana sosiologi itu sendiri bertindak sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Sosiologi disini juga dibahas sebagai suatu ilmu yang bebas nilai. Dan keharusan sosiologi sebagai suatu ilmu untuk memiliki tujuan, yakni sebagai alat untuk menelaah fakta-fakta sosial.
Pembahasan ketiga,  yakni mengenai membedakan sesuatui yang dianggap normal dengan sesuatu yang dianggap tidak normal dan patologis. Maksud dari sesuatu hal dianggap normal adalah sesuatu yang disetujui secara kolektif, sedangkan hal yang dianggap tidak normal adalah segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan kolektif. Namun yang perlu menjadi perhatian seperti yang tercantum dalam pembahasan bab ini yakni mengenai keharusan jua untuk melihat konteks sosial juga yang ada untuk dapat memutuskan hal-hal yang normal atau abnormal tersebut.
Pembahasan keempat, yang dibahas di bab selanjutnya membahas mengenai bagaimana caranya melakukan sebuah klasifikasi sosial. Ada dua sifat dari klasifikasi, yaitu klasifikasi yang  datau kaku serta klasifikasi yang bercampur. Lalu, hasil dari klasifikasi ini ada dua, yaitu social morphology dan social evolution. Klasifikasi yang pertama menunjukan didalam masyarakat adanya solidaritas, kerja sama, dan hubungannya yang baik dengan alam sedangkan klasifikasi yang kedua menunjukan dalam  masyarakat adanya yang ditengarai sebagai kerja sama kontraktual, dan hubungannya yang relatif terhadap alam.
Pembahasan kelima, yakni dibahas mengenai bagaimana caranya menjelaskan fakta sosial. Dijelaskan bahwa, fakta sosial  merupakan hal yang dapat dijelaskan melalui hubungan kausalitas atau sebab akibat. Fakta sosial juga dijelaskan sebagai produk tambahan dari fakta psikologis (kesadaran, sensasi, refleks, dan insting individu) tetapi tidak menjadikan fakta psikologis sebagai acuan utama untuk menyelesaikan suatu fenomena sosial. Ada pula alat ukur untuk menentukan fakta sosial, yaitu social millieu. Ada dua alat ukur, yaitu dynamic density serta physical density. Pertama adalah seberapa besar takaran hubungan sosial dibandingkan dengan kepentingan. Kedua adalah alat ukur numerik (pasti) dari perubahan komunikasi. Alat ukur pastinya adalah seberapa besar dialog ataupun monolog yang terjadi pada interaksi sosial tersebut.
Dan hal keenam atau hal yang terakhir dibahas dalam buku ini yakni dibahas mengenai bagaimana melakukan sebuah pembuktian secara sosiologis. Metode yang ditawarkan adalah metode komparatif, yaitu membandingkan hubungan sebab dan akibat. Hubungan yang terjadi haruslah terjadi secara dua arah, serta sebab atau akibat yang ada harus lebih dari satu buah. Metode ini berasal dari pemikiran Comte tentang metode historis yang menjadikan keteraturan sosial (teleologis) bertahap menjadi tiga bagian, yaitu teologis, epistemologi, dan aksiologis. Lalu, metode lainnya berasal dari Mill yang mengutip system of logic, dan sebenarnya hal tersebut merupakan pengandaian ilmu ekonomi sebagai ilmu praktis yang mempunyai tujuan tertentu. Metode dari Mill tersebut menginspirasikan adanya hubungan kausal yang tidak hanya berasal dari sebab pertama yang mengakibatkan sebab pertama. Metode kedua adalah metode asosiasi. Metode ini merupakan metode perbandingan antar variabel yang terdapat pada judul penelitian. Metode terakhir yakni mengenai metode deduktif. Metode deduktif, adalah metode yang menitikberatkan kepada hal yang umum lalu kepada hal yang khusus. Artinya, kita harus memakai teori dahulu serta hipotesis untuk menduga secara baik, dan hasil akhirnya diukur melalui sebuah rangkaian uji teori, dan konsep.

Rumusan-rumusan Durkheim yang disatukan dalam The Rules of Sociological Method awalnya didasari oleh keinginan untuk menghasilkan teori-teori sosiologi dengan aturan dan disiplin ilmu alam (science). Durkheim mengkritik pendahulunya, Auguste Comte dan Herbert Spencer yang meskipun telah membuka jalan ke arah positivisme, keduanya masih mendasarkan teori-teorinya pada spekulasi dan ide-ide yang belum tentu merepresentasikan benda-benda konkret yang seharusnya menjadi dasar objek penelitian sosiologi.
Maka, sebagaimana kalimat Durkheim yang dikutip pada bagian awal tulisan ini, langkah pertama dalam penelitian sosiologi adalah memperlakukan fakta sosial sebagai benda konkret yang bisa dilihat dan diteliti.
Dari sini sudah terlihat bagaimana Durkheim menjadikan kegiatan melihat dan meneliti fakta sosial sebagai dasar dalam sosiologi. Dengan demikian, sebuah kesimpulan atau teori dalam sosiologi akan lahir dari proses mengenali fakta sosial, meneliti, mendeskripsikan apa yang dilihat, dan membandingkan antar fakta sosial tersebut. Sosiologi bukan sebuah ilmu yang didasarkan pada pendapat atau spekulasi yang didapatkan secara turun -temurun atau pendapat umum masyarakat yang dianggap merepresentasikan realitas.
Pertanyaannya kini adalah, sebelum kita melihat dan memperlakukan fakta sosial sebagai benda, bagaimana kita menentukan mana yang disebut sebagai fakta sosial dan mana yang bukan. Durkheim telah membuat beberapa batasan tentang hal ini. Menurutnya, tidak setiap hal yang terjadi di masyarakat bisa disebut sebagai fakta sosial. Sebuah fenomena bisa menjadi fakta sosial dan menjadi obyek penelitian sosiologi jika memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat pertama adalah terjadi di luar individu (1966: 3). Durkheim menyebut fakta sosial bisa berupa aturan, norma, gejala, atau perilaku yang berada di luar individu. Artinya, fakta sosial bukanlah sesuatu yang berupa pikiran atau kondisi kejiwaan dari individu.
Meski demikian, tidak serta merta setiap fenomena sosial yang terjadi di luar individu adalah fakta sosial. Durkheim merumuskan syarat kedua fakta sosial yakni harus bersifat umum (1966: 7). Bersifat umum di sini artinya, fenomena tersebut tidak hanya terjadi pada satu atau dua individu saja. Aturan, norma, gejala, atau perilaku baru bisa disebut fakta sosial jika telah menjadi fenomena umum yang terjadi dalam masyarakat tertentu. Jika merujuk ke rumusan ini, kemiskinan belum bisa disebut sebagai fakta sosial apabila hanya ada satu atau dua orang miskin di satu kelompok masyarakat. Tapi ketika data menunjukkan dalam satu kampung hamper seluruhnya adalah orang miskin, maka kemiskinan di kampung tersebut adalah sebuah fakta sosial yang bisa diteliti secara sosiologi. Data menjadi salah satu alat utama untuk menentukan apakah sebuah fenomena bisa menjadi fakta sosial atau tidak.
Setelah dua hal tersebut, syarat berikutnya agar sebuah fenomena sosial bisa menjadi fakta sosial adalah memiliki kekuatan untuk membatasi atau memaksa individu tersebut (1966: 4). Individu tidak memiliki kemampuan untuk melawan aturan atau gejala sosial yang bersifat umum ini. Durkheim juga melihat bahwa kebanyakan orang tidak merasa hal ini adalah batasan atau sesuatu yang memaksa karena mereka menganggapnya sebagai hal yang wajar. Namun dia baru merasakannya ketika dia mencoba melawan batasan ini.
Dari tiga rumusan tentang fakta sosial ini, nyata sekali terlihat Durkheim adalah seorang strukturalis. Artinya, Durkheim percaya individu dibatasi dan dibentuk oleh sistem di luarnya (fakta sosial). Apa yang terjadi pada individu, bagaimana kondisi individu, adalah hasil  bentukan dari sistem di luarnya meskipun banyak individu yang tidak menyadarinya dan menganggap apa yang terjadi pada dirinya sebagai hal yang harus diterima karena sudah seharusnya terjadi seperti itu. Bagi Durkheim,  kekacauan dalam masyarakat akan teratasi jika sistem di luarnya kuat dan bisa mengatur individu. Misalnya aturan hukum, agama, solidaritas sosial, dan sistem ekonomi.
Definisi Durkheim tentang fakta sosial juga menunjukkan ia seorang empiris. Ini sejalan dengan keinginan Durkheim agar sosiologi menggunakan dasar-dasar penelitian seketat ilmu alam. Dengan menjadikan fakta sosial sebagai benda, penelitian sosiologi adalah sebuah kegiatan meneliti obyek konkret yang bisa dilihat, diukur, dan dibandingkan.
Meski fakta sosial adalah fenomena yang bersifat umum dalam satu kelompok masyarakat, tidak berarti fenomena tersebut berlaku untuk setiap orang. Akan tetapi Durkheim percaya bahwa penelitian fakta sosial akan menghasilkan gambaran umum dalam masyarakat. Durkheim memperkenalkan penelitian sosiologi sebagai sebuah proses induksi yg menghasilkan generalisasi. Hasil dari penelitian fakta sosial akan berlaku umum untuk seluruh masyarakat. Meski sifatnya generalisasi, Durkheim tetap percaya sebuah penelitian sosiologi yang mengikuti rumusan-rumusan fakta sosial memiliki validitas tinggi, sebagaimana ilmu alam.
Rumusan-rumusan fakta sosial yang kemudian juga membedakan sosiologi dengan bidang penelitian alam, terutama biologi dan psikologi. Meski sama-sama meneliti manusia, biologi dan psikologi tidak menggunakan rumusan fakta sosial untuk memilih obyek penelitiannya. Biologi dan psikologi meneliti manusia sebagai individu. Berbeda halnya dengan sosiologi yang meneliti individu sebagai bagian dari fakta sosial.
Durkheim membahas secara mendetail dengan membaginya kedalam 6 sub bab bahasan, antara lain : hakikat fakta sosial, aturan mengenai observasi fakta sosial, aturan mengenai pembedaan antara normal dengan abnormal (patologis), klasifikasi tipe sosial, penjelasan mendalam, mengenai fakta sosial, dan aturan untuk mendirikan pembuktian sosiologis
“A social fact is any way of acting, whether  fixed or not, capable of exerting over the individual an external constraint…which is general over the whole of a given society whilst having an existence of its own, independent of its individual manifestations.” (1966: 59)

Kamis, 09 Mei 2013

Perempuan Dalam Layar Kaca


By : Akhmad Ali Hasyiem

Abstract : Pada artikel ini kami akan membahas sebuah catatan tentang Women on Media. Perempuan seperti kita ketahui secara bersama-sama adalah salah satu makhluk terindah merepresentasikan salah satu keindahan. Kemudian kita akan membahas tentang “ Media”  sebetulnya bagaimana, dan seperti apa media, serta peranan media itu sendiri sebenarnya apa. Lantas ada apa dibalik encoding and decoding jika kita mengambil dari apa yang dikataka oleh Stuart Hall dalam bukunya “ The Television Discourse , Enconding and Decoding.
Key Words : Media, Perempuan, kekuasaan, penonton,
Media
Media is a name that might give to the processes by which a given social dispensation produces and reproduces it self in through a particular set of media.......media telah menjadi sebuah alat utama dimana kita semua mengalami atau belajar mengenai banyak aspek mengenai dunia disekitar kita. Namun apa yang dilaporkan sebuah media untuk melaporkan suatu peristiwa dapat berbeda secara significan.
Sedangkan Stuart Hall di dalam buku Culture, Media, and Language( 1980) media for example is television communicative process as follows: the institutional structures of broadcasting, with their practices and networks of production, their organized relations and technical infrastructures, are required to produce a program. Disini ia menghubungkan enconding/ deconding lewat sebuah metafora produksi/konsumsi. Produksi adalah sebuah proses konstruksi sebuah pesan (message), lewati penerapan kode-kode tertentu (encoding) sebuah poses produksi yang melibatkan sebuah gagasa, makna, ideologi serta kode-kode sosial dalam sebuah masyarakat, kemudian tidak jarang pula memasukkan sebuah asumsi-asumsi yang dipruduce seperti moral, cultural , ekonomis, politik, atau spiritual, asumsi juga bisa berupa sebuah pesan tentang sebuah kebutuhan sehingga (pemirsa, pendengar, pembaca dan pemakai) memilikinya.

Dalam menyikapi sebuah pemaknaan dalam sebuah konsumsi juga dalam hal pembacaan kode, pesan dan makna dari sebuah teks dari media ini adalah adanaya(mediation) dalam sebuah proses sosial produksi. Artinya dalam masalah pengertian ini bahwa konsumen akan dihadapkan dengan sebuah tkes yang sama dihadapannya dengan sebuah produksi makna yang tentunga berbeda.

Hal ini kenapa saya adanya sebuah mediation dalam berhadapan antara sebuah teks diantara konsumen dan media? Disinilah ada yang dimaksud dengan producerl enconder tidak sama dengan received deconder, sebelum adanya producerl enconder dan received denconder telah ada sebuah mediation. Mediation then involves a dual relation “ a self of simultaneous self distancing and self-recognition (Mazzarella, Cuture, Globalization, and mediation 2004).

Perempuan

Romansa cinta Ahmad Fatonah yang dijalin dengan Maharani seorang mahasiswi,   Ayu azhari seorang artis mantan bom sex, serta seorang model cantik Vitalia Sesha seorang model dari majalah dewas( detik.com Rabu 8, Mei 2013) adakah sang tuan Ahmad Fathomah kini masih menyimpan putri-putri wanita cantik , yang sejatinya itu teman dekatnya? Atau kah justru Ahmad Fathonah menyediakan perempuan-perempuan cantiknya untuk anggota dewan dari partai (PKS)? Hanya waktu yang akan menjawabnya......

Narasi yang disampaikan diatas oleh penulis sengaja ditempatkan pada awal tulisan artikel kali ini. Sebab ini merupakan sebuah awal dari sebuah kasus yang sedang hangat di media baik cetak , electronik, virtual, maupun dalam obrolan di pojok warung pasar tradisional.

Namun begitulah adanya sebuah media, media adalah sebuah alat komunikasi yang pada dasarnya sebagian dari pada industri media sendiri, misalnya dalam kasus Ahmad Fathonah dengan gadis-gadis cantiknya bukan saja menjadi sebuah berita politik semata. Namun , telah berkembang kedalam sebuah infotainment.

Dalam kasus ini misalnya bagaimana sebuah media mencoba untuk mengkontruksikan sebuah realitaas bagi para pemirsa/penontonnya. Sejak pagi buta hingga bertemu dengan sore buta pemirsa/penonton dikepung oleh sebuah informasi entah itu bernama berita, infotainment atau pun gosip, yang intinya adalah bermuara pada media.

Lantas apa hubungannya dengan perempuan, wanita-wanita cantik yang bernama Maharani, Ayu Azhari dan Vitalia Sesha ini? Baik kita akan membahasnya secara bersama-sama. Tubuh perempuan sebagai objek dari sekian manusia begitu sangat dilihat oleh pihak (pemodal) yang kemudian tubuh perempuan tersebut diekspos sehingga menjadi sebuah keuntungan tersenidir bagi borjuis. Namun sebutlnya pada saat media memberitakan tentang wanita canitk seperti sebuah narasi diatas mislanya. Itu bukan lah sebuah pengartian yang statis(ajeg). Namun itu adalah sebuah ambiguitas dalam mengartikan sebuah pemaknaan.

Dalam kasus diatas misalnya dimana sebuah industri media bermain serta berkembang pesat sejauh pesawat apollo, sehingga tidak heran setelah pasca Orde Baru industri seperti mendapatkan anginsegar yang membawanya terbang tinggi. Sebuah persaingan pun semakin ketat antara industri.

Disini seorang wanita ketika tubuh menjadi sebuah komoditas dapat diperjualbelikan , seperti sebuah narasi diatas yang saya sampaikan. Hal ini media sangat jauh sekali dari sebuah keterpihakan terhadap perempuan, dan sebagai masyarakat pun tidak jarang mengatakan sangat mendukung peran media. Dalam hal ini perempuan sebetulnya menjadi sebuah korban. Implikasinya adalah : pertama, perempuan dan tubuhnya diharapkan untuk senantiasa berpenampilan cantik karena fokus pertama adalah estetika visual. Kedua , kecantikan menjadi syarat wajib membuat sebuah penilaian tubuh yang melibatkan seksual (Baudrillard, 197))

Dalam hal ini diperlukan saat kita mennton sebuah televisi, untuk menjadi seorang pemirsa yang aktiv, bukan pemirsa yang massive. Satu hal yang menarik dalam media adalah adanya tarik menarik kepentingan antara indsustri televisi, negara dan agama dalam mengartikan message yang disampaikan oleh media. Disatu sisi negara mengatur sebuah proses produksi, satu sisi juga agama mengatur demikian,

Kekuasaan
Isu kekuasaan tidak bisa dipungkiri dalam sebuah industri media dalam mengkonstruksi suatu realitas . apalagi seperti yang dikatakan oleh Foucault (2000) kekuasaan dilihat sebagai sebuah strategi yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan mekanisme tertentu, maka penonjolan kekuatan lelaki atas perempuan yang menjadi menu utama kemudian disajikan dalam media indsutri selama ini,  seperti contoh misalnya kasus Fathonah diatas dimana seorang laki-laki fathonan tidak begitu diekspos tentang dirinya sementara Mahaarani dan Vithalia Sesha di ekpos terus menerus oleh media, sehingga masyarakat yang awalnya tidak mengetahui siapa Maharani, dan Vithalia Sesha sekarang justru masyarakat mengetahuinya.

dalam kasus selebritis atau pemberitaan diatas tamapak sekali ada sebuah konstruksi realitas atas perempuan khususnya selebiritis atau artis juga tampak menonjol menyangkut persoalan tubuh. Tubuh perempuan (artis) sangat dibutuhkan oleh media senidiri untuk sebuah proses sodsial dan kelangsungan ekonomi. Tubuh perempuan dijadikan daya tarik sendiri untuk menjual sebuah komoditas, yang oleh media dalam hal ini juga pengusaha dianggap sebagai nafas kehidupan.

Penonton
Pada dasarnya penonton tidaklah sepasif seperti itu didepan media, bahkan penonton sebetulnya bisa aktif serta mencoba untuk memproses encoding dan decoding. Memang seharusnya penonton menerjemahkan teks-teks itu sehingga penonton diasumsikan seorang yang aktif.




Conclusion
Dengan demikian media memang ada sebuah pesan tersembunyi dalam sebuah penyampaiannya , kemudia disaat media bersatu dengan konglomerasi kapitalis. Maka media akan menjadikan khususnya perempuan untuk dijadikan alat komoditas agar dapat diterima oleh sebuah proses sosial. Perempuan sekarang justru saat menonton televisi, speerti sinetron, infoitaiment, iklan, mereka cenderung passive. Perempuan pelaku derita tanpa daya, bahkan tiada duanya atau tandingan sehingga perempuan sebagai sumber dendam hingga tidak tersampaikan seperti Si Manis Jembatan Ancol dan Janda Kembang adalah contoh perempuan di Negara kita sekarang.


Daftar Pusaka :
Detik . com 08 Mei 2013.
Mazzarella, Cuture, Globalization, and mediation 2004,-367 by Published Departement of Anthropology, Univesuty of Chicago,
Michel Foucault (1980) Power Knowledge , New York by Published Pantheon
Stuard Hall Media, and Language( 1980) 23-30 by Published Ohio Departement of Sosiologhy, USE.

Notes : kemerdekaan Indonesia ini lebih didominasi 60% oleh pemikiran dan 40% oleh peperangan. Maka membacalah, semua pemimpin adalah pembaca. Namun tidak semua pembaca menjadi pemimpin(Ali Hasyiem)

Perempuan Dalam Layar Kaca


By : Akhmad Ali Hasyiem

Abstract : Pada artikel ini kami akan membahas sebuah catatan tentang Women on Media. Perempuan seperti kita ketahui secara bersama-sama adalah salah satu makhluk terindah merepresentasikan salah satu keindahan. Kemudian kita akan membahas tentang “ Media”  sebetulnya bagaimana, dan seperti apa media, serta peranan media itu sendiri sebenarnya apa. Lantas ada apa dibalik encoding and decoding jika kita mengambil dari apa yang dikataka oleh Stuart Hall dalam bukunya “ The Television Discourse , Enconding and Decoding.
Key Words : Media, Perempuan, kekuasaan, penonton,
Media
Media is a name that might give to the processes by which a given social dispensation produces and reproduces it self in through a particular set of media.......media telah menjadi sebuah alat utama dimana kita semua mengalami atau belajar mengenai banyak aspek mengenai dunia disekitar kita. Namun apa yang dilaporkan sebuah media untuk melaporkan suatu peristiwa dapat berbeda secara significan.
Sedangkan Stuart Hall di dalam buku Culture, Media, and Language( 1980) media for example is television communicative process as follows: the institutional structures of broadcasting, with their practices and networks of production, their organized relations and technical infrastructures, are required to produce a program. Disini ia menghubungkan enconding/ deconding lewat sebuah metafora produksi/konsumsi. Produksi adalah sebuah proses konstruksi sebuah pesan (message), lewati penerapan kode-kode tertentu (encoding) sebuah poses produksi yang melibatkan sebuah gagasa, makna, ideologi serta kode-kode sosial dalam sebuah masyarakat, kemudian tidak jarang pula memasukkan sebuah asumsi-asumsi yang dipruduce seperti moral, cultural , ekonomis, politik, atau spiritual, asumsi juga bisa berupa sebuah pesan tentang sebuah kebutuhan sehingga (pemirsa, pendengar, pembaca dan pemakai) memilikinya.

Dalam menyikapi sebuah pemaknaan dalam sebuah konsumsi juga dalam hal pembacaan kode, pesan dan makna dari sebuah teks dari media ini adalah adanaya(mediation) dalam sebuah proses sosial produksi. Artinya dalam masalah pengertian ini bahwa konsumen akan dihadapkan dengan sebuah tkes yang sama dihadapannya dengan sebuah produksi makna yang tentunga berbeda.

Hal ini kenapa saya adanya sebuah mediation dalam berhadapan antara sebuah teks diantara konsumen dan media? Disinilah ada yang dimaksud dengan producerl enconder tidak sama dengan received deconder, sebelum adanya producerl enconder dan received denconder telah ada sebuah mediation. Mediation then involves a dual relation “ a self of simultaneous self distancing and self-recognition (Mazzarella, Cuture, Globalization, and mediation 2004).

Perempuan

Romansa cinta Ahmad Fatonah yang dijalin dengan Maharani seorang mahasiswi,   Ayu azhari seorang artis mantan bom sex, serta seorang model cantik Vitalia Sesha seorang model dari majalah dewas( detik.com Rabu 8, Mei 2013) adakah sang tuan Ahmad Fathomah kini masih menyimpan putri-putri wanita cantik , yang sejatinya itu teman dekatnya? Atau kah justru Ahmad Fathonah menyediakan perempuan-perempuan cantiknya untuk anggota dewan dari partai (PKS)? Hanya waktu yang akan menjawabnya......

Narasi yang disampaikan diatas oleh penulis sengaja ditempatkan pada awal tulisan artikel kali ini. Sebab ini merupakan sebuah awal dari sebuah kasus yang sedang hangat di media baik cetak , electronik, virtual, maupun dalam obrolan di pojok warung pasar tradisional.

Namun begitulah adanya sebuah media, media adalah sebuah alat komunikasi yang pada dasarnya sebagian dari pada industri media sendiri, misalnya dalam kasus Ahmad Fathonah dengan gadis-gadis cantiknya bukan saja menjadi sebuah berita politik semata. Namun , telah berkembang kedalam sebuah infotainment.

Dalam kasus ini misalnya bagaimana sebuah media mencoba untuk mengkontruksikan sebuah realitaas bagi para pemirsa/penontonnya. Sejak pagi buta hingga bertemu dengan sore buta pemirsa/penonton dikepung oleh sebuah informasi entah itu bernama berita, infotainment atau pun gosip, yang intinya adalah bermuara pada media.

Lantas apa hubungannya dengan perempuan, wanita-wanita cantik yang bernama Maharani, Ayu Azhari dan Vitalia Sesha ini? Baik kita akan membahasnya secara bersama-sama. Tubuh perempuan sebagai objek dari sekian manusia begitu sangat dilihat oleh pihak (pemodal) yang kemudian tubuh perempuan tersebut diekspos sehingga menjadi sebuah keuntungan tersenidir bagi borjuis. Namun sebutlnya pada saat media memberitakan tentang wanita canitk seperti sebuah narasi diatas mislanya. Itu bukan lah sebuah pengartian yang statis(ajeg). Namun itu adalah sebuah ambiguitas dalam mengartikan sebuah pemaknaan.

Dalam kasus diatas misalnya dimana sebuah industri media bermain serta berkembang pesat sejauh pesawat apollo, sehingga tidak heran setelah pasca Orde Baru industri seperti mendapatkan anginsegar yang membawanya terbang tinggi. Sebuah persaingan pun semakin ketat antara industri.

Disini seorang wanita ketika tubuh menjadi sebuah komoditas dapat diperjualbelikan , seperti sebuah narasi diatas yang saya sampaikan. Hal ini media sangat jauh sekali dari sebuah keterpihakan terhadap perempuan, dan sebagai masyarakat pun tidak jarang mengatakan sangat mendukung peran media. Dalam hal ini perempuan sebetulnya menjadi sebuah korban. Implikasinya adalah : pertama, perempuan dan tubuhnya diharapkan untuk senantiasa berpenampilan cantik karena fokus pertama adalah estetika visual. Kedua , kecantikan menjadi syarat wajib membuat sebuah penilaian tubuh yang melibatkan seksual (Baudrillard, 197))

Dalam hal ini diperlukan saat kita mennton sebuah televisi, untuk menjadi seorang pemirsa yang aktiv, bukan pemirsa yang massive. Satu hal yang menarik dalam media adalah adanya tarik menarik kepentingan antara indsustri televisi, negara dan agama dalam mengartikan message yang disampaikan oleh media. Disatu sisi negara mengatur sebuah proses produksi, satu sisi juga agama mengatur demikian,

Kekuasaan
Isu kekuasaan tidak bisa dipungkiri dalam sebuah industri media dalam mengkonstruksi suatu realitas . apalagi seperti yang dikatakan oleh Foucault (2000) kekuasaan dilihat sebagai sebuah strategi yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan mekanisme tertentu, maka penonjolan kekuatan lelaki atas perempuan yang menjadi menu utama kemudian disajikan dalam media indsutri selama ini,  seperti contoh misalnya kasus Fathonah diatas dimana seorang laki-laki fathonan tidak begitu diekspos tentang dirinya sementara Mahaarani dan Vithalia Sesha di ekpos terus menerus oleh media, sehingga masyarakat yang awalnya tidak mengetahui siapa Maharani, dan Vithalia Sesha sekarang justru masyarakat mengetahuinya.

dalam kasus selebritis atau pemberitaan diatas tamapak sekali ada sebuah konstruksi realitas atas perempuan khususnya selebiritis atau artis juga tampak menonjol menyangkut persoalan tubuh. Tubuh perempuan (artis) sangat dibutuhkan oleh media senidiri untuk sebuah proses sodsial dan kelangsungan ekonomi. Tubuh perempuan dijadikan daya tarik sendiri untuk menjual sebuah komoditas, yang oleh media dalam hal ini juga pengusaha dianggap sebagai nafas kehidupan.

Penonton
Pada dasarnya penonton tidaklah sepasif seperti itu didepan media, bahkan penonton sebetulnya bisa aktif serta mencoba untuk memproses encoding dan decoding. Memang seharusnya penonton menerjemahkan teks-teks itu sehingga penonton diasumsikan seorang yang aktif.




Conclusion
Dengan demikian media memang ada sebuah pesan tersembunyi dalam sebuah penyampaiannya , kemudia disaat media bersatu dengan konglomerasi kapitalis. Maka media akan menjadikan khususnya perempuan untuk dijadikan alat komoditas agar dapat diterima oleh sebuah proses sosial. Perempuan sekarang justru saat menonton televisi, speerti sinetron, infoitaiment, iklan, mereka cenderung passive. Perempuan pelaku derita tanpa daya, bahkan tiada duanya atau tandingan sehingga perempuan sebagai sumber dendam hingga tidak tersampaikan seperti Si Manis Jembatan Ancol dan Janda Kembang adalah contoh perempuan di Negara kita sekarang.


Daftar Pusaka :
Detik . com 08 Mei 2013.
Mazzarella, Cuture, Globalization, and mediation 2004,-367 by Published Departement of Anthropology, Univesuty of Chicago,
Michel Foucault (1980) Power Knowledge , New York by Published Pantheon
Stuard Hall Media, and Language( 1980) 23-30 by Published Ohio Departement of Sosiologhy, USE.

Notes : kemerdekaan Indonesia ini lebih didominasi 60% oleh pemikiran dan 40% oleh peperangan. Maka membacalah, semua pemimpin adalah pembaca. Namun tidak semua pembaca menjadi pemimpin(Ali Hasyiem)

Selasa, 07 Mei 2013

Making Place Of Project Supermarket Poins Square Lebak Bulus Ciputat




(Kajian Bentuk Keramaian di Lebak Bulus Ciputat)
oleh Akhmad Ali (Romo)
Abstraksi
            Penelitian ini adalah mengenai “ akar kemacetan “ di Lebak Bulus Ciputat yang di rasakan oleh setiap masyarakat Ciputat, Pamulang, yang mereka bekerja di Jakarta bisa dipastikan melintasi Supermarket Poins Square Lebak Bulus, Ciputat setiap mereka pulang kerja dari Jakarta tempat mereka bekerja. Yang ingin diteliti adalah Supermarket Poins Square sebagai sebuah supermarket yang memang akar kemacetan disamping dari terminal umum Lebak Bulus, secara langsung adanya dua pusat keramaian ini menambah kemacetan setiap sore jam pulang kantor sekitar jam 16.00 sampai 21.00 Wib, keberadaan Supermarket Poins Square yang bersampingan dengan terminal umum dapat dipastikan salah satu penyebab kemacetan jalan sepanjang Ciputat menuju Pamulang, Parung dan sekitarnya.

Senin, 06 Mei 2013

Kebangsaan dan Perimodalisme





                                                                Kebangsaan dan Perimodalisme

Kesukubangsaan sebagai sebuah konsep ilmiah telah bergeser pengertiaannya dari mengenai isi kebudayaan menjadi mengenai jatidiri atau identitas yang muncul dalam interaksi sosial, dan yang karena itu kajian mengenai kesukubangsaan menjadi terfokus pada batas-batas sukubangsa dimana atribut-atribut kesukubangsaan yang mencakup simbol-simbol kebudayaan sebagaimana didefinisikan oleh para pelakunya menentukan corak kesukubangsaan yang bersangkutan.Pergeseran tersebut dimulai oleh Frederik Barth (1969:9-38) yang menunjukan bahwa kajian mengenai sukubangsa bukanlah kajian mengenai kolektiva dengan isi atau taksonomi kebudayaannya, tetapi kajian yang mengenai organisasi sosial yang askriptif berkenaan dengan asal muasalnya yang mendasar dan umum dari para pelakunya; sebab, jika kajiannya mengenai kolektiva dan isi kebudayaannya yang dilakukan secara taksonomi maka yang dihasilkan adalah kajian-kajian mengenai taksonomi kebudayaan, pola-pola kebudayaan, akulturasi kebudayaan, atau perubahan kebudayaan; dan bukan kajian kesukubangsaan. Lebih lanjut, kajian kesukubangsaan adalah kajian yang memusatkan perhatian pada antar hubungan diantara pelaku, dengan jatidiri sukubangsanya sebagai atribut-atribut yang digunakan dalam interaksi-interaksi sosial. Karena itu Barth dalam tulisannya tersebut mengemukakan pentingnya perhatian kajian mengenai sukubangsa pada batas-batas sukubangsa, yang terwujud dalam hubungan antar sukubangsa, karena dalam interaksi tersebut perbedaan-perbedaan jati diri dari para pelaku nampak jelas ditunjukkan; yang terwujud baik dengan sengaja maupun dilakukan secara spontan, maupun yang terwujud sebagai atribut-atribut fisik, simbol-simbol yang tersurat maupun yang tersirat, serta yang tacit. Berbagai tulisan mengenai kesukubangsaan setelah tulisan Frederik Barth tersebut telah memenuhi khasanah kepustakaan antropologi, dan tulisan yang paling terakhir mengenai masalah kesukubangsaan adalah hasil karya Jenkins (1997).
Jenkins (1997) tertarik untuk mendalami konsep kesukubangsaan dengan memusatkan perhatiannya pada permasalahan jatidiri, yang dikajianya secara akademik dan intelektual, dengan melihatnya dari sejarah perkembangan penggunaan konsep ini yang dimulai oleh Max weber, memperbandingkan dengan konsep ras, dan bahkan melihat nkonsep kesukubangsaan secara taksonomik untuk kepentingan analisis (sic). Dalam upaya untuk mengoperasionalkan konsep kesukubangsaannya secara membumi, dia menggunakan kasus-kasus masyarakat negara di Eropa, yang dilihatnya secara makro. Apa yang terabaikan dalam kajian Jenkins seperti tersebut diatas adalah batas-batas suku bangsa yang ditekankan pentingnya oleh Frederik Barth. Batas-batas sukubangsa yang terwujud sebagai arena-arena interaksi yang terwujud dalam birokrasi, dalam tempat-tempat umum-lokal serta pasar, yang mewujudkan adanya macam kebudayaan dominan atau bukan dominan pada tingkat makro (Bruner 1974:251-280), yang mempengaruhi dan bahkan dalam beberapa hal menentukan corak jati diri para pelakunya (Suparlan 1995).
Permasalahan lainnya yang juga tercakup dalam kajian Jenkins (1997) tersebut diatas adalah sorotannya mengenai primordialitas yang dikemukakan oleh Clifford Geertz (1973b:268,306) yang dilihat oleh Jenkins (1997:13-41) sebagai sama dengan kesukubangsaan. Padahal dalam tulisannya tersebut Clifford Geertz sama sekali tidak berbicara mengenai kesukubangsaan, walaupun dia memang menyinggung masalah etnosentrisme di dalam pembahasannya mengenai teori kebudayaan (1973a:4), tetapi etnosentrisme berbeda atau tidak sama pengertiannya dengan pengertian kesu¬kubangsaan atau ethnicity. Yang di¬bicarakan oleh Geertz (1973b: 250) adalah primordialitas atau ikatan-ikat¬an primordial, yang didefinisikannya sebagai ‘sesuatu yang berakar pada sesuatu yang ‘sudah takdirnya’ (given) atau, di mana seseorang terikat secara moral oleh berbagai rasa tang¬gungjawah yang timbal balik pada anggota-anggota kerabatnya, tetangga¬nya, sesama penganut agamanya. setidak-tidaknya primordialitas tersebut sebagian terbesar terwujud oleh adanya kesadaran moral atas sesuatu kemutlakan yang penting atau mama yang dapat diperhitungkan se¬cara untung rugi semata-mata. yang diatributkan pada ikatan dirinya sen¬din’. Dengan kata-kata yang Jebih sederhana, Geertz (1 973h: 268) meng¬artikan primordialitas sebagai ‘sebuah dunia jatidiri perorangan atau pribadi yang secara kolektit’ diratifikasi dan secara publik diungkapkan. yang me¬rupakan sebuah keteraturan dunia’. Primordialitas adalah sesuatu yang utama, atau primordial, yaitu perasaan yang dipunyai orang perorang, ber¬kenaan dengan kehadirannya dengan kehidupannya di dunia ini sebagai suatu takdir bahwa dia dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu Iingkungan keluarga dan kerabat. keyakinan ke¬agamaan, bahasa, berbagai adat serta sistem-sistem makna yang ada dalam kebudayaannya, yang dirasakan seba¬gai dunia kehidupannya yang utama karena tidak dapat terpisahkan dan dirinya, bukan hanya dalam hal-hal yang rasional tetapi juga mencakup keseluruhan rasa yang dipunyainya. Konsep primordialitas ini oleh Geertz (l973b: 256-3 10) digunakan untuk memahami proses-proses integrasi nasional yang terjadi di negara-negara yang sedang terbentuk atau berkem¬bang pada beberapa dasawarsa yang lalu, di mana negara yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip ideologi atau keyakinan nasionalisme serta ne¬gara secara utuh, karena adanya ikatan¬-ikatan atau sentimen-sentimen pri¬mordial yang dipunyai oleh warganya secara orang perorang yang terungkap secara kolektif dan sosial.
Apa yang menarik dan interpretasi Jenkins (1997: 47-79) yang melihat primordialitas sama dengan kesuku¬bangsaan, adalah penolakannya terha¬dap konsep primordialitas, yang meng¬ikuti pendapat berbagai ahli lainnya sebagai sebuah konsep yang obsolete, karena dia melihat bahwa primordialitas sebenarnya tidaklah primordial (utama) tetapi primer (pertama), seba¬gai hasil dan sosialisasi pada tahap-¬tahap pertama (primary socialization) dan kehidupan seseorang. Karena itu, menurut pendapatnya tersebut, kon¬sep primordialitas dapat dilupakan be¬gitu saja. Apa yang dikemukakan oleh Jenkins tersebut harus dilihat dalam perspektif metodologi atau pendekatan yang digunakannya. Kalau permasa¬lahan kesukubangsaan hanya akan di¬lihat dalam perspektif taksonomi jati diri serta dilihat dengan kaitannya de¬ngan berbagai permasalahan jati diri, termasuk ras, seperti yang telah dilaku¬kan oleh Jenkins. maka primordialitas memang menjadi sesuatu yang obsole¬te. Tetapi bila kesukubangsaan dan primordialitas dilihat dari perspektif para pelakunya di dalam melihat dan menginterpretasi dunia atau lingkungan yang dihadapinya. di mana perasaan¬-perasaan yang mendasar dan umum yang dianggap para pelaku tersebut adalah sebagai yang utama, yang digu¬nakannya sebagai sistem-sistem acuan (reference systems) yang selektif peng¬gunaannya dalam mewujudkan jati diri atau kesukubangsaan dalam interaksi untuk mempertahankan sesuatu kehor¬matan ataupun memenangkan sesuatu dalam persaingan sumberdaya. maka prirmordialitas bukanlah sesuatu yang obsolete, dan utama atau primordial karena tidak dilihat sebagai proses primer dan sosialisasi. tetapi menjadi bagian dan proses-proses terwujudnya jati diri dan batas-batas sukubangsa.
Saya akan menggunakan konsep kesukubangsaan dan primordialitas untuk menjelaskan kasus ketidakberhasilan Program Ayam dan Peternakan Propinsi Irian Jaya yang diselenggarakan di desa Mwapi kelurahan Wania, Kecamatan Mimika Timur, Kabupaten Mimika, Irian Jaya. Apa yang ingin saya tunjukkan bahwa konsep kesukubangsaan dan konsep primordialitas adalah dua konsep yang sebenarnya berbicara mengenai sebuah permasalahan sama. dan selalu ada dalam gejala sosial dalam kehidupan sebuah masyarakat yang tidak mengenal atau memahami makna-makna dan konsep-konsep masyarakat dan negara serta berbagai konsep lainnya yang berkaitan dengan itu. Walaupun kesukubangsaan dan primordialitas tersebut berbicara mengenai masalah yang sama, masing-masing mempunyai penekanan dan implikasi ruang lingkup permasalahan yang berbeda dan yang karena itu pendekatan taksonomik yang digunakan oleh Jenkins seperti tersebut di atas menjadi tidak relevan.
LATAR BELAKANG
Warga desa Mwapi adalah orang Kamoro yang dalam kepustakaan antropologi dikenal dengan nama orang Mimika (Pouwer 1955). Kebudayaan Orang Kamoro yang dideskripsikan oleh Pouwer lebih dan 40 tahun yang jalu, pada dasarnya rnasih berlaku bagi umumnya Orang Kamoro di Ka¬bupaten Mimika (Trenkenschuh 1970; Widjojo 1997), dan bagi Orang Ka¬moro yang tinggal di desa Mwapi (Suparlan I 996a, I 996b, I 997a, I 997b, dan 1997c). Desa Mwapi terletak di sebelah timur kota Timika, termasuk kelurahan Wania, Kecamatan Mimika Timur. Desa ini dibangun oleh Dinas Sosial Propinsi pada tahuii 1982, di sebidang tanah hak adat Orang Kau¬gapu yang telah diserahkan kepada Dinas Sosial Propinsi Irja. Di sebelah utara desa Mwapi terdapat sungai Kauga. di sebelah selatan dibatasi oleh jalan raya yang menghubungkan kota Timika dengan Mapuru Jaya yang menjadi ibu kota kecamatan Timika Timur. Warga desa Mwapi berasal dan warga masyarakat desa Muare Lama dan Pigapu Pantai yang tinggal tersebar di tepi-tepi pantai dan rawa-¬rawa di muara sungai Kamoro. Pen¬duduk desa Mwapi, jika dilihat asal muasalnya adalah keluarga-keluarga yang tergolong dalarn salah satu dan dua taparu yang ada di desa Mwapi, yaitu: Muare dan Pigapu. Bahkan nama Mwapi sebenarnya adalah gabungan dan singkatan nama Mua (Mwa) dan Muare dan P1 singkatan dan Pigapu. Walaupun kebudayaan Orang Kamono di desa Mwapi dan di Timika pada umumnya memperlihatkan pola¬-pola yang sama dengan yang dipunyai¬nya kira-kira empat puluh tahun yang lampau, seperti dinyatakan di atas, te¬tapi sesungguhnya kebudayaan mereka ini telah mengalami perubahan yang tidak kecil. Perubahan ini terutama disebabkan oleh PT Freeport-Indone¬sia (PTFI) yang melakukan penam¬bangan tembaga dan emas di daerah pegunungan Grassberg dan dibangun¬nya kota serta pelabuhan pertambang¬an di Timika. Penambangan yang di¬mulai pada tahun 1973 dan mulai ber-kembang pesat sejak akhir tahun 1980-an membawa dampak masuknya pen¬datang-pendatang spontan dari luar Timika dan dari luar Irian Jaya. Ber¬samaan dengan ini masuk dan man¬tapnya sistem ekonomi uang ke dalam kehidupan Orang Kamoro, mening¬katnya kebutuhan-kebutuhan konsumsi serta kebutuhan-kebutuhan kehidupan lainnya yang harus dipenuhi sementara kemampuan produktif mereka untuk dapat dipasarkan secara relatif adalah tetap sama dengan kemampuan pro¬duktif mereka sebelumnya. Kondisi yang mereka punyai ini telah menye¬babkan mereka di satu pihak ingin mengejar kemampuan dan kemakmur¬an yang berada di depan mereka serta mereka hadapi sehari-hari tetapi di lain pihak mereka itu, nienjadi putus asa karena ketidak mampuan untuk rneraihnya dan karena itu hidup dengan mengikuti pola-pola kebudayaan secara tradisional berhaku dalam kehidupan mereka. Semakin besar dan berkem¬bangnya PTFI dan semakin mantapnya kekuasaan pemerintah Republik Indo¬nesia di Timika berdampak pada semakin sadarnya Orang Kamoro, termasuk warga desa Mwapi, akan ketergantungan kehidupan mereka pada pemerintah. Bagi mereka PTFI dan pemerintah adalah memberi rezeki atau kemakmuran dan tempat menggan¬tungnya nasib kehidupan mereka. Bagi mereka pemerintah adalah kekuasaan yang dapat menghancurkan mereka tetapi juga pemberi hadiah-hadiah yang rnurah hati. pemaaf. dan yang harus disenangkan hatinya.
Jumlah penduduk Kamoro di Mwapi pada tahun 1996 ada 608 orang. yang terdiri atas 93 keluarga. Di antara penduduk Kamoro di desa Mwapi terdapat 29 keluarga. atau 155 orang, yang tinggal di permukiman sementara di dekat peternakan sapi “Pangan Sari”, yang terletak di sebelah barat dan kota Timika. Mereka ini, yaitu orang dewasa dan kepala ke¬luarga bekerja di perusahaan peter¬nakan tersebut. Di samping Orang Kamoro yang menjadi penduduk desa Mwapi. juga terdapat warga desa tersebut yang berasal dari luar Kamoro. Jumlah mereka ada 4 keluarga atau 29 orang. yang berasal dan Kei yang hidup di desa tersebut sebagai guru SD setempat atau ikut keluarga guru tersebut. Jumlah warga taparu Muare dibandingkan dengan Iumlah warga taparu Pigapu yang tinggal di desa tersebut kira-kira sama dengan 70% dibanding 30%. Masing-masing anggota atau keluarga hidup mengelompok dalam lingkungan taparu-nya sendiri. Sehingga, bila kita benkunjung ke desa Mwapi, terdapat kesan bahwa desa tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu: di bagian sebelah barat desa Mwapi adalah rumah-rumah dan pekarangannya yang dihuni oleh kelluarga taparu Muare dan di bagian sebelah timumya adalah hunian dan para warga taparu Pigapu. Kepala desa Mwapi berasal dan taparu Muare, yang terpilih sebagai kepala desa karena jumlah pemilih asal taparu Muare Iebih banyak dibandingkan dengan jumlah pemilih dari taparu Pigapu.
Mata pencaharian utama mereka adalah memangkur sagu, menangkap ikan dan kerang serta kepiting di sungai, rawa-rawa. dan di tepi pantai, meramu hasil hutan, berburu dan menjerat babi hutan serta burung, berkebun. Bercocok tanam bukanlah mata pencaharian utama mereka tetapi mereka itu membuat kebun atau ladang juga walaupun tidak baik perawatannya. Hutan yang telah ditebangi atau bekas kebun lama yang telah ditebang dan ditebasi semak belukarnya. ditanami pohon pisang. ubi kayu, ubi manis, keladi, pepaya. dan tembakau. Mereka tidak mengenal konsep tebas-bakar dalam pembuatan ladang atau kebun.
Tanaman-tanaman tersebut setelah tumbuh lalu ditinggalkan, dan pada waktu menurut perkiraan mereka telah ada tanarnan yang pantas dipanen maka mereka datang ke kebun. Rumah¬ rumah mereka biasanya dibangun di tepi sungai tidak jauh dari kebun¬-kebun mereka atau di tepi pantai. begitu juga kehun-kebun mereka itu biasanya dibuat di tepi-tepi sungai. di daerah-daerah yang kering atau tidak berpaya.
Secara tradisional mereka itu hidup mengelompok dalam satuan kekerabatan yang d inarnakan taparu atau klen. yang pada dasarnya meng¬ikuti prinsip matri-bilateral. yang juga merupakan sebuah kesatuan hidup teritorial. Yang tendiri atas beberapa keluarga atau farn, yang merupakan sebuah perkampungan atau desa. Me¬nurut keterangan kepala desa Mwapi. Orang Muare berasal dan desa Muane Lama. yang dibangun oleh pemenintah penjajahan Belanda pada tahun 1953 untuk memukimkan keluarga-keluar¬ga yang tergolong dalam taparu-taparu yang termasuk suku Mauripi Keber¬adaan dan kelestanian sebuah taparu tidak langgeng. Sesuai dengan kon¬teksnva. sehuah keluarga atau fam, atau sebuah kampung dapat berubah menjadi sebuah taparu, tergantung pa¬da pentingnya fam atau keluarga ten¬sebut bagi pengorganisasian kehidup¬an sosial unituk terwujudnya penge-lompokan teritorial atau perkampungan dapat mensejahterakan kehidupan mereka. Di kampung Muare Lama. sebagai contohnya, yang terletak di tepi pantai di muara sungai Kamora terdapat empat buah taparu (Pouwer 1955: 283). yang taparu-taparu tersebut di desa Mwapi berubah menjadi fam atau hilang diganti dengan nama fam yang lain. Bahkan, taparu Muare di desa Mwapi sebenarnya adalah na¬ma kampung Muare Lama yang meru¬pakan tempat hunian teritorial dari pengelompokan empat taparu. seperti tersebut di atas. Pemerintah jajahan Belanda di Irian Jaya dan pemerintah Indonesia. mengupayakan supaya ke¬lompok-kelompok taparu yang kecil jumlah warganya itu dapat bermukim dalam sebuah ‘kampung’ (jaman peme¬rintah Belanda) atau dalam sebuah desa’ (jarnan pemerintahan Indone¬sia) secara bersama-sama. Hasil dan kebijaksanaan tersebut. sebagaimana yang telah kita lihat pada masa seka¬rang, adalah adanya desa-desa Orang Kamoro yang dihuni oleh setidak-¬tidaknya dua taparu, seperti yang ber¬Iaku dalam desa Mwapi.
Hidup dan sagu sebagai makan¬an pokok dan ikan sebagai lauk uta¬ma, dan sekali-kali menyantap hasil kebun (pisang. singkong, ubi manis. atau Iainnya). nasi dan/atau supermie telah menyebabkan bahwa mereka itu secara tetap dan terus-menerus mela¬kukan perpindahan dan hulu sungai (tempat dusun-dusun sagu tempat mereka memangkur sagu), ke muara sungai (tempat nienangkap ikan, ke¬rang, dan kepiting) dan kebun-kebun mereka (antara hulu dan muara sungai). Sampai sekarang pola kehidupan Se¬perti ini rnasih mereka ikuti, termasuk mereka yang telah men jadi warga per¬mukiman transmigrasi setempat di ka¬bupaten Mimika. Sehingga desa-desa Orang Kamoro hanya pada waktu¬-waktu tertentu saja warganya lengkap. termasuk desa Mwapi. Dalam kehi¬dupan Orang desa Mwapi, dan ini juga berlaku dalam kehidupan Orang Kamoro pada umumnya. corak keluar¬ga adalah keluarga batih; dan rumah tangga atau dapur adalah yang utama. Kewajiban terhadap sesama anggota keluarga adalah dalam tolong-meno¬long bila ada kesusahan. dan hubungan antara keponakan dengan saudara laki-laki ibu serta hubungan antara menantu laki-laki dengan mertua adalah lebih penting dan hubungan-hubungan kekerabatan lainnya. Kasih sayang di antara sesama anggota keluanga batih serta di antara mereka yang sekerabat adalah yang mengikat hubungan-¬huhungan di antara mereka yang se kerabat.
Walaupun demikian posisi Se¬orang individu sebagai perorangan dalam keiuarga adalah unik atau atomistik, yang terwujud dalam berbagai bentuk kepemilikan individual atas benda-benda berharga untuk sum¬ber-sumber kehidupan mereka maupun dalam bentuk atribut-atribut untuk jatu diri. Masing-masing anggota keluarga, anak-anak mempunyai kebebasan individual yang relatif besar dalam mengemukakan pendapat dan dalam kebebasan melakukan berbagai kegiatan sehari-hari, termasuk dalam hal kebiasaan makan. Masing-masing anggota keluarga bila ingin makan secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri dalam waktu yang bersamaan maupun dalam waktu yang.berbeda-beda. mengambil sagu dari tumang atau tempat sagu mentah yang terbuat dari anyaman daun sagu yang tersimpan di dapur, untuk membuat sagu bakar sendiri untuk dimakan sendiri. Hanya anak-anak balita yang dipersiapkan makanan dan minumnya oleh orang tuanya. terutama oleh ibunya masing-masing.
Pada masa sekarang, di mana anak-anak harus tinggal di desa untuk bersekolah sementara orang tua harus pergi memangkur sagu atau menangkap ikan. menjadikan kemandirian anak-anak tetap bagian utama dan sosialisasi. Oleh orang tua mereka, masing-masing anak diberi satu atau beberapa batang pohon kelapa untuk mereka ambil buahnya bagi makanan mereka selama orang tua mereka harus pergi untuk memangkur sagu di dusun ‘milik’ fam mereka, fam kerabat mereka. atau milik taparu mereka di sungai, atau pergi menangkap ikan pantai selama dua atau tiga minggu. Dalam keadaan demikian anak-anak tersebut ikut dengan orang tua mereka, atau bila anak-anak tersebut harus te¬tap tinggal di desa untuk bersekolah mereka itu dititipkan pengawasannya kepada kerabat dekat, sementara sejumlah sagu rnentah juga dititipkan pada kerabat tersebut untuk makanan anak-anak, yang harus mereka makan dengan cara memasaknya sendiri.
Kemandirian dari orang perorang. mencakup juga kemandirian dalam hal kerja dan hasil kerja yang men jadi miliknya sendiri, dan tidak perlu di¬bagikan sebagian hasilnya kepada orang lainnya. Bahkan dalam kegiatan kerja sama, prinsip hak kepemilikan perorangan ini tetap berlaku. Banyak contoh-contoh mengenai hal ini dalam kehidupan Orang Kamoro di desa Mwapi, untuk itu saya akan mengam¬bil sebuah contoh dalam kegiatan memangkur sagu di hulu sungai Pika, yang terletak di bagian sebelah utara timur laut dari desa Mwapi.
Sepanjang sungai Pika adalah daerah rawa-rawa yang ditumbuhi oleh pohon-pohon sagu yang hidup dalarn kelompok-kelompok dusun sagu. Masing-masing dusun sagu mi secara tradisional merupakan milik dan ta¬pàru-taparu dan fam-fam yang pada masa sekarang hidup di desa Mwapi. Perjalanan dari desa Mwapi ke dusun-¬dusun sagu tersebut bisa memakan waktu 2-3 hari dengan menyusuri su¬ngai Kauga ke arah hum dan kemudian berbelok ke arah kanan di pertemuan sungai Kauga dengan sungai Pika, lalu terus menyusuri sungai tersebut ke arah hulu. Rombongan peramu sa¬gu mi biasanya terdiri atas tiga sampai dengan lima keluarga. Sesampai di daerah sagu yang menjadi hak adat mereka, masing-masing membersihkan atau memperbaiki gubuk-gubuk yang sudah ada, yang telah dibangun masa lampau oleh orang-orang tua mereka rnasing-masing. untuk tempat rneng¬inap. Selama kira-kira dua minggu mereka tinggal di gubuk-gubuk ter¬sebut, dan masing-masing keluarga (suami isteri dengan dibantu oleh anak meneka yang sudah remaja, bila ada) berpencar ke dusun-dusun sagu yang secara adat adalah milik keluarga atau fam-nya untuk memangkur sagu, men¬jerat babi dan burung, dan menangkap ikan untuk lauk makan mereka. Setelah waktu yang mereka setujui untuk me¬mangkur sagu itu habis. mereka kern¬bali lagi ke desa Mwapi secara ber¬sama-sama. Masing-masing dengan perolehan jumlah tumang sagu yang berbeda. Ada yang bisa mengumpulkan sampai dua puluh lima tumang sagu dan ada yang hanya niampu mengumpulkan sepuluh tumang sagu saja: Perolehan mi tergantung pada waktu kerja yang telah mereka curahkan untuk memangkur sagu. atau untuk kegiatan¬kegiatan Iainnya. selama mereka berada di dusun sagu tersebut. Apa yang tetah mereka peroleh adalah hak milik mereka masing-masing, dan tidak ada konsep untuk membenikan sedikit sa¬gu pun bagi mereka yang sedikit perolehannya. Dengan kata lain, tidak ada konsep gotong royong atau beken¬ja sama untuk kepentingan bersama. Yang ada dalam konsep kebudayaan mereka adalah, bekerja bersarna-sama tetapi perolehannya untuk mereka masing-masing yang mengerjakannya.
Prinsip lain yang mendasar yang ada dalam kehudayaan mereka, seba¬gai sesuatu yang teradatkan dan utama dalam kehidupan mereka, yang me¬reka namakan ndaitita, atau Pedoman bagi kehidupan yang ditentukan oleh dan diwarisi dari nenek moyangnya yang mereka anggap sebagai yang sakral serta bersanksi gaib. Prinsip yang utama dalam ndaitita adalah prinsip timbal balik atau reciprocity, yang mereka namakan aopao. Prinsip timbal balik ini terwujud di hampir keseluruhan aspek kehidupan mereka. baik dalam hubungannya dengan sesama di dunia yang nyata. maupun dalam hubungannya dengan dunia gaib. Di antara prinsip timbal balik yang menonjol, yang relevan dengan tulisan ini adalah yang dinamakan nawara¬poka yang artinya pembayaran kembali atas segala sesuatu yang telah diterima dan pemberian oleh pihak Iainnya. yang menghasilkan adanya kegiatan balas membalas pemberián baik berupa materi maupun berupa jasa-jasa atau pujian. Di samping itu ada prinsip paiti, yang arti harafiahnya adalah malu. Konsep paiti ini merupakan pendukung atau pendorong bagi dilaksanakannya aopao atau nawarap oleh para pelaku yang bersangkutan karena, kalau hanya mau menerima pemberian saja itu maka hal itu sangat memalukan bagi si penerima di mata para pelaku lainnya.
Prinsip timbal balik beserta keseluruhan konsep-konsep budaya pendukung yang mendorong perwujudan dalam berbagai bentuk tindakan sehari-hari maupun dalam upacara-upacara terutama berlaku dalam lingkungan kerabat dan taparu, atau orang-orang luar kerabat dan taparu yang dianggap sebagai teman dekat. Contoh tadi dilaksanakannya prinsip aopao yang terwujud sebagai nawarapoka yang melibatkan paiti adalah kewajiban pengabdian menantu laki-laki kepada mertua dan keluarganya. Menantu laki-laki diperlakukan sebagai sapi perah yang hams menghidupi mertua keluarganya. karena dia telah diberi anak perempuan oleh sang mertua untuk dikawininya, atau untuk menjadi isterinya. Apa yang menarik dan prinsip aojao, yang juga berlaku di hampir sernua kebudayaan sukubangsa Irian Jaya, adalah bahwa imbalan; pembayaran tersebut harus dituntut yaitu dengan cara mengingatkan bahwa kalau tidak dilakukan pembayaran nawarapoka maka hal itu memalukan (paiti). dan kalau tidak juga dilakukan na wa rapoka atau imbalan pembayaran oleh orang yang menenima pemberian walaupun sudah dipermalukan, maka si pemberi merasa dipermalukan dan untuk menghapus rasa malu tersebut maka si pemberi akan mengimbangi¬nya dengan cara melakukan pemba¬lasan, dengan menggunakan berbagai cara tenung atau sihir.
Dari uraian tersebut di atas corak masyarakat desa Mwapi serta Orang Kamoro pada umumnya adalah egali¬tarian. Yaitu sebuah masyarakat yang relatif tidak niernpunyai sistem pen¬jenjangan secara formal (Fried, 1967), dan karena itu secana relatif terdapat kesamaan dalam hak dan kewajiban dari individu-individu warga masya¬rakatnya. Individu-individu mempu¬nyai ciri-ciri yang atomistik. Hubung¬an-hubungan di antara sesamanya ter¬ikat melalui berbagai sistem kekera¬batan yang berdasarkan atas pilihan–pilihan pribadi dan diatur berdasarkan atas prinsip timbal balik. Kemunculan tokoh atau orang yang berprestasi (we ayku) mulai ada dalam sejarah ke¬budayaan Orang Kamoro. tetapi konsep we ayku itu punah bersama dengan rnantapnya kekuasaan, penjajahan Belanda di Timika yang menekankan kekuasaan administrasi desa dengan kepala desa yang ditunjuk. Pada masa sekarang seorang kepala desa, yang dipilih oleh warga desa, bukan lah se¬orang we ayku. Kepala desa dipilih oleh wanga desa karena dia adalah anggota taparu-nya atau karena dia kerabat dan anggota taparu-nya. dalam persaingannya dengan calon kepala desa lainnya yang ada adalah anggota taparu lain.
ORANG MWAPI DAN ORANG-ORANG LUAR
Dalam kehidupan Orang Mwapi hanya anggota keluarga dan kerabat yang tergolong sebagai taparu mereka yang dapat mereka percayai, mereka mintai tolong, dan hidup dengan prin¬sip timbal balik atau aopao, yang me¬reka golongkan sebagai orang-dalam, sebagai lawan dan kategori orang ¬luar. Di luar kategori tersebut semua orang digolongkan sebagai orang-luar. Anggota-anggota taparu lainnya, yang sama sekali tidak ada hubungan ke¬kerabatan melalui hubungan perkawin¬an, yang hidup bersama dalam satu desa, juga digolongkan sebagai orang ¬luar. Konsep orang-dalam lawan orang¬ luar tidak terwujud sebagai sebuah konsep tersendiri, tetapi ada dalam konsep umum we yang artinya manu¬sia. Tercakup dalam konsep we ini terdapat konsep yang mendasar yang dinamakan iwoto atau manusia yang beradab yang mengenal kasih sayang sebagai manusia yang dibedakan dan orang-luar atau juga dari hewan. Tidak adanya konsep onang-luar sebagai se¬buah konsep kebudayaan tersendiri dalam khazanah tradisi budaya meneka, mungkin disebabkan oleh keberadaan orang-luar yang menurut mitologi me¬reka sebenamya berasal dan mereka sendin yang telah mengembara me¬ninggalkan mereka dan sekarang kernbali sebagai anak cicit nenek moyang tersebut. Orang-luar tersebut biasanya dilihat sebagai orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan dalam pengeta¬huan. teknologi, dan kekayaan yang membuat mereka tunduk atau menga¬Iah karenanya. Konsep orang-luar. sebagaimana yang sekarang ada dalam kebudayaan mereka, secara tradisional justru mengacu pada penggolongan berdasarkan perbedaan pengelompokan secara kekerabatan, berdasarkan atas perbedaan asal taparu dan desa atau kampung.
Dalam sistem penggolongan masa kini yang dipunyai oleh Onang Mwapi mengenai orang-luar, golongan yang paling luar adalah orang-orang pen¬datang dar luar Inian Jaya yang mereka tandai bendasarkan atas ciri-ciri fisik dan kebudayaannya. Selanjutnya, Se¬cara berturut-turut, sistem penggo¬longan orang-Iuar mencakup para pen¬datang dari berbagai asal sukubangsa di irian Jaya, orang-orang Kamono da¬ri desa-desa lainnya. orang-orang yang berasal dari taparu lain tetapi menjadi warga desa yang sama, orang-orang dari farn atau keluarga Iuas yang matri¬bilateral lain tetapi berasal dan taparu yang sama, orang-orang dan rumah tangga atau keluarga batih lainnya tetapi masih berada dalam satu fam atau keluarga luas, dan terakhir adalah individu atau perorangan lainnya di luar dirinya walaupun masih sesama anggota rumah-tangga atau keluarga keluarga batih, Konsep rnengenai onang-luar yang tercakup dalam berbagai golongan tersebut seringkali dikacaukan oleh pentingnya hubungan perorangan di antara mereka dengan orang-luar. Hubungan-hubungan perorangan yang dekat meniadakan batas-batas serta jarak-jarak sosial yang jauh yang seharusnya terwujud sesuai dengan sistem penggolongan tersebut.
Pengalaman-pengalaman menghadapi orang-luar, yang di satu pihak menguntungkan kehidupan ekonomi sehari-hari mereka, tetapi yang di pihak lain juga mereka rasakan sebagai meruugikan kehidupan mereka secara menyeluruh, telah membuat meneka berani untuk menentang atau melawannya. Trenkenschuh (1970) telah membahasnya serta menyimpulkan bahwa kebudayaan orang Kamoro telah dihancurkan sebagai akibat hubungan-hubungan meneka dengan para penyebar agarna Katolik, dengan sistem penjajahan Belanda yang menuntut pajak dan kerja rodi, dan dengan penjajah Jepang yang Iebih kejam lagi. Yang mereka punyai sekarang adalah rasa rendah diri serta tidak percaya diri dalam menghadapi orang-luar, dan untuk membangkitkan rasa percaya diri tersebut mereka lari ke minuman beralkohol. Selama penelitian saya di lapangan, saya mengamati kebenaran pendapat Trenkenschuh tersebut dalam bentuk gejala-gejala pemabokan yang umum berlaku dalam kehidupan me¬reka. Tetapi saya juga melihat adanya kemampuan Orang Kamoro. terutama di desa Mwapi untuk menyembunyikan kelemahan tersebut dengan cara ber¬laku sopan dalam menghadapi orang-¬luar. Gejala tersebut terutama dapat diamati dalam hubungan mereka de¬ngan para pejabat yang biasanya datang untuk memberi hadiah-hadiah kepada mereka, berkomunikasi dengan para tamu pejabat yang datang benkunjung dengan menggunakan idiom-idiom sesuai dengan kategori pejabat atau orang-luar yang mereka hadapi tersebut (hal ini juga dikemukakan oleh Widjojo (1997) dalam pembahasannya mengenai hubungan Orang Kamono dengan orang-Iuar). Karena itu Orang Kamoro memberikan kesan sebagai golongan suku-bangsa di Kabupaten Timika, yang dapat dibedakan dari ciri-ciri kebudayaan suku-sukubangsa lainnya, karena mereka ini berpenam¬pilan sopan. penurut, dan indecisive atau tidak mempunyai ketegasan dalam memutuskan sesuatu masalah. Dalam hal mi ciri-ciri Orang Kamoro mirip dengan stereotip yang dikenakan pada Orang Jawa yang dikatakan, kalau menyatakan menolak sesuatu suruhan dan atasan adalah dengan cara me¬ngatakan inggih (ya) tetapi tidak dikerjakan, padahal sebenarnya dia ingin menyatakan mboten (tidak). Atau me¬nyatakan rnbesuk (besok), padahal arti¬nya bisa kapan saja atau suruhan ter¬sebut tidak pemah dikerjakan.
Berkaitan dengan performansi da¬lam interaksi dengan orang-luar tersebut, kemampuan mernainkan peranan sebagai pemain panggung pada Orang Mwapi juga cukup tinggi. Apa yang dikemukakan dalam rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan desa dengan pe¬jabat yang datang berkunjung biasanya hanya basa-basi untuk memuaskan ego para pejabat yang bersangkutan. Ke¬cuali bila dia atau mereka itu tahu bahwa si pejabat atau si pengunjung itu mengetahui seperti apa sebenarnya isi dan kebudayaan atau ndaitita yang mereka punya itu. Dalam keadaan de¬mikian mereka itu biasanya tidak lagi dapat menjadi pemain panggung (front stage), tetapi sebaliknya mereka itu akan bentindak biasa sebagai Orang Kamoro yang mengungkapkan keada¬an sebenamya mengenai kehidupan mereka (back stage), bila kita menggu¬nakan model interaksi dan Goffman (1959) di dalam kita memahami gejala¬gejala tersebut. Gejala lain yang saya amati dari dampak hubungan dengan orang-luar yang menyebabkan mere¬ka menjadi merasa rendah diri adalah. mengatasi rasa rendah diri mereka dengan cara melarikan diri ke dalam dunia Kamoro atau ndaitita yang me¬reka ciptakan atau bangun kembali, baik secara sadar ataupun secara tidak sadar. Mereka menekankan kembali pentingnya hidup subsistensi yang berpindah-pindah dari hulu sungai ke tepi pantai dan tepi pantai ke kebun, yang mereka lakukan secara terus ¬menerus dan berulang-ulang dari waktu ke waktu, dan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan cana-cara tensebut, mereka itu merasa memper¬oleh kebebasan pribadi dari berbagai perasaan tertekan secara sosial, eko¬nomi. dan politik yang mereka hadapi sehari-hari.
Melalui cara-cana hidup seperti tersebut di atas, meneka menciptakan serta menghidupkan kembali ikatan-ikatan primordial yang telah dihancur¬kan oleh pemerintah jajahan Belanda dan Jepang dan oleh gereja. Keluarga, kerabat, dan taparu adalah yang utama dalam kehidupan mereka; dan, kese¬muanya itu didukung oleh serta men¬dorong terwujudnya kegiatan-kegiatan sosial. ekonomi, dan politik yang me¬nekankan pentingnya ikatan-ikatan primordial tersebut. Dalam dunia yang primordial, yang mereka bangun kembali inilah mereka merasa menjadi manusia kembali.
Karena itu, saya tidak menjadi kaget pada waktu saya mengamati adanya perdebatan dan pertengkaran yang cukup sengit di antara sesama warga taparu Muane berkaitan dengan masalah nmi’arapoka dan paiti ber¬kenaan dengan macam serta besamya sumbangan pada kerabat untuk mas kawin salah seorang warga yang akan kawin dengan seorang wanita Asmat. Saya juga tidak heran pada waktu terjadi pertengkaran antara seorang warga taparu Muare dengan warga taparu Pigapu berkenaan dengan sejarah nenek moyang mereka dan hubungan-hubungan yang terjadi dimasa lampau di antara nenek moyang tersebut dalam kaitannya dengan penguasaan dan hak-hak atas dusun-dusun sagu dan wilayah-wilayah penangkapan ikan mereka. Masalah-masalah ini, di mata mereka sekarang ini bukanlah masalah sepele, tetapi sebuah masalah berkenaan dengan jatidiri dan atribut-atnibut kehormatan bagi jatidiri tersebut. Saya tertawa dan bersamaan dengan itu mengajak pastor dari paroki Mapumjaya, yang juga menjadi pastor dari Orang Mwapi untuk memahaminya pada waktu dia bercerita bahwa pada suatu hari di tahun 1994, pada waktu masa Paskah ada sejumlah warga desa yang secara sembunyi-sembunyi melakukan upacara mbi (patung nenek moyang) sepenti patung bis pada Orang Asmat.

PROGRAM AYAM DAN KELOMPOK MASYARAKAT
Pada suatu hari di bulan September 1996, seorang petugas dari Dinas Peternakan Propinsi Irian Jaya menemui saya di Kantor Penwakilan Departemen Transmigrasi dan PPH di Timika. Dan staf Kanton Perwakilan Departemen Tnansmigrasi dan dan warga masyarakat desa Mwapi dia mengetahui bahwa saya sedang meng¬adakan penelitian di desa Mwapi dan Kaugapu. Petugas Dinas Petennakan Propinsi tersebut mengatakan bahwa dia datang dari Jayapura ke Timika dengan membawa 352 ekor ayam buras yang diangkutnya dengan pesawat Merpati. Bersamaan dengan ayam tensebut juga dibawanya persediaan makanan-jadi berupa pelet, serta obat¬-obatan anti penyakit ayam. Dia me¬minta pendapat saya mengenai Pro¬gram Ayam ini. Saya katakan sangat bagus sebab akan membantu mening¬katkan mutu gizi makanan warga desa Mwapi. akan menguntungkan secara ekonomi, dan akan meningkatkan ke¬mampuan warga desa tensebut dalam berpikir secara ekonomi yang ber¬orientasi ke pasar, Saya katakan, segera saja dibagikan keseluruhan ayam ten¬sebut kepada selumh keluarga yang menjadi warga desa Mwapi, secara merata dan adil, berikut pelet atau makanan-jadi ayam. serta obat-obatan. Dan, jangan lupa untuk memberi pe¬tunjuk-petunjuk pemeliharaan ayam yang sehat dan menguntungkan, secara terpeninci dan sejelas-jelasnya kepada mereka, petunjuk-petunjuk cara mem¬buat pelet, dan cara pengobatannya bila ayam diserang penyakit. Dan, mungkin untuk selama kira-kira satu bulan, sebaiknya tinggal di desa, Mwapi, dan betul-betul mensupervisi pemeliharaan ayam tersebut secara perorangan, dan satu keluarga ke ke-luarga lainnya secara keseluruhan.
Tetapi, kemudian dia mengatakan bahwa cara pemberian atau bantuan ayam kepada warga desa Mwapi tidak¬lah seperti yang saya bayangkan. Me¬nurut dia Program Ayam ini adalah sebuah program pembangunan ayam yang bergulir. Artinya di desa Mwapi dibentuk sebuah kelompok masyarakat yang akan mengelola ayam tersebut di bawah pimpinan kepala desa Mwapi. Setelah satu atau dua tahun, yaitu se¬telah ayam tersebut berkembang biak menjadi banyak, maka akan dibentuk sebuah kelompok masyarakat lainnya untuk pemeliharaan ayam di desa Kaugapu atau desa-desa lainnya secara bergiliran, dengan menggunakan hasil pembiakan kelompok masyarakat ayam tersebut. Saya katakan bahwa bila ca¬ra kelompok masyarakat yang akan digunakan untuk memelihara dan me¬ngembang biakkan ayam, maka dia akan gagal. Terkecuali bila dia sendini yang memimpin pembentukan ke¬lompok masyarakat dengan dibantu oleh kepala desa Mwapi, sampai ke¬lompok masyanakat untuk pemeliharaan ayam tersebut telah betul-betul mantap mekanisme kerjanya; setelah itu baru dia tinggalkan. Untuk itu paling tidak akan harus memerlukan waktu selama satu tahun pembinaan dan pembimbingan yang disertai de¬ngan kerja keras secara mental dan fisik, baik oleh penyuluh atau pembim-bingnya maupun oleh warga setempat. Terutama bagi warga masyarakat se¬tempat keberadaan serta mekanisme kerja kelompok masyarakat tersebut akan mengubah keseluruhan pola-pola kebudayaan subsistensi dan benpin¬dah-pindah secara berkala dari hulu sungai (dusun sagu) ke pantai (me¬nangkap ikan) atau ke rawa-rawa, dan ke desa (menengok anaknya yang se¬kolah, menjual hasil perolehan, atau rnenikmati waktu istirahat) serta kebunnya (memetik hasil kebun).
Alasannya adalah, karena Orang Kamoro, mencakup juga Orang Ka¬mono di desa Mwapi, tidak mengenal konsep masyarakat atau negara, seba¬gaimana yang seharusnya, dan karena itu tidak mempunyai konsep menge¬nai kelompok masyarakat sebagai Se¬buah satuan kerja. Yang mereka miliki adalah konsep untuk bekerja bersama-¬sama tetapi untuk diri sendiri masing-¬masing. Saya berikan contohnya ke¬gagalan program IDT di desa Mwapi, dan desa-desa Iainnya di kabupaten Timika yang menggunakan model kelompok masyarakat. Tetapi dia me¬ngatakan bahwa ‘itu kan IDT’. Yang jelas dia tidak mempercayai kata-kata saya. Setelah rnenyerahkan ayam be¬rikut makanan dan obat-obatan ayam kepada kepala desa Mwapi, dia segera berangkat kembali ke Jayapura. Dia menyerahkan seluruh permasalahan pemeliharaan ayam tersebut, dari mulai pembentukan kelompok masyarakat sampai dengan cara-cara pembuatan kandang serta pemeliharaan ayam dan perawatan pengobatan ayam yang sakit tersebut kepada kepala desa Mwapi yang telah dibekalinya dengan petunjuk-petunjuk yang cukup. Dia mengatakan kepada saya bahwa dia akan kembali pada akhir bulan Oktober nanti, untuk berkonsultasi lagi dengan saya.
Pada akhir bulan November 1966 dia berada kembali di Timika dengan membawa ayam serta berbagai perIengkapan pemeliharaannya untuk Orang Kamono di desa Miyoko; dan pada permulaan bulan Desember dia menemui saya. Kedatangannya di Timika juga dimaksudkan untuk menengok ayam yang telah dibagikannya kepada warga desa Mwapi. Alangkah kagetnya bapak petugas peternakan ini. Karena, ayam yang semula berjumlah 352 ekor pada waktu dibeirikan kepada desa Mwapi sekarang hanya tinggal 116 ekor. Jawaban yang diperoleh dari kepala desa dan anggota-anggota kelompok masyarakat tersebut seragam, yaitu: ada yang dimakan anjing, dibawa lari ular, ada yang mati karena sating berkelahi, dan ada yang hilang barangkali dicuri orang pada malam hari. Bapak petugas ini mengeluhkan nasibnya kepada saya dan anggota-anggota tim penetitian, yang pada waktu itu sedang mentabulasi data kwesioner di wisma transmigrasi di Timika. Kami mau tertawa tetapi karni tahan, karena kasihan memba¬yangkan nasibnya yang harus membuat pertanggungjawaban kepada atasannya, karena jumlah ayam yang seharusnya menjadi banyak karena berkembang biak tetapi justru menjadi susut jumlah¬nya. Sekarang dia meminta saran saya.
Saya nasehatkan untuk membuat laporan Program Ayam sebagaimana adanya kepada pejabat yang menjadi atasannya, dan kalau dia takut disangka berbohong saya bersedia membantunya dengan kesaksian saya. Selanjutnya, dia harus membagikan sisa ayam yang berjumlah 116 ekon tersebut kepada seluruh keluarga yang pada saat ini berada di desa Mwapi dengan seadil-¬adilnya dan merata, sebelum hari Na¬tal. Kalau tidak ayam tersebut akan habis tidak ketahuan rimbanya. Se¬dangkan untuk desa Miyoko, sebaiknya dia meminta kepala desa Miyoko untuk rnemerintahkan kepala-kepala keluarga segera membuat kandang ayam yang baik dan kuat untuk ayam-ayam yang akan mereka terima. Lalu, ayam-ayam yang mereka bawa tersebut dibagikan secara adil dan merata kepada semua keluarga-keluarga yang menjadi warga desa Miyoko. Bersama dengan itu dia juga harus juga memberikan petunjuk¬petunjuk pemberian makanan kepada ayam, pembuatan makanan ayam, dan cara-cara pengobatan bila ayam-ayam tersebut terserang penyakit.
Sebenarnya, apa yang terjadi di desa Mwapi pada waktu ayam-ayam tersebut akan diserahkan kepada kepala desa jauh lebih kompleks daripada hilangnya ayam-ayam tersebut. Pada waktu kepala desa Mwapi mendapat berita bahwa desanya akan mendapat ayam, dan untuk itu dia diminta oleh petugas petemakan tersebut untuk membuat kelompok masyarakat, dia merasa senang. Kepala desa telah ber¬pengalaman dalam membuat kelom¬pok masyarakat dan memberdaya¬kannya untuk kepentingan anggota¬-anggotanya dalam program IDT, walaupun program IDT itu sendiri bangkrut. Untuk kepentingan peneri¬maan ayam serta perneliharaannya ter¬sebut, dipanggilnya 20 kepala keluarga, yang kesemuanya adalah dari taparu Muare, yang sebagian besar adalah kerabat-kerabat dekat istrinya dan si¬sanya adalah kerabat-kerabatnya atau teman-teman dekatnya yang mempu¬nyai hubungan-hubungan aopao dan nawarapoka. Para anggota kelompok masyarakat tersebut kemudian secara bersama-sama diberi tugas oteh kepala desa untuk memperbaiki kandang-¬kandang ayam dari pagar bambu yang mengelilingi kandang-kandang tersebut, bekas atau sisa peninggalan prog¬ram ayam IDT, yang letaknya di wilayah hunian taparu Muare dan desa Api. Ketika ayam diserahkan kepada kepala desa, langsung dimasukkan ke dalam kandang ayam. Bapak petugas merasa senang karena merasa bahwa ayam-ayam yang di serahkannya ter¬sebut akan menjadi ayam bergulir, karena melihat bahwa kandang ayam telah dipersiapkan dengan sebaik-¬baiknya. Dengan keyakinan akan ke¬berhasilannya, dia meninggalkan desa Mwapi dan Timika untuk kembali ke Jayapura.
Pada waktu kepala desa Mwapi menyampaikan benita kepada perangkat desa, yang juga anggota-anggota kerabatnya, sedangkan perangkat de¬sa yang bukan kerabatnya atau yang berasal dan taparu Pigapu tidak diberi tahu mengenai program ayam ini, bahwa mereka akan menerima ayam dan Dinas Peternakan Propinsi untuk program pembangunan ayam, ada juga anggota-anggota dari taparu Pigapu yang mendengarnya. Beberapa orang dari taparu Pigapu yang merasa dirinya sebagai tokoh atau pimpinan taparu tersebut mendatangi kepala desa dan meminta agar mereka juga diberi ba¬gian. Kepala desa mengatakan bahwa hal itu tidak bisa dilakukannya. Dengan mengutip kata-kata bapak petugas pe¬ternakan dia mengatakan kepada meneka yang mewakili taparu Pigapu, bahwa ayam ini harus diberikan kepada kelompok masyarakat yang jumlahnya 20 keluarga. Kelompok masyarakat ini akan memeliharanya, dan kalau sudah dua tahun ayam-ayam tensebut akan digulirkan kepada kelompok masyarakat lainnya yang akan dibentuk kemudian. Untuk pemeliharaan yang berikutnya, kelompok masyarakat tersebut bisa tendiri atas orang-orang Pigapu. Wakil-wakil dan taparu. Pigapu bersungut-sungut tetapi mereka meninggalkan si kepala desa karena mendengan dia mengutip kata-kata bahasa Indonesia seolah-olah terdengar seperti kata-kata si bapak petugas. Dari kata-kata si kepala desa mereka menyadari bahwa kata-kata dari makna yang terkandung di dalamnya bukanlah urusan si kepala desa tetapi urusannya si petugas. Mereka hams berbicara sendiri dengan si petugas.
Beberapa warga taparu Piga yang kemudian mendengar bahwa ha¬nya warga taparu Muare saja yang akan memperoleh ayam menjadi marah. Menunut keterangan yang saya peroleh, ada yang mabok-mabok dan mencaci maki kepala desa dan kerabat-kerabatnya. Ada pula yang bertengkar dengan warga taparu Muare, dan menuduh bahwa kelompok masyarakat bergulir hanya tipu-tipu kepala desa Mwapi saja. Ada beberapa keluarga yang karena merasa tidak dihargai, sehubungan dengan perbuatan kepala desa yang hanya menguntungkan kerabat-kerabatnya yang Orang Muare lalu pergi ke bekas desa Pigapu Lama di muara sungai Kamora untuk bermukim dan hidup di situ dengan cara mencari ikan dan kerang di tempat tersebut yang hasilnya dijual kepada para tengkulak asal Makassar. Pada waktu permasalahan kelompok ma¬syarakat yang anggota-anggotanya ter-seleksi tersebut telah mereda, muncul lagi masalah baru. Yaitu, siapa sebe¬narnya yang harus merawat ayam-¬ayam tersebut. Karena ada sejumlah anggota-anggota kelompok masyarakat yang sama sekali tidak mau ikut me¬ngurusi ayam-ayam tersebut, ada juga yang hanya pura-puna mengurusi tetapi sebenarnya hanya duduk-duduk me¬ngobrol saja sekitar kandang ayam. Yang merasa benar-benar mengurusi ayam tersebut menjadi kecewa. Untuk apa berlelah-lelah mengurusi ayam, sedangkan yang tidak ikut mengungsi nantinya akan juga memperoleh bagian keuntungan dari kegiatan pemeliharaan ayam tersebut. Lebih baik tidak akan mengurusi, demikian kira-kira keluhan tersebut.
Sambil menggerutu mereka itu secara sembunyi-sembunyi mulai mengambil ayam milik kelompok ma¬syarakat tersebut, yang mereka anggap sebagai imbalan atas jerih payah mereka. Yang melihat perbuatan tersebut ikut-ikutan juga, karena ayam tersebut sebenamya ayam yang tidak ketahuan siapa sebenamya pemiliknya; sehingga kalau ada yang hilang tidak ada yang menuntut ganti rugi kepada mereka. Saya sendiri memergoki mereka, dalam waktu-waktu yang berbeda, menyem¬bunyikan ayam dalam gulungan sarung di kendaraan umum yang melaju ke pasar Timika. Baru belakangan kepala desa mengetahui bahwa kelompok masyarakat untuk program pengem¬bangan ayam ini telah berubah menjadi kelompok masyarakat untuk meng¬konsumsi ayam. Dia tidak bisa berbuat apapun. Mereka itu semua adalah ke¬rabatnya. Dia terikat dalam saling hu¬bungan aopao dan nawarapoka de¬ngan mereka itu semua. Cara terbaik, menurut pertimbangannya, adalah membuat sebuah skenario yang masuk akal, untuk melindungi kerabat-kera¬batnya yang anggota kelompok ma¬syarakat ayam tensebut, dengan cara menyalahkan anjing, ular, penyakit, dan pencuri yang tidak diketahui siapa adanya.
Dengan cara ini dia menyela¬matkan dininya sendiri dari rasa malu dalam menghadapi anggota-anggota taparu Pigapu. Sedangkan dalam menghadapi petugas petemakan dia tidak merasa malu, karena menurut keyakinannya, pemerintah rnasih kaya dan karena itu tidak akan rugi kalau kalau ayam yang hanya berjumlah sekian itu hilang. Lagipula, menurut pikirannya, berdasarkan pengalaman¬nya, tugas pemerintah adalah mem¬benikan hadiah-hadiah kepada rak¬yatnya terutama warga desa Mwapi karena baru sedikit yang telah diterima dan pernberian pemenintah. Bahkan kalau perlu meminta tambahan ayam lagi.
Pembahasan dan Kesimpulan
Corak masyarakat desa Mwapi yang egalitarian, di mana tidak ada sistem penjenjangan sosial yang for¬mal dan di mana berlaku hak-hak dan kewajiban perorangan yang sama dari semua warga masyarakat dalam kait¬annya dengan kerja, menyebabkan bahwa konsep mengenai masyarakat luas dan/atau negara tidak ada dalam kebudayaan mereka. Dalam tradisi atau kehidupan sehari-hari mereka yang berpindah-pindah dalam rotasi secara berkala dan tetap, dengan mata pen¬cahanian yang taraf ekonominya sub¬sistensi, konsep masyanakat luas dan negara tidak relevan dalam kegiatan-¬kegiatan tersebut. Yang lebih relevan dalam menghadapi lingkungan alam bagi berbagai pemenuhan kebutuhan kehidupan mereka adalah keluarga, keluarga luas, dan taparu.
Berbagai dorongan untuk peme¬nuhan kebutuhan bagi kehidupan me¬reka atau untuk bertindak bagi meng¬ungkapkan keinginan-keinginan mereka hanya mungkin terwujud dalam konteks-konteks yang relevan. Kon¬teks-konteks yang relevan ini men¬cakup kondisi-kondisi pelaku dan suasana-suasana yang ada dan yang relevan dan situasi-situasi yang mereka hadapi. Bila dua faktor mi tidak relevan dengan keinginan-keinginan atau dorongan-dorongan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan maka tindakan-tindakan yang mengungkapkan keinginan-keinginan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut terjadi tidak terwujud.
Acuan dan mekanisme kontrol dalam kehidupan Orang Kamoni adalah ndaitita atau kebudayaan mereka yang mereka yakini kebenarannya dan kesakralannya yang berasal dari nenek moyang untuk dapat hidup sejahtera sebagai Orang Kamoro. Sistem-sistem -penggolongan, konsep-konsep, teori-teori, dan panadigma-paradigma yang ada dalam kebudayaan tersebut pada dasamya menekankan kehidupan yang egalitarian, menekankan pentingnya hubungan-hubungan keseimbangah yang berdasarkan asas timbal balik antara orang-perorang dengan mahluk atau kekuatan gaib, dan dengan lingkungan alam di mana mereka itu hidup. Segala tindakan, dalam konsep budaya meneka, dari pengamatan sehari-hari mengenai apa yang mereka lakukan, haruss selalu berada dalam konteks-konteks yang relevan tindakan-tindakan mereka tersebut. Apa yang tidak ada dalam ndaitita adalah konsep-konsep mengenai negara berikut kekuasaannya.
Apa yang kritikal dalam kaitannya dengan program ayam dan pembentukan kelompok masyarakat adalah makna program ayam dan kelompok masyarakat dalam konteksnya; yaitu yang meneka lihat sebagai perwujudan dari kekuasaan pemenintah. Pemerintah yang dapat dan mampu memaksakan kehendaknya dengan cara halus dan dengan cara kekerasan serta penghu¬kuman bagi yang menentangnya. Te¬tapi di lain pihak pemerintah juga baik hati karena memberikan hadiah-ha¬diah dan pemaaf kalau suruhannya gagal karena alasan-alasan yang ma¬suk akal. Konsep mengenai pemenintah atau kekuasaan pemerintah seperti ter¬sebut di atas, berkembang dan menjadi mantap melalui pengalaman-penga¬laman orang-orang tua mereka, serta melalui pengalaman-pengalaman yang mereka alami sendiri. Konsep mereka mengenai pemerintah tersebut menjadi mantap karena pola-pola tindakan para pejabat atau petugas dalam berbagai pelaksanaan program pembangunan memperlihatkan kesamaan-kesarnaan sebagaimana yang dilihat dan dialami oleh Orang Kamoro. Pola-pola tersebut mancakup para pejabat atau petugas itu ingin mendengarkan kata-kata persetujuan dan pujian mereka yang langsung diungkapkan secara berta¬tapan muka. Semua petunjuk dan suruhan di-iya-kan. Di belakang nanti tidak dikerjakan tidak jadi soal, karena banyak alasan untuk rnenjelaskannya, tetapi yang terpenting jangan sampai menyinggung perasaan para pejabat atau petugas.
Dalam tulisan ini telah saya tunjukkan kegagalan program pengem¬bangan ayam melalui kelompok masyarakat di desa Mwapi. Melalui urai¬an secara sederhana mengenai apa yang terjadi dalam proses-proses pem¬bentukan kelompok masyarakat dan pengelolaan ayam oleh kelompok masyarakat tersebut saya perlihatkan bahwa ikatan-ikatan primordial meru-pakan acuan utama bagi mengorgani¬sasian diri untuk menguasai sumberdaya serta pendistribusiannya dan dalam upaya menghadapi dunia-luar yang ingin turut campur menikmati sum¬berdaya yang telah berada di tangan mereka. Dalam menghadapi dunia luar, yaitu pemenintah yang diwakili oleh petugas dan anggota-anggota taparu Pigapu, ikatan-ikatan primordial ter¬sebut memperkuat solidaritas penge¬lompokan kerabat yang pada dasar¬nya telah terikat oleh saling hubungan aopao dan kewajiban nawarapoka. Kepala desa Mwapi yang melihat per¬masalahan ini dan perspektif kepen¬tingan dirinya dan kerabatnya, dapat dilihat sebagai:
(1) Dirinya adalah kelompok kerabat¬nya, dan kelompok kerabatnya adalah dirinya. Sebuah hubungan timbal balik yang berupa saling ketengantungan, yang disadari atau tidak disadari yang menunjukkan bahwa tanpa dirinya kelompok kerabatnya akan hancur berantak¬an, dan kalau kelompoknya hancur berantakan maka dia juga akan hancur berantakan, kanena yang utama dan satu-satunya sistem acuan yang dikenalnya serta yang paling dipercayainya dalam ke¬hidupan di desa Mwapi dalam menghadapi berbagai situasi adalah kelompok kerabatnya. De¬ngan demikian, gejala-gejala yang diuraikan dan dibahas seperti ter¬sebut di atas bukanlah sesuatu yang ‘primer’ yang berlaku di dalam pnoses-proses sosialisasi sebagaimana dikemukakan oleh Jenkins dalam bahasannya me¬ngenai konsep primordial dan Geertz, tetapi sesuatu yang utama, yang berupa perasaan-perasaan serta keyakinan-keyakinan yang utarna yang dipunyai oleh ma¬syarakat-masyarakat yang hidup dalam suasana keterbelakangan serta tidak mempunyai konsep masyarakat dan negara di dalam kebudayaan mereka.
(2) Primordialitas, sebagaimana telah dikemukakan oleh Geertz dalam tulisan ini adalah gejala yang ter¬wujud ‘sebagai jati diri perorangan yang secara kolektif diratifikasi dan secara publik diungkapkan, yang dapat diinterpretasi bahwa primordialitas adalah gejala per¬orangan yang berisikan perasaan-¬perasaan dan keyakinan-keyakinan mengenai dirinya dan dunianya yang paling utama, karena men¬dasar dan umum berkenaan de¬ngan takdir kelahirannya dan ketergantungan hidupnya dalam dunianya tensebut. Cara-cara penanganan kepala desa dalarn bentukan kelompok masyarakat untuk pengembangan ayam memperlihatkan ciri-ciri tindakan-tindakannya yang primordialitas. Primordialitas ini juga terungkap dalam tindakan-tindakannnya menangani kehilangan ayam dan kegagalan kelompok masy yang dipimpinnya.
(3) Batas-batas sukubangsa antara taparu Muane dan Pigapu diperjelas, dan tidak dapat diseberangi dalam masalah ayam di desa Mwapi, sebagaimana diuraikan dalam tulisan ini. Siapa kami dan siapa mereka dipertegas perbedaannya, dan kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa menjadi tampak sebagai gejala peorangan yang terungkap secara individual maupun secara kolektif dalam interaksi-interaksi yang digunakan dalam tujuan untuk memenangkan kompetisi sumberdaya dan kehormatan atau untuk mempertahankan sumberdaya yang telah dikuasainya benikut alokasinya.
Dari penjelasan tersebut di atas, kesukubangsaan dan primordialitas sebenarnya adalah dua konsep yang saling tumpang tindih atau melengkapi. Untuk itu, kesukubangsaan harus dilihat sebagai gejala perorangan yang berupa jati diri yang mengacu pada atribut-atribut suku-bangsa dan kebu¬dayaan dan pelakunya, yang terungkap dalam interaksi.
Primordialitas adalah sentimen-sentimen atau perasaan-perasaan dan keyakinan yang utama yang mengacu pada sebagaimana para pelakunya melihat dirinya dan dunianya dalam kaitannya dengan keluarga, kerabat, sukubangsa dan kebudayaannya. Tanpa sesuatu yang primordial maka juga kesukubangsaan tidak berarti apa-apa, karena bila demikian maka sukubangsa adalah sama dengan sebuah kategori sosial yang umum dan karena itu juga maka kesukubangsaan adalah sebuah jati diri sosial yang umum. Padahal kesukubangsaan bertahan lama dan mantap dalam kehidupan masyarakat majemuk atau masyarakat Multi-eth¬nic seperti di Mwapi, atau di Timika, serta di Irian Jaya dan Indonesia pada umumnya, di mana permasalahan asal muasal merupakan acuan utama dalam interaksi-interaksi yang berlaku.