Kebangsaan dan Perimodalisme
Kesukubangsaan sebagai sebuah konsep ilmiah telah bergeser pengertiaannya dari
mengenai isi kebudayaan menjadi mengenai jatidiri atau identitas yang muncul
dalam interaksi sosial, dan yang karena itu kajian mengenai kesukubangsaan
menjadi terfokus pada batas-batas sukubangsa dimana atribut-atribut
kesukubangsaan yang mencakup simbol-simbol kebudayaan sebagaimana didefinisikan
oleh para pelakunya menentukan corak kesukubangsaan yang
bersangkutan.Pergeseran tersebut dimulai oleh Frederik Barth (1969:9-38) yang
menunjukan bahwa kajian mengenai sukubangsa bukanlah kajian mengenai kolektiva
dengan isi atau taksonomi kebudayaannya, tetapi kajian yang mengenai organisasi
sosial yang askriptif berkenaan dengan asal muasalnya yang mendasar dan umum
dari para pelakunya; sebab, jika kajiannya mengenai kolektiva dan isi
kebudayaannya yang dilakukan secara taksonomi maka yang dihasilkan adalah
kajian-kajian mengenai taksonomi kebudayaan, pola-pola kebudayaan, akulturasi
kebudayaan, atau perubahan kebudayaan; dan bukan kajian kesukubangsaan. Lebih
lanjut, kajian kesukubangsaan adalah kajian yang memusatkan perhatian pada
antar hubungan diantara pelaku, dengan jatidiri sukubangsanya sebagai
atribut-atribut yang digunakan dalam interaksi-interaksi sosial. Karena itu
Barth dalam tulisannya tersebut mengemukakan pentingnya perhatian kajian
mengenai sukubangsa pada batas-batas sukubangsa, yang terwujud dalam hubungan
antar sukubangsa, karena dalam interaksi tersebut perbedaan-perbedaan jati diri
dari para pelaku nampak jelas ditunjukkan; yang terwujud baik dengan sengaja
maupun dilakukan secara spontan, maupun yang terwujud sebagai atribut-atribut
fisik, simbol-simbol yang tersurat maupun yang tersirat, serta yang tacit.
Berbagai tulisan mengenai kesukubangsaan setelah tulisan Frederik Barth
tersebut telah memenuhi khasanah kepustakaan antropologi, dan tulisan yang
paling terakhir mengenai masalah kesukubangsaan adalah hasil karya Jenkins
(1997).
Jenkins (1997) tertarik untuk
mendalami konsep kesukubangsaan dengan memusatkan perhatiannya pada
permasalahan jatidiri, yang dikajianya secara akademik dan intelektual, dengan
melihatnya dari sejarah perkembangan penggunaan konsep ini yang dimulai oleh
Max weber, memperbandingkan dengan konsep ras, dan bahkan melihat nkonsep
kesukubangsaan secara taksonomik untuk kepentingan analisis (sic). Dalam upaya
untuk mengoperasionalkan konsep kesukubangsaannya secara membumi, dia
menggunakan kasus-kasus masyarakat negara di Eropa, yang dilihatnya secara
makro. Apa yang terabaikan dalam kajian Jenkins seperti tersebut diatas adalah
batas-batas suku bangsa yang ditekankan pentingnya oleh Frederik Barth.
Batas-batas sukubangsa yang terwujud sebagai arena-arena interaksi yang
terwujud dalam birokrasi, dalam tempat-tempat umum-lokal serta pasar, yang mewujudkan
adanya macam kebudayaan dominan atau bukan dominan pada tingkat makro (Bruner
1974:251-280), yang mempengaruhi dan bahkan dalam beberapa hal menentukan corak
jati diri para pelakunya (Suparlan 1995).
Permasalahan lainnya yang juga
tercakup dalam kajian Jenkins (1997) tersebut diatas adalah sorotannya mengenai
primordialitas yang dikemukakan oleh Clifford Geertz (1973b:268,306) yang
dilihat oleh Jenkins (1997:13-41) sebagai sama dengan kesukubangsaan. Padahal
dalam tulisannya tersebut Clifford Geertz sama sekali tidak berbicara mengenai
kesukubangsaan, walaupun dia memang menyinggung masalah etnosentrisme di dalam
pembahasannya mengenai teori kebudayaan (1973a:4), tetapi etnosentrisme berbeda
atau tidak sama pengertiannya dengan pengertian kesu¬kubangsaan atau ethnicity.
Yang di¬bicarakan oleh Geertz (1973b: 250) adalah primordialitas atau
ikatan-ikat¬an primordial, yang didefinisikannya sebagai ‘sesuatu yang berakar
pada sesuatu yang ‘sudah takdirnya’ (given) atau, di mana seseorang terikat
secara moral oleh berbagai rasa tang¬gungjawah yang timbal balik pada
anggota-anggota kerabatnya, tetangga¬nya, sesama penganut agamanya.
setidak-tidaknya primordialitas tersebut sebagian terbesar terwujud oleh adanya
kesadaran moral atas sesuatu kemutlakan yang penting atau mama yang dapat
diperhitungkan se¬cara untung rugi semata-mata. yang diatributkan pada ikatan
dirinya sen¬din’. Dengan kata-kata yang Jebih sederhana, Geertz (1 973h: 268)
meng¬artikan primordialitas sebagai ‘sebuah dunia jatidiri perorangan atau pribadi
yang secara kolektit’ diratifikasi dan secara publik diungkapkan. yang
me¬rupakan sebuah keteraturan dunia’. Primordialitas adalah sesuatu yang utama,
atau primordial, yaitu perasaan yang dipunyai orang perorang, ber¬kenaan dengan
kehadirannya dengan kehidupannya di dunia ini sebagai suatu takdir bahwa dia
dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu Iingkungan keluarga dan kerabat.
keyakinan ke¬agamaan, bahasa, berbagai adat serta sistem-sistem makna yang ada
dalam kebudayaannya, yang dirasakan seba¬gai dunia kehidupannya yang utama
karena tidak dapat terpisahkan dan dirinya, bukan hanya dalam hal-hal yang
rasional tetapi juga mencakup keseluruhan rasa yang dipunyainya. Konsep
primordialitas ini oleh Geertz (l973b: 256-3 10) digunakan untuk memahami proses-proses
integrasi nasional yang terjadi di negara-negara yang sedang terbentuk atau
berkem¬bang pada beberapa dasawarsa yang lalu, di mana negara yang dibangun
berdasarkan prinsip-prinsip ideologi atau keyakinan nasionalisme serta ne¬gara
secara utuh, karena adanya ikatan¬-ikatan atau sentimen-sentimen pri¬mordial
yang dipunyai oleh warganya secara orang perorang yang terungkap secara
kolektif dan sosial.
Apa yang menarik dan interpretasi
Jenkins (1997: 47-79) yang melihat primordialitas sama dengan kesuku¬bangsaan,
adalah penolakannya terha¬dap konsep primordialitas, yang meng¬ikuti pendapat
berbagai ahli lainnya sebagai sebuah konsep yang obsolete, karena dia melihat
bahwa primordialitas sebenarnya tidaklah primordial (utama) tetapi primer
(pertama), seba¬gai hasil dan sosialisasi pada tahap-¬tahap pertama (primary
socialization) dan kehidupan seseorang. Karena itu, menurut pendapatnya
tersebut, kon¬sep primordialitas dapat dilupakan be¬gitu saja. Apa yang
dikemukakan oleh Jenkins tersebut harus dilihat dalam perspektif metodologi
atau pendekatan yang digunakannya. Kalau permasa¬lahan kesukubangsaan hanya
akan di¬lihat dalam perspektif taksonomi jati diri serta dilihat dengan
kaitannya de¬ngan berbagai permasalahan jati diri, termasuk ras, seperti yang
telah dilaku¬kan oleh Jenkins. maka primordialitas memang menjadi sesuatu yang
obsole¬te. Tetapi bila kesukubangsaan dan primordialitas dilihat dari
perspektif para pelakunya di dalam melihat dan menginterpretasi dunia atau
lingkungan yang dihadapinya. di mana perasaan¬-perasaan yang mendasar dan umum
yang dianggap para pelaku tersebut adalah sebagai yang utama, yang
digu¬nakannya sebagai sistem-sistem acuan (reference systems) yang selektif
peng¬gunaannya dalam mewujudkan jati diri atau kesukubangsaan dalam interaksi
untuk mempertahankan sesuatu kehor¬matan ataupun memenangkan sesuatu dalam
persaingan sumberdaya. maka prirmordialitas bukanlah sesuatu yang obsolete, dan
utama atau primordial karena tidak dilihat sebagai proses primer dan
sosialisasi. tetapi menjadi bagian dan proses-proses terwujudnya jati diri dan
batas-batas sukubangsa.
Saya akan menggunakan konsep
kesukubangsaan dan primordialitas untuk menjelaskan kasus ketidakberhasilan
Program Ayam dan Peternakan Propinsi Irian Jaya yang diselenggarakan di desa
Mwapi kelurahan Wania, Kecamatan Mimika Timur, Kabupaten Mimika, Irian Jaya.
Apa yang ingin saya tunjukkan bahwa konsep kesukubangsaan dan konsep
primordialitas adalah dua konsep yang sebenarnya berbicara mengenai sebuah
permasalahan sama. dan selalu ada dalam gejala sosial dalam kehidupan sebuah
masyarakat yang tidak mengenal atau memahami makna-makna dan konsep-konsep
masyarakat dan negara serta berbagai konsep lainnya yang berkaitan dengan itu.
Walaupun kesukubangsaan dan primordialitas tersebut berbicara mengenai masalah
yang sama, masing-masing mempunyai penekanan dan implikasi ruang lingkup
permasalahan yang berbeda dan yang karena itu pendekatan taksonomik yang
digunakan oleh Jenkins seperti tersebut di atas menjadi tidak relevan.
LATAR BELAKANG
Warga desa Mwapi adalah orang
Kamoro yang dalam kepustakaan antropologi dikenal dengan nama orang Mimika
(Pouwer 1955). Kebudayaan Orang Kamoro yang dideskripsikan oleh Pouwer lebih
dan 40 tahun yang jalu, pada dasarnya rnasih berlaku bagi umumnya Orang Kamoro
di Ka¬bupaten Mimika (Trenkenschuh 1970; Widjojo 1997), dan bagi Orang Ka¬moro
yang tinggal di desa Mwapi (Suparlan I 996a, I 996b, I 997a, I 997b, dan
1997c). Desa Mwapi terletak di sebelah timur kota Timika, termasuk kelurahan
Wania, Kecamatan Mimika Timur. Desa ini dibangun oleh Dinas Sosial Propinsi
pada tahuii 1982, di sebidang tanah hak adat Orang Kau¬gapu yang telah
diserahkan kepada Dinas Sosial Propinsi Irja. Di sebelah utara desa Mwapi
terdapat sungai Kauga. di sebelah selatan dibatasi oleh jalan raya yang
menghubungkan kota Timika dengan Mapuru Jaya yang menjadi ibu kota kecamatan
Timika Timur. Warga desa Mwapi berasal dan warga masyarakat desa Muare Lama dan
Pigapu Pantai yang tinggal tersebar di tepi-tepi pantai dan rawa-¬rawa di muara
sungai Kamoro. Pen¬duduk desa Mwapi, jika dilihat asal muasalnya adalah
keluarga-keluarga yang tergolong dalarn salah satu dan dua taparu yang ada di
desa Mwapi, yaitu: Muare dan Pigapu. Bahkan nama Mwapi sebenarnya adalah
gabungan dan singkatan nama Mua (Mwa) dan Muare dan P1 singkatan dan Pigapu.
Walaupun kebudayaan Orang Kamono di desa Mwapi dan di Timika pada umumnya
memperlihatkan pola¬-pola yang sama dengan yang dipunyai¬nya kira-kira empat
puluh tahun yang lampau, seperti dinyatakan di atas, te¬tapi sesungguhnya
kebudayaan mereka ini telah mengalami perubahan yang tidak kecil. Perubahan ini
terutama disebabkan oleh PT Freeport-Indone¬sia (PTFI) yang melakukan
penam¬bangan tembaga dan emas di daerah pegunungan Grassberg dan dibangun¬nya
kota serta pelabuhan pertambang¬an di Timika. Penambangan yang di¬mulai pada
tahun 1973 dan mulai ber-kembang pesat sejak akhir tahun 1980-an membawa dampak
masuknya pen¬datang-pendatang spontan dari luar Timika dan dari luar Irian
Jaya. Ber¬samaan dengan ini masuk dan man¬tapnya sistem ekonomi uang ke dalam
kehidupan Orang Kamoro, mening¬katnya kebutuhan-kebutuhan konsumsi serta
kebutuhan-kebutuhan kehidupan lainnya yang harus dipenuhi sementara kemampuan
produktif mereka untuk dapat dipasarkan secara relatif adalah tetap sama dengan
kemampuan pro¬duktif mereka sebelumnya. Kondisi yang mereka punyai ini telah
menye¬babkan mereka di satu pihak ingin mengejar kemampuan dan kemakmur¬an yang
berada di depan mereka serta mereka hadapi sehari-hari tetapi di lain pihak
mereka itu, nienjadi putus asa karena ketidak mampuan untuk rneraihnya dan
karena itu hidup dengan mengikuti pola-pola kebudayaan secara tradisional
berhaku dalam kehidupan mereka. Semakin besar dan berkem¬bangnya PTFI dan
semakin mantapnya kekuasaan pemerintah Republik Indo¬nesia di Timika berdampak
pada semakin sadarnya Orang Kamoro, termasuk warga desa Mwapi, akan
ketergantungan kehidupan mereka pada pemerintah. Bagi mereka PTFI dan
pemerintah adalah memberi rezeki atau kemakmuran dan tempat menggan¬tungnya
nasib kehidupan mereka. Bagi mereka pemerintah adalah kekuasaan yang dapat
menghancurkan mereka tetapi juga pemberi hadiah-hadiah yang rnurah hati.
pemaaf. dan yang harus disenangkan hatinya.
Jumlah penduduk Kamoro di Mwapi
pada tahun 1996 ada 608 orang. yang terdiri atas 93 keluarga. Di antara
penduduk Kamoro di desa Mwapi terdapat 29 keluarga. atau 155 orang, yang
tinggal di permukiman sementara di dekat peternakan sapi “Pangan Sari”, yang
terletak di sebelah barat dan kota Timika. Mereka ini, yaitu orang dewasa dan
kepala ke¬luarga bekerja di perusahaan peter¬nakan tersebut. Di samping Orang
Kamoro yang menjadi penduduk desa Mwapi. juga terdapat warga desa tersebut yang
berasal dari luar Kamoro. Jumlah mereka ada 4 keluarga atau 29 orang. yang
berasal dan Kei yang hidup di desa tersebut sebagai guru SD setempat atau ikut
keluarga guru tersebut. Jumlah warga taparu Muare dibandingkan dengan Iumlah
warga taparu Pigapu yang tinggal di desa tersebut kira-kira sama dengan 70%
dibanding 30%. Masing-masing anggota atau keluarga hidup mengelompok dalam
lingkungan taparu-nya sendiri. Sehingga, bila kita benkunjung ke desa Mwapi,
terdapat kesan bahwa desa tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu: di bagian
sebelah barat desa Mwapi adalah rumah-rumah dan pekarangannya yang dihuni oleh
kelluarga taparu Muare dan di bagian sebelah timumya adalah hunian dan para
warga taparu Pigapu. Kepala desa Mwapi berasal dan taparu Muare, yang terpilih
sebagai kepala desa karena jumlah pemilih asal taparu Muare Iebih banyak
dibandingkan dengan jumlah pemilih dari taparu Pigapu.
Mata pencaharian utama mereka
adalah memangkur sagu, menangkap ikan dan kerang serta kepiting di sungai,
rawa-rawa. dan di tepi pantai, meramu hasil hutan, berburu dan menjerat babi
hutan serta burung, berkebun. Bercocok tanam bukanlah mata pencaharian utama
mereka tetapi mereka itu membuat kebun atau ladang juga walaupun tidak baik
perawatannya. Hutan yang telah ditebangi atau bekas kebun lama yang telah
ditebang dan ditebasi semak belukarnya. ditanami pohon pisang. ubi kayu, ubi
manis, keladi, pepaya. dan tembakau. Mereka tidak mengenal konsep tebas-bakar
dalam pembuatan ladang atau kebun.
Tanaman-tanaman tersebut setelah
tumbuh lalu ditinggalkan, dan pada waktu menurut perkiraan mereka telah ada
tanarnan yang pantas dipanen maka mereka datang ke kebun. Rumah¬ rumah mereka
biasanya dibangun di tepi sungai tidak jauh dari kebun¬-kebun mereka atau di
tepi pantai. begitu juga kehun-kebun mereka itu biasanya dibuat di tepi-tepi
sungai. di daerah-daerah yang kering atau tidak berpaya.
Secara tradisional mereka itu
hidup mengelompok dalam satuan kekerabatan yang d inarnakan taparu atau klen.
yang pada dasarnya meng¬ikuti prinsip matri-bilateral. yang juga merupakan
sebuah kesatuan hidup teritorial. Yang tendiri atas beberapa keluarga atau
farn, yang merupakan sebuah perkampungan atau desa. Me¬nurut keterangan kepala
desa Mwapi. Orang Muare berasal dan desa Muane Lama. yang dibangun oleh
pemenintah penjajahan Belanda pada tahun 1953 untuk memukimkan
keluarga-keluar¬ga yang tergolong dalam taparu-taparu yang termasuk suku
Mauripi Keber¬adaan dan kelestanian sebuah taparu tidak langgeng. Sesuai dengan
kon¬teksnva. sehuah keluarga atau fam, atau sebuah kampung dapat berubah
menjadi sebuah taparu, tergantung pa¬da pentingnya fam atau keluarga ten¬sebut
bagi pengorganisasian kehidup¬an sosial unituk terwujudnya penge-lompokan
teritorial atau perkampungan dapat mensejahterakan kehidupan mereka. Di kampung
Muare Lama. sebagai contohnya, yang terletak di tepi pantai di muara sungai
Kamora terdapat empat buah taparu (Pouwer 1955: 283). yang taparu-taparu
tersebut di desa Mwapi berubah menjadi fam atau hilang diganti dengan nama fam
yang lain. Bahkan, taparu Muare di desa Mwapi sebenarnya adalah na¬ma kampung
Muare Lama yang meru¬pakan tempat hunian teritorial dari pengelompokan empat
taparu. seperti tersebut di atas. Pemerintah jajahan Belanda di Irian Jaya dan
pemerintah Indonesia. mengupayakan supaya ke¬lompok-kelompok taparu yang kecil
jumlah warganya itu dapat bermukim dalam sebuah ‘kampung’ (jaman peme¬rintah
Belanda) atau dalam sebuah desa’ (jarnan pemerintahan Indone¬sia) secara
bersama-sama. Hasil dan kebijaksanaan tersebut. sebagaimana yang telah kita
lihat pada masa seka¬rang, adalah adanya desa-desa Orang Kamoro yang dihuni
oleh setidak-¬tidaknya dua taparu, seperti yang ber¬Iaku dalam desa Mwapi.
Hidup dan sagu sebagai makan¬an
pokok dan ikan sebagai lauk uta¬ma, dan sekali-kali menyantap hasil kebun
(pisang. singkong, ubi manis. atau Iainnya). nasi dan/atau supermie telah
menyebabkan bahwa mereka itu secara tetap dan terus-menerus mela¬kukan
perpindahan dan hulu sungai (tempat dusun-dusun sagu tempat mereka memangkur
sagu), ke muara sungai (tempat nienangkap ikan, ke¬rang, dan kepiting) dan
kebun-kebun mereka (antara hulu dan muara sungai). Sampai sekarang pola
kehidupan Se¬perti ini rnasih mereka ikuti, termasuk mereka yang telah men jadi
warga per¬mukiman transmigrasi setempat di ka¬bupaten Mimika. Sehingga
desa-desa Orang Kamoro hanya pada waktu¬-waktu tertentu saja warganya lengkap.
termasuk desa Mwapi. Dalam kehi¬dupan Orang desa Mwapi, dan ini juga berlaku
dalam kehidupan Orang Kamoro pada umumnya. corak keluar¬ga adalah keluarga
batih; dan rumah tangga atau dapur adalah yang utama. Kewajiban terhadap sesama
anggota keluarga adalah dalam tolong-meno¬long bila ada kesusahan. dan hubungan
antara keponakan dengan saudara laki-laki ibu serta hubungan antara menantu
laki-laki dengan mertua adalah lebih penting dan hubungan-hubungan kekerabatan
lainnya. Kasih sayang di antara sesama anggota keluanga batih serta di antara
mereka yang sekerabat adalah yang mengikat hubungan-¬huhungan di antara mereka
yang se kerabat.
Walaupun demikian posisi Se¬orang
individu sebagai perorangan dalam keiuarga adalah unik atau atomistik, yang
terwujud dalam berbagai bentuk kepemilikan individual atas benda-benda berharga
untuk sum¬ber-sumber kehidupan mereka maupun dalam bentuk atribut-atribut untuk
jatu diri. Masing-masing anggota keluarga, anak-anak mempunyai kebebasan
individual yang relatif besar dalam mengemukakan pendapat dan dalam kebebasan
melakukan berbagai kegiatan sehari-hari, termasuk dalam hal kebiasaan makan.
Masing-masing anggota keluarga bila ingin makan secara bersama-sama maupun
secara sendiri-sendiri dalam waktu yang bersamaan maupun dalam waktu
yang.berbeda-beda. mengambil sagu dari tumang atau tempat sagu mentah yang
terbuat dari anyaman daun sagu yang tersimpan di dapur, untuk membuat sagu
bakar sendiri untuk dimakan sendiri. Hanya anak-anak balita yang dipersiapkan
makanan dan minumnya oleh orang tuanya. terutama oleh ibunya masing-masing.
Pada masa sekarang, di mana
anak-anak harus tinggal di desa untuk bersekolah sementara orang tua harus
pergi memangkur sagu atau menangkap ikan. menjadikan kemandirian anak-anak
tetap bagian utama dan sosialisasi. Oleh orang tua mereka, masing-masing anak
diberi satu atau beberapa batang pohon kelapa untuk mereka ambil buahnya bagi
makanan mereka selama orang tua mereka harus pergi untuk memangkur sagu di
dusun ‘milik’ fam mereka, fam kerabat mereka. atau milik taparu mereka di
sungai, atau pergi menangkap ikan pantai selama dua atau tiga minggu. Dalam
keadaan demikian anak-anak tersebut ikut dengan orang tua mereka, atau bila
anak-anak tersebut harus te¬tap tinggal di desa untuk bersekolah mereka itu dititipkan
pengawasannya kepada kerabat dekat, sementara sejumlah sagu rnentah juga
dititipkan pada kerabat tersebut untuk makanan anak-anak, yang harus mereka
makan dengan cara memasaknya sendiri.
Kemandirian dari orang perorang.
mencakup juga kemandirian dalam hal kerja dan hasil kerja yang men jadi
miliknya sendiri, dan tidak perlu di¬bagikan sebagian hasilnya kepada orang
lainnya. Bahkan dalam kegiatan kerja sama, prinsip hak kepemilikan perorangan
ini tetap berlaku. Banyak contoh-contoh mengenai hal ini dalam kehidupan Orang
Kamoro di desa Mwapi, untuk itu saya akan mengam¬bil sebuah contoh dalam
kegiatan memangkur sagu di hulu sungai Pika, yang terletak di bagian sebelah
utara timur laut dari desa Mwapi.
Sepanjang sungai Pika adalah
daerah rawa-rawa yang ditumbuhi oleh pohon-pohon sagu yang hidup dalarn
kelompok-kelompok dusun sagu. Masing-masing dusun sagu mi secara tradisional
merupakan milik dan ta¬pàru-taparu dan fam-fam yang pada masa sekarang hidup di
desa Mwapi. Perjalanan dari desa Mwapi ke dusun-¬dusun sagu tersebut bisa
memakan waktu 2-3 hari dengan menyusuri su¬ngai Kauga ke arah hum dan kemudian
berbelok ke arah kanan di pertemuan sungai Kauga dengan sungai Pika, lalu terus
menyusuri sungai tersebut ke arah hulu. Rombongan peramu sa¬gu mi biasanya
terdiri atas tiga sampai dengan lima keluarga. Sesampai di daerah sagu yang
menjadi hak adat mereka, masing-masing membersihkan atau memperbaiki
gubuk-gubuk yang sudah ada, yang telah dibangun masa lampau oleh orang-orang
tua mereka rnasing-masing. untuk tempat rneng¬inap. Selama kira-kira dua minggu
mereka tinggal di gubuk-gubuk ter¬sebut, dan masing-masing keluarga (suami
isteri dengan dibantu oleh anak meneka yang sudah remaja, bila ada) berpencar
ke dusun-dusun sagu yang secara adat adalah milik keluarga atau fam-nya untuk
memangkur sagu, men¬jerat babi dan burung, dan menangkap ikan untuk lauk makan
mereka. Setelah waktu yang mereka setujui untuk me¬mangkur sagu itu habis.
mereka kern¬bali lagi ke desa Mwapi secara ber¬sama-sama. Masing-masing dengan perolehan
jumlah tumang sagu yang berbeda. Ada yang bisa mengumpulkan sampai dua puluh
lima tumang sagu dan ada yang hanya niampu mengumpulkan sepuluh tumang sagu
saja: Perolehan mi tergantung pada waktu kerja yang telah mereka curahkan untuk
memangkur sagu. atau untuk kegiatan¬kegiatan Iainnya. selama mereka berada di
dusun sagu tersebut. Apa yang tetah mereka peroleh adalah hak milik mereka
masing-masing, dan tidak ada konsep untuk membenikan sedikit sa¬gu pun bagi
mereka yang sedikit perolehannya. Dengan kata lain, tidak ada konsep gotong
royong atau beken¬ja sama untuk kepentingan bersama. Yang ada dalam konsep
kebudayaan mereka adalah, bekerja bersarna-sama tetapi perolehannya untuk
mereka masing-masing yang mengerjakannya.
Prinsip lain yang mendasar yang
ada dalam kehudayaan mereka, seba¬gai sesuatu yang teradatkan dan utama dalam
kehidupan mereka, yang me¬reka namakan ndaitita, atau Pedoman bagi kehidupan
yang ditentukan oleh dan diwarisi dari nenek moyangnya yang mereka anggap
sebagai yang sakral serta bersanksi gaib. Prinsip yang utama dalam ndaitita
adalah prinsip timbal balik atau reciprocity, yang mereka namakan aopao.
Prinsip timbal balik ini terwujud di hampir keseluruhan aspek kehidupan mereka.
baik dalam hubungannya dengan sesama di dunia yang nyata. maupun dalam
hubungannya dengan dunia gaib. Di antara prinsip timbal balik yang menonjol,
yang relevan dengan tulisan ini adalah yang dinamakan nawara¬poka yang artinya
pembayaran kembali atas segala sesuatu yang telah diterima dan pemberian oleh pihak
Iainnya. yang menghasilkan adanya kegiatan balas membalas pemberián baik berupa
materi maupun berupa jasa-jasa atau pujian. Di samping itu ada prinsip paiti,
yang arti harafiahnya adalah malu. Konsep paiti ini merupakan pendukung atau
pendorong bagi dilaksanakannya aopao atau nawarap oleh para pelaku yang
bersangkutan karena, kalau hanya mau menerima pemberian saja itu maka hal itu
sangat memalukan bagi si penerima di mata para pelaku lainnya.
Prinsip timbal balik beserta
keseluruhan konsep-konsep budaya pendukung yang mendorong perwujudan dalam
berbagai bentuk tindakan sehari-hari maupun dalam upacara-upacara terutama
berlaku dalam lingkungan kerabat dan taparu, atau orang-orang luar kerabat dan
taparu yang dianggap sebagai teman dekat. Contoh tadi dilaksanakannya prinsip
aopao yang terwujud sebagai nawarapoka yang melibatkan paiti adalah kewajiban
pengabdian menantu laki-laki kepada mertua dan keluarganya. Menantu laki-laki
diperlakukan sebagai sapi perah yang hams menghidupi mertua keluarganya. karena
dia telah diberi anak perempuan oleh sang mertua untuk dikawininya, atau untuk
menjadi isterinya. Apa yang menarik dan prinsip aojao, yang juga berlaku di
hampir sernua kebudayaan sukubangsa Irian Jaya, adalah bahwa imbalan;
pembayaran tersebut harus dituntut yaitu dengan cara mengingatkan bahwa kalau
tidak dilakukan pembayaran nawarapoka maka hal itu memalukan (paiti). dan kalau
tidak juga dilakukan na wa rapoka atau imbalan pembayaran oleh orang yang
menenima pemberian walaupun sudah dipermalukan, maka si pemberi merasa
dipermalukan dan untuk menghapus rasa malu tersebut maka si pemberi akan
mengimbangi¬nya dengan cara melakukan pemba¬lasan, dengan menggunakan berbagai
cara tenung atau sihir.
Dari uraian tersebut di atas
corak masyarakat desa Mwapi serta Orang Kamoro pada umumnya adalah
egali¬tarian. Yaitu sebuah masyarakat yang relatif tidak niernpunyai sistem
pen¬jenjangan secara formal (Fried, 1967), dan karena itu secana relatif
terdapat kesamaan dalam hak dan kewajiban dari individu-individu warga masya¬rakatnya.
Individu-individu mempu¬nyai ciri-ciri yang atomistik. Hubung¬an-hubungan di
antara sesamanya ter¬ikat melalui berbagai sistem kekera¬batan yang berdasarkan
atas pilihan–pilihan pribadi dan diatur berdasarkan atas prinsip timbal balik.
Kemunculan tokoh atau orang yang berprestasi (we ayku) mulai ada dalam sejarah
ke¬budayaan Orang Kamoro. tetapi konsep we ayku itu punah bersama dengan
rnantapnya kekuasaan, penjajahan Belanda di Timika yang menekankan kekuasaan
administrasi desa dengan kepala desa yang ditunjuk. Pada masa sekarang seorang
kepala desa, yang dipilih oleh warga desa, bukan lah se¬orang we ayku. Kepala
desa dipilih oleh wanga desa karena dia adalah anggota taparu-nya atau karena
dia kerabat dan anggota taparu-nya. dalam persaingannya dengan calon kepala
desa lainnya yang ada adalah anggota taparu lain.
ORANG MWAPI DAN ORANG-ORANG LUAR
Dalam kehidupan Orang Mwapi hanya
anggota keluarga dan kerabat yang tergolong sebagai taparu mereka yang dapat
mereka percayai, mereka mintai tolong, dan hidup dengan prin¬sip timbal balik
atau aopao, yang me¬reka golongkan sebagai orang-dalam, sebagai lawan dan
kategori orang ¬luar. Di luar kategori tersebut semua orang digolongkan sebagai
orang-luar. Anggota-anggota taparu lainnya, yang sama sekali tidak ada hubungan
ke¬kerabatan melalui hubungan perkawin¬an, yang hidup bersama dalam satu desa,
juga digolongkan sebagai orang ¬luar. Konsep orang-dalam lawan orang¬ luar
tidak terwujud sebagai sebuah konsep tersendiri, tetapi ada dalam konsep umum
we yang artinya manu¬sia. Tercakup dalam konsep we ini terdapat konsep yang
mendasar yang dinamakan iwoto atau manusia yang beradab yang mengenal kasih
sayang sebagai manusia yang dibedakan dan orang-luar atau juga dari hewan.
Tidak adanya konsep onang-luar sebagai se¬buah konsep kebudayaan tersendiri
dalam khazanah tradisi budaya meneka, mungkin disebabkan oleh keberadaan
orang-luar yang menurut mitologi me¬reka sebenamya berasal dan mereka sendin
yang telah mengembara me¬ninggalkan mereka dan sekarang kernbali sebagai anak
cicit nenek moyang tersebut. Orang-luar tersebut biasanya dilihat sebagai orang
yang mempunyai kelebihan-kelebihan dalam pengeta¬huan. teknologi, dan kekayaan
yang membuat mereka tunduk atau menga¬Iah karenanya. Konsep orang-luar.
sebagaimana yang sekarang ada dalam kebudayaan mereka, secara tradisional
justru mengacu pada penggolongan berdasarkan perbedaan pengelompokan secara
kekerabatan, berdasarkan atas perbedaan asal taparu dan desa atau kampung.
Dalam sistem penggolongan masa
kini yang dipunyai oleh Onang Mwapi mengenai orang-luar, golongan yang paling
luar adalah orang-orang pen¬datang dar luar Inian Jaya yang mereka tandai
bendasarkan atas ciri-ciri fisik dan kebudayaannya. Selanjutnya, Se¬cara
berturut-turut, sistem penggo¬longan orang-Iuar mencakup para pen¬datang dari
berbagai asal sukubangsa di irian Jaya, orang-orang Kamono da¬ri desa-desa
lainnya. orang-orang yang berasal dari taparu lain tetapi menjadi warga desa
yang sama, orang-orang dari farn atau keluarga Iuas yang matri¬bilateral lain
tetapi berasal dan taparu yang sama, orang-orang dan rumah tangga atau keluarga
batih lainnya tetapi masih berada dalam satu fam atau keluarga luas, dan
terakhir adalah individu atau perorangan lainnya di luar dirinya walaupun masih
sesama anggota rumah-tangga atau keluarga keluarga batih, Konsep rnengenai
onang-luar yang tercakup dalam berbagai golongan tersebut seringkali dikacaukan
oleh pentingnya hubungan perorangan di antara mereka dengan orang-luar.
Hubungan-hubungan perorangan yang dekat meniadakan batas-batas serta
jarak-jarak sosial yang jauh yang seharusnya terwujud sesuai dengan sistem
penggolongan tersebut.
Pengalaman-pengalaman menghadapi
orang-luar, yang di satu pihak menguntungkan kehidupan ekonomi sehari-hari
mereka, tetapi yang di pihak lain juga mereka rasakan sebagai meruugikan
kehidupan mereka secara menyeluruh, telah membuat meneka berani untuk menentang
atau melawannya. Trenkenschuh (1970) telah membahasnya serta menyimpulkan bahwa
kebudayaan orang Kamoro telah dihancurkan sebagai akibat hubungan-hubungan
meneka dengan para penyebar agarna Katolik, dengan sistem penjajahan Belanda
yang menuntut pajak dan kerja rodi, dan dengan penjajah Jepang yang Iebih kejam
lagi. Yang mereka punyai sekarang adalah rasa rendah diri serta tidak percaya
diri dalam menghadapi orang-luar, dan untuk membangkitkan rasa percaya diri
tersebut mereka lari ke minuman beralkohol. Selama penelitian saya di lapangan,
saya mengamati kebenaran pendapat Trenkenschuh tersebut dalam bentuk
gejala-gejala pemabokan yang umum berlaku dalam kehidupan me¬reka. Tetapi saya
juga melihat adanya kemampuan Orang Kamoro. terutama di desa Mwapi untuk
menyembunyikan kelemahan tersebut dengan cara ber¬laku sopan dalam menghadapi
orang-¬luar. Gejala tersebut terutama dapat diamati dalam hubungan mereka
de¬ngan para pejabat yang biasanya datang untuk memberi hadiah-hadiah kepada
mereka, berkomunikasi dengan para tamu pejabat yang datang benkunjung dengan
menggunakan idiom-idiom sesuai dengan kategori pejabat atau orang-luar yang
mereka hadapi tersebut (hal ini juga dikemukakan oleh Widjojo (1997) dalam
pembahasannya mengenai hubungan Orang Kamono dengan orang-Iuar). Karena itu
Orang Kamoro memberikan kesan sebagai golongan suku-bangsa di Kabupaten Timika,
yang dapat dibedakan dari ciri-ciri kebudayaan suku-sukubangsa lainnya, karena
mereka ini berpenam¬pilan sopan. penurut, dan indecisive atau tidak mempunyai
ketegasan dalam memutuskan sesuatu masalah. Dalam hal mi ciri-ciri Orang Kamoro
mirip dengan stereotip yang dikenakan pada Orang Jawa yang dikatakan, kalau
menyatakan menolak sesuatu suruhan dan atasan adalah dengan cara me¬ngatakan
inggih (ya) tetapi tidak dikerjakan, padahal sebenarnya dia ingin menyatakan
mboten (tidak). Atau me¬nyatakan rnbesuk (besok), padahal arti¬nya bisa kapan
saja atau suruhan ter¬sebut tidak pemah dikerjakan.
Berkaitan dengan performansi
da¬lam interaksi dengan orang-luar tersebut, kemampuan mernainkan peranan
sebagai pemain panggung pada Orang Mwapi juga cukup tinggi. Apa yang
dikemukakan dalam rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan desa dengan pe¬jabat
yang datang berkunjung biasanya hanya basa-basi untuk memuaskan ego para
pejabat yang bersangkutan. Ke¬cuali bila dia atau mereka itu tahu bahwa si
pejabat atau si pengunjung itu mengetahui seperti apa sebenarnya isi dan
kebudayaan atau ndaitita yang mereka punya itu. Dalam keadaan de¬mikian mereka
itu biasanya tidak lagi dapat menjadi pemain panggung (front stage), tetapi
sebaliknya mereka itu akan bentindak biasa sebagai Orang Kamoro yang
mengungkapkan keada¬an sebenamya mengenai kehidupan mereka (back stage), bila
kita menggu¬nakan model interaksi dan Goffman (1959) di dalam kita memahami
gejala¬gejala tersebut. Gejala lain yang saya amati dari dampak hubungan dengan
orang-luar yang menyebabkan mere¬ka menjadi merasa rendah diri adalah.
mengatasi rasa rendah diri mereka dengan cara melarikan diri ke dalam dunia
Kamoro atau ndaitita yang me¬reka ciptakan atau bangun kembali, baik secara
sadar ataupun secara tidak sadar. Mereka menekankan kembali pentingnya hidup
subsistensi yang berpindah-pindah dari hulu sungai ke tepi pantai dan tepi
pantai ke kebun, yang mereka lakukan secara terus ¬menerus dan berulang-ulang
dari waktu ke waktu, dan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan
cana-cara tensebut, mereka itu merasa memper¬oleh kebebasan pribadi dari
berbagai perasaan tertekan secara sosial, eko¬nomi. dan politik yang mereka
hadapi sehari-hari.
Melalui cara-cana hidup seperti
tersebut di atas, meneka menciptakan serta menghidupkan kembali ikatan-ikatan
primordial yang telah dihancur¬kan oleh pemerintah jajahan Belanda dan Jepang
dan oleh gereja. Keluarga, kerabat, dan taparu adalah yang utama dalam
kehidupan mereka; dan, kese¬muanya itu didukung oleh serta men¬dorong
terwujudnya kegiatan-kegiatan sosial. ekonomi, dan politik yang me¬nekankan
pentingnya ikatan-ikatan primordial tersebut. Dalam dunia yang primordial, yang
mereka bangun kembali inilah mereka merasa menjadi manusia kembali.
Karena itu, saya tidak menjadi
kaget pada waktu saya mengamati adanya perdebatan dan pertengkaran yang cukup
sengit di antara sesama warga taparu Muane berkaitan dengan masalah nmi’arapoka
dan paiti ber¬kenaan dengan macam serta besamya sumbangan pada kerabat untuk
mas kawin salah seorang warga yang akan kawin dengan seorang wanita Asmat. Saya
juga tidak heran pada waktu terjadi pertengkaran antara seorang warga taparu
Muare dengan warga taparu Pigapu berkenaan dengan sejarah nenek moyang mereka
dan hubungan-hubungan yang terjadi dimasa lampau di antara nenek moyang
tersebut dalam kaitannya dengan penguasaan dan hak-hak atas dusun-dusun sagu
dan wilayah-wilayah penangkapan ikan mereka. Masalah-masalah ini, di mata
mereka sekarang ini bukanlah masalah sepele, tetapi sebuah masalah berkenaan
dengan jatidiri dan atribut-atnibut kehormatan bagi jatidiri tersebut. Saya
tertawa dan bersamaan dengan itu mengajak pastor dari paroki Mapumjaya, yang
juga menjadi pastor dari Orang Mwapi untuk memahaminya pada waktu dia bercerita
bahwa pada suatu hari di tahun 1994, pada waktu masa Paskah ada sejumlah warga
desa yang secara sembunyi-sembunyi melakukan upacara mbi (patung nenek moyang)
sepenti patung bis pada Orang Asmat.
PROGRAM AYAM DAN KELOMPOK MASYARAKAT
Pada suatu hari di bulan
September 1996, seorang petugas dari Dinas Peternakan Propinsi Irian Jaya
menemui saya di Kantor Penwakilan Departemen Transmigrasi dan PPH di Timika.
Dan staf Kanton Perwakilan Departemen Tnansmigrasi dan dan warga masyarakat
desa Mwapi dia mengetahui bahwa saya sedang meng¬adakan penelitian di desa
Mwapi dan Kaugapu. Petugas Dinas Petennakan Propinsi tersebut mengatakan bahwa
dia datang dari Jayapura ke Timika dengan membawa 352 ekor ayam buras yang
diangkutnya dengan pesawat Merpati. Bersamaan dengan ayam tensebut juga
dibawanya persediaan makanan-jadi berupa pelet, serta obat¬-obatan anti
penyakit ayam. Dia me¬minta pendapat saya mengenai Pro¬gram Ayam ini. Saya
katakan sangat bagus sebab akan membantu mening¬katkan mutu gizi makanan warga desa
Mwapi. akan menguntungkan secara ekonomi, dan akan meningkatkan ke¬mampuan
warga desa tensebut dalam berpikir secara ekonomi yang ber¬orientasi ke pasar,
Saya katakan, segera saja dibagikan keseluruhan ayam ten¬sebut kepada selumh
keluarga yang menjadi warga desa Mwapi, secara merata dan adil, berikut pelet
atau makanan-jadi ayam. serta obat-obatan. Dan, jangan lupa untuk memberi
pe¬tunjuk-petunjuk pemeliharaan ayam yang sehat dan menguntungkan, secara
terpeninci dan sejelas-jelasnya kepada mereka, petunjuk-petunjuk cara mem¬buat
pelet, dan cara pengobatannya bila ayam diserang penyakit. Dan, mungkin untuk
selama kira-kira satu bulan, sebaiknya tinggal di desa, Mwapi, dan betul-betul
mensupervisi pemeliharaan ayam tersebut secara perorangan, dan satu keluarga ke
ke-luarga lainnya secara keseluruhan.
Tetapi, kemudian dia mengatakan
bahwa cara pemberian atau bantuan ayam kepada warga desa Mwapi tidak¬lah
seperti yang saya bayangkan. Me¬nurut dia Program Ayam ini adalah sebuah
program pembangunan ayam yang bergulir. Artinya di desa Mwapi dibentuk sebuah
kelompok masyarakat yang akan mengelola ayam tersebut di bawah pimpinan kepala
desa Mwapi. Setelah satu atau dua tahun, yaitu se¬telah ayam tersebut
berkembang biak menjadi banyak, maka akan dibentuk sebuah kelompok masyarakat
lainnya untuk pemeliharaan ayam di desa Kaugapu atau desa-desa lainnya secara
bergiliran, dengan menggunakan hasil pembiakan kelompok masyarakat ayam
tersebut. Saya katakan bahwa bila ca¬ra kelompok masyarakat yang akan digunakan
untuk memelihara dan me¬ngembang biakkan ayam, maka dia akan gagal. Terkecuali
bila dia sendini yang memimpin pembentukan ke¬lompok masyarakat dengan dibantu
oleh kepala desa Mwapi, sampai ke¬lompok masyanakat untuk pemeliharaan ayam
tersebut telah betul-betul mantap mekanisme kerjanya; setelah itu baru dia
tinggalkan. Untuk itu paling tidak akan harus memerlukan waktu selama satu
tahun pembinaan dan pembimbingan yang disertai de¬ngan kerja keras secara
mental dan fisik, baik oleh penyuluh atau pembim-bingnya maupun oleh warga
setempat. Terutama bagi warga masyarakat se¬tempat keberadaan serta mekanisme
kerja kelompok masyarakat tersebut akan mengubah keseluruhan pola-pola
kebudayaan subsistensi dan benpin¬dah-pindah secara berkala dari hulu sungai
(dusun sagu) ke pantai (me¬nangkap ikan) atau ke rawa-rawa, dan ke desa
(menengok anaknya yang se¬kolah, menjual hasil perolehan, atau rnenikmati waktu
istirahat) serta kebunnya (memetik hasil kebun).
Alasannya adalah, karena Orang
Kamoro, mencakup juga Orang Ka¬mono di desa Mwapi, tidak mengenal konsep
masyarakat atau negara, seba¬gaimana yang seharusnya, dan karena itu tidak
mempunyai konsep menge¬nai kelompok masyarakat sebagai Se¬buah satuan kerja.
Yang mereka miliki adalah konsep untuk bekerja bersama-¬sama tetapi untuk diri
sendiri masing-¬masing. Saya berikan contohnya ke¬gagalan program IDT di desa
Mwapi, dan desa-desa Iainnya di kabupaten Timika yang menggunakan model
kelompok masyarakat. Tetapi dia me¬ngatakan bahwa ‘itu kan IDT’. Yang jelas dia
tidak mempercayai kata-kata saya. Setelah rnenyerahkan ayam be¬rikut makanan
dan obat-obatan ayam kepada kepala desa Mwapi, dia segera berangkat kembali ke
Jayapura. Dia menyerahkan seluruh permasalahan pemeliharaan ayam tersebut, dari
mulai pembentukan kelompok masyarakat sampai dengan cara-cara pembuatan kandang
serta pemeliharaan ayam dan perawatan pengobatan ayam yang sakit tersebut
kepada kepala desa Mwapi yang telah dibekalinya dengan petunjuk-petunjuk yang
cukup. Dia mengatakan kepada saya bahwa dia akan kembali pada akhir bulan
Oktober nanti, untuk berkonsultasi lagi dengan saya.
Pada akhir bulan November 1966
dia berada kembali di Timika dengan membawa ayam serta berbagai perIengkapan
pemeliharaannya untuk Orang Kamono di desa Miyoko; dan pada permulaan bulan
Desember dia menemui saya. Kedatangannya di Timika juga dimaksudkan untuk
menengok ayam yang telah dibagikannya kepada warga desa Mwapi. Alangkah
kagetnya bapak petugas peternakan ini. Karena, ayam yang semula berjumlah 352
ekor pada waktu dibeirikan kepada desa Mwapi sekarang hanya tinggal 116 ekor.
Jawaban yang diperoleh dari kepala desa dan anggota-anggota kelompok masyarakat
tersebut seragam, yaitu: ada yang dimakan anjing, dibawa lari ular, ada yang
mati karena sating berkelahi, dan ada yang hilang barangkali dicuri orang pada
malam hari. Bapak petugas ini mengeluhkan nasibnya kepada saya dan
anggota-anggota tim penetitian, yang pada waktu itu sedang mentabulasi data
kwesioner di wisma transmigrasi di Timika. Kami mau tertawa tetapi karni tahan,
karena kasihan memba¬yangkan nasibnya yang harus membuat pertanggungjawaban
kepada atasannya, karena jumlah ayam yang seharusnya menjadi banyak karena
berkembang biak tetapi justru menjadi susut jumlah¬nya. Sekarang dia meminta
saran saya.
Saya nasehatkan untuk membuat laporan
Program Ayam sebagaimana adanya kepada pejabat yang menjadi atasannya, dan
kalau dia takut disangka berbohong saya bersedia membantunya dengan kesaksian
saya. Selanjutnya, dia harus membagikan sisa ayam yang berjumlah 116 ekon
tersebut kepada seluruh keluarga yang pada saat ini berada di desa Mwapi dengan
seadil-¬adilnya dan merata, sebelum hari Na¬tal. Kalau tidak ayam tersebut akan
habis tidak ketahuan rimbanya. Se¬dangkan untuk desa Miyoko, sebaiknya dia
meminta kepala desa Miyoko untuk rnemerintahkan kepala-kepala keluarga segera
membuat kandang ayam yang baik dan kuat untuk ayam-ayam yang akan mereka
terima. Lalu, ayam-ayam yang mereka bawa tersebut dibagikan secara adil dan
merata kepada semua keluarga-keluarga yang menjadi warga desa Miyoko. Bersama
dengan itu dia juga harus juga memberikan petunjuk¬petunjuk pemberian makanan
kepada ayam, pembuatan makanan ayam, dan cara-cara pengobatan bila ayam-ayam
tersebut terserang penyakit.
Sebenarnya, apa yang terjadi di
desa Mwapi pada waktu ayam-ayam tersebut akan diserahkan kepada kepala desa
jauh lebih kompleks daripada hilangnya ayam-ayam tersebut. Pada waktu kepala
desa Mwapi mendapat berita bahwa desanya akan mendapat ayam, dan untuk itu dia
diminta oleh petugas petemakan tersebut untuk membuat kelompok masyarakat, dia
merasa senang. Kepala desa telah ber¬pengalaman dalam membuat kelom¬pok
masyarakat dan memberdaya¬kannya untuk kepentingan anggota¬-anggotanya dalam
program IDT, walaupun program IDT itu sendiri bangkrut. Untuk kepentingan
peneri¬maan ayam serta perneliharaannya ter¬sebut, dipanggilnya 20 kepala
keluarga, yang kesemuanya adalah dari taparu Muare, yang sebagian besar adalah
kerabat-kerabat dekat istrinya dan si¬sanya adalah kerabat-kerabatnya atau
teman-teman dekatnya yang mempu¬nyai hubungan-hubungan aopao dan nawarapoka.
Para anggota kelompok masyarakat tersebut kemudian secara bersama-sama diberi
tugas oteh kepala desa untuk memperbaiki kandang-¬kandang ayam dari pagar bambu
yang mengelilingi kandang-kandang tersebut, bekas atau sisa peninggalan
prog¬ram ayam IDT, yang letaknya di wilayah hunian taparu Muare dan desa Api.
Ketika ayam diserahkan kepada kepala desa, langsung dimasukkan ke dalam kandang
ayam. Bapak petugas merasa senang karena merasa bahwa ayam-ayam yang di
serahkannya ter¬sebut akan menjadi ayam bergulir, karena melihat bahwa kandang
ayam telah dipersiapkan dengan sebaik-¬baiknya. Dengan keyakinan akan
ke¬berhasilannya, dia meninggalkan desa Mwapi dan Timika untuk kembali ke
Jayapura.
Pada waktu kepala desa Mwapi menyampaikan
benita kepada perangkat desa, yang juga anggota-anggota kerabatnya, sedangkan
perangkat de¬sa yang bukan kerabatnya atau yang berasal dan taparu Pigapu tidak
diberi tahu mengenai program ayam ini, bahwa mereka akan menerima ayam dan
Dinas Peternakan Propinsi untuk program pembangunan ayam, ada juga
anggota-anggota dari taparu Pigapu yang mendengarnya. Beberapa orang dari
taparu Pigapu yang merasa dirinya sebagai tokoh atau pimpinan taparu tersebut
mendatangi kepala desa dan meminta agar mereka juga diberi ba¬gian. Kepala desa
mengatakan bahwa hal itu tidak bisa dilakukannya. Dengan mengutip kata-kata
bapak petugas pe¬ternakan dia mengatakan kepada meneka yang mewakili taparu
Pigapu, bahwa ayam ini harus diberikan kepada kelompok masyarakat yang jumlahnya
20 keluarga. Kelompok masyarakat ini akan memeliharanya, dan kalau sudah dua
tahun ayam-ayam tensebut akan digulirkan kepada kelompok masyarakat lainnya
yang akan dibentuk kemudian. Untuk pemeliharaan yang berikutnya, kelompok
masyarakat tersebut bisa tendiri atas orang-orang Pigapu. Wakil-wakil dan
taparu. Pigapu bersungut-sungut tetapi mereka meninggalkan si kepala desa
karena mendengan dia mengutip kata-kata bahasa Indonesia seolah-olah terdengar
seperti kata-kata si bapak petugas. Dari kata-kata si kepala desa mereka
menyadari bahwa kata-kata dari makna yang terkandung di dalamnya bukanlah
urusan si kepala desa tetapi urusannya si petugas. Mereka hams berbicara
sendiri dengan si petugas.
Beberapa warga taparu Piga yang
kemudian mendengar bahwa ha¬nya warga taparu Muare saja yang akan memperoleh
ayam menjadi marah. Menunut keterangan yang saya peroleh, ada yang mabok-mabok
dan mencaci maki kepala desa dan kerabat-kerabatnya. Ada pula yang bertengkar
dengan warga taparu Muare, dan menuduh bahwa kelompok masyarakat bergulir hanya
tipu-tipu kepala desa Mwapi saja. Ada beberapa keluarga yang karena merasa
tidak dihargai, sehubungan dengan perbuatan kepala desa yang hanya
menguntungkan kerabat-kerabatnya yang Orang Muare lalu pergi ke bekas desa
Pigapu Lama di muara sungai Kamora untuk bermukim dan hidup di situ dengan cara
mencari ikan dan kerang di tempat tersebut yang hasilnya dijual kepada para
tengkulak asal Makassar. Pada waktu permasalahan kelompok ma¬syarakat yang
anggota-anggotanya ter-seleksi tersebut telah mereda, muncul lagi masalah baru.
Yaitu, siapa sebe¬narnya yang harus merawat ayam-¬ayam tersebut. Karena ada
sejumlah anggota-anggota kelompok masyarakat yang sama sekali tidak mau ikut
me¬ngurusi ayam-ayam tersebut, ada juga yang hanya pura-puna mengurusi tetapi
sebenarnya hanya duduk-duduk me¬ngobrol saja sekitar kandang ayam. Yang merasa
benar-benar mengurusi ayam tersebut menjadi kecewa. Untuk apa berlelah-lelah
mengurusi ayam, sedangkan yang tidak ikut mengungsi nantinya akan juga
memperoleh bagian keuntungan dari kegiatan pemeliharaan ayam tersebut. Lebih
baik tidak akan mengurusi, demikian kira-kira keluhan tersebut.
Sambil menggerutu mereka itu
secara sembunyi-sembunyi mulai mengambil ayam milik kelompok ma¬syarakat
tersebut, yang mereka anggap sebagai imbalan atas jerih payah mereka. Yang
melihat perbuatan tersebut ikut-ikutan juga, karena ayam tersebut sebenamya
ayam yang tidak ketahuan siapa sebenamya pemiliknya; sehingga kalau ada yang
hilang tidak ada yang menuntut ganti rugi kepada mereka. Saya sendiri memergoki
mereka, dalam waktu-waktu yang berbeda, menyem¬bunyikan ayam dalam gulungan
sarung di kendaraan umum yang melaju ke pasar Timika. Baru belakangan kepala
desa mengetahui bahwa kelompok masyarakat untuk program pengem¬bangan ayam ini telah
berubah menjadi kelompok masyarakat untuk meng¬konsumsi ayam. Dia tidak bisa
berbuat apapun. Mereka itu semua adalah ke¬rabatnya. Dia terikat dalam saling
hu¬bungan aopao dan nawarapoka de¬ngan mereka itu semua. Cara terbaik, menurut
pertimbangannya, adalah membuat sebuah skenario yang masuk akal, untuk
melindungi kerabat-kera¬batnya yang anggota kelompok ma¬syarakat ayam tensebut,
dengan cara menyalahkan anjing, ular, penyakit, dan pencuri yang tidak
diketahui siapa adanya.
Dengan cara ini dia menyela¬matkan
dininya sendiri dari rasa malu dalam menghadapi anggota-anggota taparu Pigapu.
Sedangkan dalam menghadapi petugas petemakan dia tidak merasa malu, karena
menurut keyakinannya, pemerintah rnasih kaya dan karena itu tidak akan rugi
kalau kalau ayam yang hanya berjumlah sekian itu hilang. Lagipula, menurut
pikirannya, berdasarkan pengalaman¬nya, tugas pemerintah adalah mem¬benikan
hadiah-hadiah kepada rak¬yatnya terutama warga desa Mwapi karena baru sedikit
yang telah diterima dan pernberian pemenintah. Bahkan kalau perlu meminta
tambahan ayam lagi.
Pembahasan dan Kesimpulan
Corak masyarakat desa Mwapi yang
egalitarian, di mana tidak ada sistem penjenjangan sosial yang for¬mal dan di
mana berlaku hak-hak dan kewajiban perorangan yang sama dari semua warga
masyarakat dalam kait¬annya dengan kerja, menyebabkan bahwa konsep mengenai
masyarakat luas dan/atau negara tidak ada dalam kebudayaan mereka. Dalam
tradisi atau kehidupan sehari-hari mereka yang berpindah-pindah dalam rotasi
secara berkala dan tetap, dengan mata pen¬cahanian yang taraf ekonominya
sub¬sistensi, konsep masyanakat luas dan negara tidak relevan dalam
kegiatan-¬kegiatan tersebut. Yang lebih relevan dalam menghadapi lingkungan
alam bagi berbagai pemenuhan kebutuhan kehidupan mereka adalah keluarga,
keluarga luas, dan taparu.
Berbagai dorongan untuk
peme¬nuhan kebutuhan bagi kehidupan me¬reka atau untuk bertindak bagi
meng¬ungkapkan keinginan-keinginan mereka hanya mungkin terwujud dalam
konteks-konteks yang relevan. Kon¬teks-konteks yang relevan ini men¬cakup
kondisi-kondisi pelaku dan suasana-suasana yang ada dan yang relevan dan
situasi-situasi yang mereka hadapi. Bila dua faktor mi tidak relevan dengan
keinginan-keinginan atau dorongan-dorongan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
maka tindakan-tindakan yang mengungkapkan keinginan-keinginan untuk pemenuhan
kebutuhan tersebut terjadi tidak terwujud.
Acuan dan mekanisme kontrol dalam
kehidupan Orang Kamoni adalah ndaitita atau kebudayaan mereka yang mereka
yakini kebenarannya dan kesakralannya yang berasal dari nenek moyang untuk
dapat hidup sejahtera sebagai Orang Kamoro. Sistem-sistem -penggolongan,
konsep-konsep, teori-teori, dan panadigma-paradigma yang ada dalam kebudayaan
tersebut pada dasamya menekankan kehidupan yang egalitarian, menekankan
pentingnya hubungan-hubungan keseimbangah yang berdasarkan asas timbal balik
antara orang-perorang dengan mahluk atau kekuatan gaib, dan dengan lingkungan
alam di mana mereka itu hidup. Segala tindakan, dalam konsep budaya meneka,
dari pengamatan sehari-hari mengenai apa yang mereka lakukan, haruss selalu
berada dalam konteks-konteks yang relevan tindakan-tindakan mereka tersebut.
Apa yang tidak ada dalam ndaitita adalah konsep-konsep mengenai negara berikut
kekuasaannya.
Apa yang kritikal dalam kaitannya
dengan program ayam dan pembentukan kelompok masyarakat adalah makna program
ayam dan kelompok masyarakat dalam konteksnya; yaitu yang meneka lihat sebagai
perwujudan dari kekuasaan pemenintah. Pemerintah yang dapat dan mampu
memaksakan kehendaknya dengan cara halus dan dengan cara kekerasan serta
penghu¬kuman bagi yang menentangnya. Te¬tapi di lain pihak pemerintah juga baik
hati karena memberikan hadiah-ha¬diah dan pemaaf kalau suruhannya gagal karena
alasan-alasan yang ma¬suk akal. Konsep mengenai pemenintah atau kekuasaan
pemerintah seperti ter¬sebut di atas, berkembang dan menjadi mantap melalui
pengalaman-penga¬laman orang-orang tua mereka, serta melalui
pengalaman-pengalaman yang mereka alami sendiri. Konsep mereka mengenai
pemerintah tersebut menjadi mantap karena pola-pola tindakan para pejabat atau
petugas dalam berbagai pelaksanaan program pembangunan memperlihatkan
kesamaan-kesarnaan sebagaimana yang dilihat dan dialami oleh Orang Kamoro.
Pola-pola tersebut mancakup para pejabat atau petugas itu ingin mendengarkan
kata-kata persetujuan dan pujian mereka yang langsung diungkapkan secara
berta¬tapan muka. Semua petunjuk dan suruhan di-iya-kan. Di belakang nanti
tidak dikerjakan tidak jadi soal, karena banyak alasan untuk rnenjelaskannya,
tetapi yang terpenting jangan sampai menyinggung perasaan para pejabat atau
petugas.
Dalam tulisan ini telah saya
tunjukkan kegagalan program pengem¬bangan ayam melalui kelompok masyarakat di
desa Mwapi. Melalui urai¬an secara sederhana mengenai apa yang terjadi dalam
proses-proses pem¬bentukan kelompok masyarakat dan pengelolaan ayam oleh
kelompok masyarakat tersebut saya perlihatkan bahwa ikatan-ikatan primordial
meru-pakan acuan utama bagi mengorgani¬sasian diri untuk menguasai sumberdaya
serta pendistribusiannya dan dalam upaya menghadapi dunia-luar yang ingin turut
campur menikmati sum¬berdaya yang telah berada di tangan mereka. Dalam
menghadapi dunia luar, yaitu pemenintah yang diwakili oleh petugas dan
anggota-anggota taparu Pigapu, ikatan-ikatan primordial ter¬sebut memperkuat
solidaritas penge¬lompokan kerabat yang pada dasar¬nya telah terikat oleh
saling hubungan aopao dan kewajiban nawarapoka. Kepala desa Mwapi yang melihat
per¬masalahan ini dan perspektif kepen¬tingan dirinya dan kerabatnya, dapat
dilihat sebagai:
(1) Dirinya adalah kelompok
kerabat¬nya, dan kelompok kerabatnya adalah dirinya. Sebuah hubungan timbal
balik yang berupa saling ketengantungan, yang disadari atau tidak disadari yang
menunjukkan bahwa tanpa dirinya kelompok kerabatnya akan hancur berantak¬an,
dan kalau kelompoknya hancur berantakan maka dia juga akan hancur berantakan,
kanena yang utama dan satu-satunya sistem acuan yang dikenalnya serta yang
paling dipercayainya dalam ke¬hidupan di desa Mwapi dalam menghadapi berbagai
situasi adalah kelompok kerabatnya. De¬ngan demikian, gejala-gejala yang
diuraikan dan dibahas seperti ter¬sebut di atas bukanlah sesuatu yang ‘primer’
yang berlaku di dalam pnoses-proses sosialisasi sebagaimana dikemukakan oleh
Jenkins dalam bahasannya me¬ngenai konsep primordial dan Geertz, tetapi sesuatu
yang utama, yang berupa perasaan-perasaan serta keyakinan-keyakinan yang utarna
yang dipunyai oleh ma¬syarakat-masyarakat yang hidup dalam suasana
keterbelakangan serta tidak mempunyai konsep masyarakat dan negara di dalam
kebudayaan mereka.
(2) Primordialitas, sebagaimana
telah dikemukakan oleh Geertz dalam tulisan ini adalah gejala yang ter¬wujud
‘sebagai jati diri perorangan yang secara kolektif diratifikasi dan secara
publik diungkapkan, yang dapat diinterpretasi bahwa primordialitas adalah
gejala per¬orangan yang berisikan perasaan-¬perasaan dan keyakinan-keyakinan
mengenai dirinya dan dunianya yang paling utama, karena men¬dasar dan umum
berkenaan de¬ngan takdir kelahirannya dan ketergantungan hidupnya dalam dunianya
tensebut. Cara-cara penanganan kepala desa dalarn bentukan kelompok masyarakat
untuk pengembangan ayam memperlihatkan ciri-ciri tindakan-tindakannya yang
primordialitas. Primordialitas ini juga terungkap dalam tindakan-tindakannnya
menangani kehilangan ayam dan kegagalan kelompok masy yang dipimpinnya.
(3) Batas-batas sukubangsa antara
taparu Muane dan Pigapu diperjelas, dan tidak dapat diseberangi dalam masalah
ayam di desa Mwapi, sebagaimana diuraikan dalam tulisan ini. Siapa kami dan
siapa mereka dipertegas perbedaannya, dan kesukubangsaan atau jatidiri
sukubangsa menjadi tampak sebagai gejala peorangan yang terungkap secara
individual maupun secara kolektif dalam interaksi-interaksi yang digunakan
dalam tujuan untuk memenangkan kompetisi sumberdaya dan kehormatan atau untuk
mempertahankan sumberdaya yang telah dikuasainya benikut alokasinya.
Dari penjelasan tersebut di atas,
kesukubangsaan dan primordialitas sebenarnya adalah dua konsep yang saling
tumpang tindih atau melengkapi. Untuk itu, kesukubangsaan harus dilihat sebagai
gejala perorangan yang berupa jati diri yang mengacu pada atribut-atribut
suku-bangsa dan kebu¬dayaan dan pelakunya, yang terungkap dalam interaksi.
Primordialitas adalah
sentimen-sentimen atau perasaan-perasaan dan keyakinan yang utama yang mengacu
pada sebagaimana para pelakunya melihat dirinya dan dunianya dalam kaitannya
dengan keluarga, kerabat, sukubangsa dan kebudayaannya. Tanpa sesuatu yang
primordial maka juga kesukubangsaan tidak berarti apa-apa, karena bila demikian
maka sukubangsa adalah sama dengan sebuah kategori sosial yang umum dan karena
itu juga maka kesukubangsaan adalah sebuah jati diri sosial yang umum. Padahal
kesukubangsaan bertahan lama dan mantap dalam kehidupan masyarakat majemuk atau
masyarakat Multi-eth¬nic seperti di Mwapi, atau di Timika, serta di Irian Jaya
dan Indonesia pada umumnya, di mana permasalahan asal muasal merupakan acuan
utama dalam interaksi-interaksi yang berlaku.