This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 22 September 2013

The Rules of Socilogical Method Emile Durkheim Akhmad Ali


Pada pembahasan Fakta sosial, Durkheim mengatakan bahwa sesuatu hal yang mengikat individu serta di luar individu, tidak bisa dibantah, dan biasanya merupakan proses imitasi, adanya penyebaran atau difusi cara bertindak. Fakta sosial juga merupakan kesadaran kolektif (l’amme collective), yaitu bentukan dari segala macam peleburan state pada individu-individu. Apabila fakta social(sosial fact) menyatu dengan kemauan individu (individual manifestation/own right independent) maka hal ini disebut dengan fakta psikologis. Lalu, kita hanya membicarakan tentang peraturan-peraturan (nilai dan norma) yang mengekang kolektif tersebut maka disebut dengan fakta psikologis.
Kemudian pembahsan kedua yakni mengenai obeservasi sosial, pada bab ini dibahas mengenai beberapa persoalan. Pertama, dibahas mengenai bagaimana sosiologi itu sendiri bertindak sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Sosiologi disini juga dibahas sebagai suatu ilmu yang bebas nilai. Dan keharusan sosiologi sebagai suatu ilmu untuk memiliki tujuan, yakni sebagai alat untuk menelaah fakta-fakta sosial.
Pembahasan ketiga,  yakni mengenai membedakan sesuatui yang dianggap normal dengan sesuatu yang dianggap tidak normal dan patologis. Maksud dari sesuatu hal dianggap normal adalah sesuatu yang disetujui secara kolektif, sedangkan hal yang dianggap tidak normal adalah segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan kolektif. Namun yang perlu menjadi perhatian seperti yang tercantum dalam pembahasan bab ini yakni mengenai keharusan jua untuk melihat konteks sosial juga yang ada untuk dapat memutuskan hal-hal yang normal atau abnormal tersebut.
Pembahasan keempat, yang dibahas di bab selanjutnya membahas mengenai bagaimana caranya melakukan sebuah klasifikasi sosial. Ada dua sifat dari klasifikasi, yaitu klasifikasi yang  datau kaku serta klasifikasi yang bercampur. Lalu, hasil dari klasifikasi ini ada dua, yaitu social morphology dan social evolution. Klasifikasi yang pertama menunjukan didalam masyarakat adanya solidaritas, kerja sama, dan hubungannya yang baik dengan alam sedangkan klasifikasi yang kedua menunjukan dalam  masyarakat adanya yang ditengarai sebagai kerja sama kontraktual, dan hubungannya yang relatif terhadap alam.
Pembahasan kelima, yakni dibahas mengenai bagaimana caranya menjelaskan fakta sosial. Dijelaskan bahwa, fakta sosial  merupakan hal yang dapat dijelaskan melalui hubungan kausalitas atau sebab akibat. Fakta sosial juga dijelaskan sebagai produk tambahan dari fakta psikologis (kesadaran, sensasi, refleks, dan insting individu) tetapi tidak menjadikan fakta psikologis sebagai acuan utama untuk menyelesaikan suatu fenomena sosial. Ada pula alat ukur untuk menentukan fakta sosial, yaitu social millieu. Ada dua alat ukur, yaitu dynamic density serta physical density. Pertama adalah seberapa besar takaran hubungan sosial dibandingkan dengan kepentingan. Kedua adalah alat ukur numerik (pasti) dari perubahan komunikasi. Alat ukur pastinya adalah seberapa besar dialog ataupun monolog yang terjadi pada interaksi sosial tersebut.
Dan hal keenam atau hal yang terakhir dibahas dalam buku ini yakni dibahas mengenai bagaimana melakukan sebuah pembuktian secara sosiologis. Metode yang ditawarkan adalah metode komparatif, yaitu membandingkan hubungan sebab dan akibat. Hubungan yang terjadi haruslah terjadi secara dua arah, serta sebab atau akibat yang ada harus lebih dari satu buah. Metode ini berasal dari pemikiran Comte tentang metode historis yang menjadikan keteraturan sosial (teleologis) bertahap menjadi tiga bagian, yaitu teologis, epistemologi, dan aksiologis. Lalu, metode lainnya berasal dari Mill yang mengutip system of logic, dan sebenarnya hal tersebut merupakan pengandaian ilmu ekonomi sebagai ilmu praktis yang mempunyai tujuan tertentu. Metode dari Mill tersebut menginspirasikan adanya hubungan kausal yang tidak hanya berasal dari sebab pertama yang mengakibatkan sebab pertama. Metode kedua adalah metode asosiasi. Metode ini merupakan metode perbandingan antar variabel yang terdapat pada judul penelitian. Metode terakhir yakni mengenai metode deduktif. Metode deduktif, adalah metode yang menitikberatkan kepada hal yang umum lalu kepada hal yang khusus. Artinya, kita harus memakai teori dahulu serta hipotesis untuk menduga secara baik, dan hasil akhirnya diukur melalui sebuah rangkaian uji teori, dan konsep.

Rumusan-rumusan Durkheim yang disatukan dalam The Rules of Sociological Method awalnya didasari oleh keinginan untuk menghasilkan teori-teori sosiologi dengan aturan dan disiplin ilmu alam (science). Durkheim mengkritik pendahulunya, Auguste Comte dan Herbert Spencer yang meskipun telah membuka jalan ke arah positivisme, keduanya masih mendasarkan teori-teorinya pada spekulasi dan ide-ide yang belum tentu merepresentasikan benda-benda konkret yang seharusnya menjadi dasar objek penelitian sosiologi.
Maka, sebagaimana kalimat Durkheim yang dikutip pada bagian awal tulisan ini, langkah pertama dalam penelitian sosiologi adalah memperlakukan fakta sosial sebagai benda konkret yang bisa dilihat dan diteliti.
Dari sini sudah terlihat bagaimana Durkheim menjadikan kegiatan melihat dan meneliti fakta sosial sebagai dasar dalam sosiologi. Dengan demikian, sebuah kesimpulan atau teori dalam sosiologi akan lahir dari proses mengenali fakta sosial, meneliti, mendeskripsikan apa yang dilihat, dan membandingkan antar fakta sosial tersebut. Sosiologi bukan sebuah ilmu yang didasarkan pada pendapat atau spekulasi yang didapatkan secara turun -temurun atau pendapat umum masyarakat yang dianggap merepresentasikan realitas.
Pertanyaannya kini adalah, sebelum kita melihat dan memperlakukan fakta sosial sebagai benda, bagaimana kita menentukan mana yang disebut sebagai fakta sosial dan mana yang bukan. Durkheim telah membuat beberapa batasan tentang hal ini. Menurutnya, tidak setiap hal yang terjadi di masyarakat bisa disebut sebagai fakta sosial. Sebuah fenomena bisa menjadi fakta sosial dan menjadi obyek penelitian sosiologi jika memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat pertama adalah terjadi di luar individu (1966: 3). Durkheim menyebut fakta sosial bisa berupa aturan, norma, gejala, atau perilaku yang berada di luar individu. Artinya, fakta sosial bukanlah sesuatu yang berupa pikiran atau kondisi kejiwaan dari individu.
Meski demikian, tidak serta merta setiap fenomena sosial yang terjadi di luar individu adalah fakta sosial. Durkheim merumuskan syarat kedua fakta sosial yakni harus bersifat umum (1966: 7). Bersifat umum di sini artinya, fenomena tersebut tidak hanya terjadi pada satu atau dua individu saja. Aturan, norma, gejala, atau perilaku baru bisa disebut fakta sosial jika telah menjadi fenomena umum yang terjadi dalam masyarakat tertentu. Jika merujuk ke rumusan ini, kemiskinan belum bisa disebut sebagai fakta sosial apabila hanya ada satu atau dua orang miskin di satu kelompok masyarakat. Tapi ketika data menunjukkan dalam satu kampung hamper seluruhnya adalah orang miskin, maka kemiskinan di kampung tersebut adalah sebuah fakta sosial yang bisa diteliti secara sosiologi. Data menjadi salah satu alat utama untuk menentukan apakah sebuah fenomena bisa menjadi fakta sosial atau tidak.
Setelah dua hal tersebut, syarat berikutnya agar sebuah fenomena sosial bisa menjadi fakta sosial adalah memiliki kekuatan untuk membatasi atau memaksa individu tersebut (1966: 4). Individu tidak memiliki kemampuan untuk melawan aturan atau gejala sosial yang bersifat umum ini. Durkheim juga melihat bahwa kebanyakan orang tidak merasa hal ini adalah batasan atau sesuatu yang memaksa karena mereka menganggapnya sebagai hal yang wajar. Namun dia baru merasakannya ketika dia mencoba melawan batasan ini.
Dari tiga rumusan tentang fakta sosial ini, nyata sekali terlihat Durkheim adalah seorang strukturalis. Artinya, Durkheim percaya individu dibatasi dan dibentuk oleh sistem di luarnya (fakta sosial). Apa yang terjadi pada individu, bagaimana kondisi individu, adalah hasil  bentukan dari sistem di luarnya meskipun banyak individu yang tidak menyadarinya dan menganggap apa yang terjadi pada dirinya sebagai hal yang harus diterima karena sudah seharusnya terjadi seperti itu. Bagi Durkheim,  kekacauan dalam masyarakat akan teratasi jika sistem di luarnya kuat dan bisa mengatur individu. Misalnya aturan hukum, agama, solidaritas sosial, dan sistem ekonomi.
Definisi Durkheim tentang fakta sosial juga menunjukkan ia seorang empiris. Ini sejalan dengan keinginan Durkheim agar sosiologi menggunakan dasar-dasar penelitian seketat ilmu alam. Dengan menjadikan fakta sosial sebagai benda, penelitian sosiologi adalah sebuah kegiatan meneliti obyek konkret yang bisa dilihat, diukur, dan dibandingkan.
Meski fakta sosial adalah fenomena yang bersifat umum dalam satu kelompok masyarakat, tidak berarti fenomena tersebut berlaku untuk setiap orang. Akan tetapi Durkheim percaya bahwa penelitian fakta sosial akan menghasilkan gambaran umum dalam masyarakat. Durkheim memperkenalkan penelitian sosiologi sebagai sebuah proses induksi yg menghasilkan generalisasi. Hasil dari penelitian fakta sosial akan berlaku umum untuk seluruh masyarakat. Meski sifatnya generalisasi, Durkheim tetap percaya sebuah penelitian sosiologi yang mengikuti rumusan-rumusan fakta sosial memiliki validitas tinggi, sebagaimana ilmu alam.
Rumusan-rumusan fakta sosial yang kemudian juga membedakan sosiologi dengan bidang penelitian alam, terutama biologi dan psikologi. Meski sama-sama meneliti manusia, biologi dan psikologi tidak menggunakan rumusan fakta sosial untuk memilih obyek penelitiannya. Biologi dan psikologi meneliti manusia sebagai individu. Berbeda halnya dengan sosiologi yang meneliti individu sebagai bagian dari fakta sosial.
Durkheim membahas secara mendetail dengan membaginya kedalam 6 sub bab bahasan, antara lain : hakikat fakta sosial, aturan mengenai observasi fakta sosial, aturan mengenai pembedaan antara normal dengan abnormal (patologis), klasifikasi tipe sosial, penjelasan mendalam, mengenai fakta sosial, dan aturan untuk mendirikan pembuktian sosiologis
“A social fact is any way of acting, whether  fixed or not, capable of exerting over the individual an external constraint…which is general over the whole of a given society whilst having an existence of its own, independent of its individual manifestations.” (1966: 59)

The Rules of Socilogical Method Emile Durkheim Akhmad Ali


Pada pembahasan Fakta sosial, Durkheim mengatakan bahwa sesuatu hal yang mengikat individu serta di luar individu, tidak bisa dibantah, dan biasanya merupakan proses imitasi, adanya penyebaran atau difusi cara bertindak. Fakta sosial juga merupakan kesadaran kolektif (l’amme collective), yaitu bentukan dari segala macam peleburan state pada individu-individu. Apabila fakta social(sosial fact) menyatu dengan kemauan individu (individual manifestation/own right independent) maka hal ini disebut dengan fakta psikologis. Lalu, kita hanya membicarakan tentang peraturan-peraturan (nilai dan norma) yang mengekang kolektif tersebut maka disebut dengan fakta psikologis.
Kemudian pembahsan kedua yakni mengenai obeservasi sosial, pada bab ini dibahas mengenai beberapa persoalan. Pertama, dibahas mengenai bagaimana sosiologi itu sendiri bertindak sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Sosiologi disini juga dibahas sebagai suatu ilmu yang bebas nilai. Dan keharusan sosiologi sebagai suatu ilmu untuk memiliki tujuan, yakni sebagai alat untuk menelaah fakta-fakta sosial.
Pembahasan ketiga,  yakni mengenai membedakan sesuatui yang dianggap normal dengan sesuatu yang dianggap tidak normal dan patologis. Maksud dari sesuatu hal dianggap normal adalah sesuatu yang disetujui secara kolektif, sedangkan hal yang dianggap tidak normal adalah segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan kolektif. Namun yang perlu menjadi perhatian seperti yang tercantum dalam pembahasan bab ini yakni mengenai keharusan jua untuk melihat konteks sosial juga yang ada untuk dapat memutuskan hal-hal yang normal atau abnormal tersebut.
Pembahasan keempat, yang dibahas di bab selanjutnya membahas mengenai bagaimana caranya melakukan sebuah klasifikasi sosial. Ada dua sifat dari klasifikasi, yaitu klasifikasi yang  datau kaku serta klasifikasi yang bercampur. Lalu, hasil dari klasifikasi ini ada dua, yaitu social morphology dan social evolution. Klasifikasi yang pertama menunjukan didalam masyarakat adanya solidaritas, kerja sama, dan hubungannya yang baik dengan alam sedangkan klasifikasi yang kedua menunjukan dalam  masyarakat adanya yang ditengarai sebagai kerja sama kontraktual, dan hubungannya yang relatif terhadap alam.
Pembahasan kelima, yakni dibahas mengenai bagaimana caranya menjelaskan fakta sosial. Dijelaskan bahwa, fakta sosial  merupakan hal yang dapat dijelaskan melalui hubungan kausalitas atau sebab akibat. Fakta sosial juga dijelaskan sebagai produk tambahan dari fakta psikologis (kesadaran, sensasi, refleks, dan insting individu) tetapi tidak menjadikan fakta psikologis sebagai acuan utama untuk menyelesaikan suatu fenomena sosial. Ada pula alat ukur untuk menentukan fakta sosial, yaitu social millieu. Ada dua alat ukur, yaitu dynamic density serta physical density. Pertama adalah seberapa besar takaran hubungan sosial dibandingkan dengan kepentingan. Kedua adalah alat ukur numerik (pasti) dari perubahan komunikasi. Alat ukur pastinya adalah seberapa besar dialog ataupun monolog yang terjadi pada interaksi sosial tersebut.
Dan hal keenam atau hal yang terakhir dibahas dalam buku ini yakni dibahas mengenai bagaimana melakukan sebuah pembuktian secara sosiologis. Metode yang ditawarkan adalah metode komparatif, yaitu membandingkan hubungan sebab dan akibat. Hubungan yang terjadi haruslah terjadi secara dua arah, serta sebab atau akibat yang ada harus lebih dari satu buah. Metode ini berasal dari pemikiran Comte tentang metode historis yang menjadikan keteraturan sosial (teleologis) bertahap menjadi tiga bagian, yaitu teologis, epistemologi, dan aksiologis. Lalu, metode lainnya berasal dari Mill yang mengutip system of logic, dan sebenarnya hal tersebut merupakan pengandaian ilmu ekonomi sebagai ilmu praktis yang mempunyai tujuan tertentu. Metode dari Mill tersebut menginspirasikan adanya hubungan kausal yang tidak hanya berasal dari sebab pertama yang mengakibatkan sebab pertama. Metode kedua adalah metode asosiasi. Metode ini merupakan metode perbandingan antar variabel yang terdapat pada judul penelitian. Metode terakhir yakni mengenai metode deduktif. Metode deduktif, adalah metode yang menitikberatkan kepada hal yang umum lalu kepada hal yang khusus. Artinya, kita harus memakai teori dahulu serta hipotesis untuk menduga secara baik, dan hasil akhirnya diukur melalui sebuah rangkaian uji teori, dan konsep.

Rumusan-rumusan Durkheim yang disatukan dalam The Rules of Sociological Method awalnya didasari oleh keinginan untuk menghasilkan teori-teori sosiologi dengan aturan dan disiplin ilmu alam (science). Durkheim mengkritik pendahulunya, Auguste Comte dan Herbert Spencer yang meskipun telah membuka jalan ke arah positivisme, keduanya masih mendasarkan teori-teorinya pada spekulasi dan ide-ide yang belum tentu merepresentasikan benda-benda konkret yang seharusnya menjadi dasar objek penelitian sosiologi.
Maka, sebagaimana kalimat Durkheim yang dikutip pada bagian awal tulisan ini, langkah pertama dalam penelitian sosiologi adalah memperlakukan fakta sosial sebagai benda konkret yang bisa dilihat dan diteliti.
Dari sini sudah terlihat bagaimana Durkheim menjadikan kegiatan melihat dan meneliti fakta sosial sebagai dasar dalam sosiologi. Dengan demikian, sebuah kesimpulan atau teori dalam sosiologi akan lahir dari proses mengenali fakta sosial, meneliti, mendeskripsikan apa yang dilihat, dan membandingkan antar fakta sosial tersebut. Sosiologi bukan sebuah ilmu yang didasarkan pada pendapat atau spekulasi yang didapatkan secara turun -temurun atau pendapat umum masyarakat yang dianggap merepresentasikan realitas.
Pertanyaannya kini adalah, sebelum kita melihat dan memperlakukan fakta sosial sebagai benda, bagaimana kita menentukan mana yang disebut sebagai fakta sosial dan mana yang bukan. Durkheim telah membuat beberapa batasan tentang hal ini. Menurutnya, tidak setiap hal yang terjadi di masyarakat bisa disebut sebagai fakta sosial. Sebuah fenomena bisa menjadi fakta sosial dan menjadi obyek penelitian sosiologi jika memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat pertama adalah terjadi di luar individu (1966: 3). Durkheim menyebut fakta sosial bisa berupa aturan, norma, gejala, atau perilaku yang berada di luar individu. Artinya, fakta sosial bukanlah sesuatu yang berupa pikiran atau kondisi kejiwaan dari individu.
Meski demikian, tidak serta merta setiap fenomena sosial yang terjadi di luar individu adalah fakta sosial. Durkheim merumuskan syarat kedua fakta sosial yakni harus bersifat umum (1966: 7). Bersifat umum di sini artinya, fenomena tersebut tidak hanya terjadi pada satu atau dua individu saja. Aturan, norma, gejala, atau perilaku baru bisa disebut fakta sosial jika telah menjadi fenomena umum yang terjadi dalam masyarakat tertentu. Jika merujuk ke rumusan ini, kemiskinan belum bisa disebut sebagai fakta sosial apabila hanya ada satu atau dua orang miskin di satu kelompok masyarakat. Tapi ketika data menunjukkan dalam satu kampung hamper seluruhnya adalah orang miskin, maka kemiskinan di kampung tersebut adalah sebuah fakta sosial yang bisa diteliti secara sosiologi. Data menjadi salah satu alat utama untuk menentukan apakah sebuah fenomena bisa menjadi fakta sosial atau tidak.
Setelah dua hal tersebut, syarat berikutnya agar sebuah fenomena sosial bisa menjadi fakta sosial adalah memiliki kekuatan untuk membatasi atau memaksa individu tersebut (1966: 4). Individu tidak memiliki kemampuan untuk melawan aturan atau gejala sosial yang bersifat umum ini. Durkheim juga melihat bahwa kebanyakan orang tidak merasa hal ini adalah batasan atau sesuatu yang memaksa karena mereka menganggapnya sebagai hal yang wajar. Namun dia baru merasakannya ketika dia mencoba melawan batasan ini.
Dari tiga rumusan tentang fakta sosial ini, nyata sekali terlihat Durkheim adalah seorang strukturalis. Artinya, Durkheim percaya individu dibatasi dan dibentuk oleh sistem di luarnya (fakta sosial). Apa yang terjadi pada individu, bagaimana kondisi individu, adalah hasil  bentukan dari sistem di luarnya meskipun banyak individu yang tidak menyadarinya dan menganggap apa yang terjadi pada dirinya sebagai hal yang harus diterima karena sudah seharusnya terjadi seperti itu. Bagi Durkheim,  kekacauan dalam masyarakat akan teratasi jika sistem di luarnya kuat dan bisa mengatur individu. Misalnya aturan hukum, agama, solidaritas sosial, dan sistem ekonomi.
Definisi Durkheim tentang fakta sosial juga menunjukkan ia seorang empiris. Ini sejalan dengan keinginan Durkheim agar sosiologi menggunakan dasar-dasar penelitian seketat ilmu alam. Dengan menjadikan fakta sosial sebagai benda, penelitian sosiologi adalah sebuah kegiatan meneliti obyek konkret yang bisa dilihat, diukur, dan dibandingkan.
Meski fakta sosial adalah fenomena yang bersifat umum dalam satu kelompok masyarakat, tidak berarti fenomena tersebut berlaku untuk setiap orang. Akan tetapi Durkheim percaya bahwa penelitian fakta sosial akan menghasilkan gambaran umum dalam masyarakat. Durkheim memperkenalkan penelitian sosiologi sebagai sebuah proses induksi yg menghasilkan generalisasi. Hasil dari penelitian fakta sosial akan berlaku umum untuk seluruh masyarakat. Meski sifatnya generalisasi, Durkheim tetap percaya sebuah penelitian sosiologi yang mengikuti rumusan-rumusan fakta sosial memiliki validitas tinggi, sebagaimana ilmu alam.
Rumusan-rumusan fakta sosial yang kemudian juga membedakan sosiologi dengan bidang penelitian alam, terutama biologi dan psikologi. Meski sama-sama meneliti manusia, biologi dan psikologi tidak menggunakan rumusan fakta sosial untuk memilih obyek penelitiannya. Biologi dan psikologi meneliti manusia sebagai individu. Berbeda halnya dengan sosiologi yang meneliti individu sebagai bagian dari fakta sosial.
Durkheim membahas secara mendetail dengan membaginya kedalam 6 sub bab bahasan, antara lain : hakikat fakta sosial, aturan mengenai observasi fakta sosial, aturan mengenai pembedaan antara normal dengan abnormal (patologis), klasifikasi tipe sosial, penjelasan mendalam, mengenai fakta sosial, dan aturan untuk mendirikan pembuktian sosiologis
“A social fact is any way of acting, whether  fixed or not, capable of exerting over the individual an external constraint…which is general over the whole of a given society whilst having an existence of its own, independent of its individual manifestations.” (1966: 59)