Pada
pembahasan Fakta sosial, Durkheim mengatakan bahwa sesuatu hal yang mengikat
individu serta di luar individu, tidak bisa dibantah, dan biasanya merupakan
proses imitasi, adanya penyebaran atau difusi cara bertindak. Fakta sosial juga
merupakan kesadaran kolektif (l’amme collective), yaitu bentukan dari segala
macam peleburan state pada individu-individu. Apabila fakta social(sosial fact) menyatu
dengan kemauan individu (individual manifestation/own right
independent) maka hal ini disebut dengan fakta psikologis. Lalu, kita hanya
membicarakan tentang peraturan-peraturan (nilai dan norma) yang mengekang
kolektif tersebut maka disebut dengan fakta psikologis.
Kemudian pembahsan kedua yakni
mengenai obeservasi sosial, pada bab ini dibahas mengenai beberapa persoalan. Pertama, dibahas mengenai bagaimana sosiologi itu sendiri bertindak
sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Sosiologi disini juga dibahas sebagai suatu
ilmu yang bebas nilai. Dan keharusan sosiologi sebagai suatu ilmu untuk
memiliki tujuan, yakni sebagai alat untuk menelaah fakta-fakta sosial.
Pembahasan ketiga, yakni
mengenai membedakan sesuatui yang dianggap normal dengan sesuatu yang dianggap
tidak normal dan patologis. Maksud dari sesuatu hal dianggap normal adalah
sesuatu yang disetujui secara kolektif, sedangkan hal yang dianggap tidak
normal adalah segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan
kolektif. Namun yang perlu menjadi perhatian seperti yang tercantum dalam
pembahasan bab ini yakni mengenai keharusan jua untuk melihat konteks sosial
juga yang ada untuk dapat memutuskan hal-hal yang normal atau abnormal tersebut.
Pembahasan keempat, yang dibahas
di bab selanjutnya membahas mengenai bagaimana caranya melakukan sebuah
klasifikasi sosial. Ada dua sifat dari klasifikasi, yaitu klasifikasi
yang datau kaku serta klasifikasi yang bercampur. Lalu, hasil dari
klasifikasi ini ada dua, yaitu social morphology dan social evolution. Klasifikasi yang pertama menunjukan didalam
masyarakat adanya solidaritas, kerja sama, dan hubungannya yang baik dengan
alam sedangkan klasifikasi yang kedua menunjukan dalam masyarakat adanya yang
ditengarai sebagai kerja sama kontraktual, dan hubungannya yang relatif
terhadap alam.
Pembahasan kelima, yakni dibahas
mengenai bagaimana caranya menjelaskan fakta sosial. Dijelaskan bahwa, fakta
sosial merupakan hal yang dapat dijelaskan melalui hubungan kausalitas
atau sebab akibat. Fakta sosial juga dijelaskan sebagai produk tambahan dari
fakta psikologis (kesadaran, sensasi, refleks, dan insting individu) tetapi
tidak menjadikan fakta psikologis sebagai acuan utama untuk menyelesaikan suatu
fenomena sosial. Ada pula alat ukur untuk menentukan fakta sosial, yaitu social
millieu. Ada dua alat ukur, yaitu dynamic density serta physical
density. Pertama adalah seberapa besar takaran hubungan sosial dibandingkan
dengan kepentingan. Kedua adalah alat ukur numerik (pasti) dari perubahan
komunikasi. Alat ukur pastinya adalah seberapa besar dialog ataupun monolog
yang terjadi pada interaksi sosial tersebut.
Dan hal keenam atau hal yang
terakhir dibahas dalam buku ini yakni dibahas mengenai bagaimana melakukan
sebuah pembuktian secara sosiologis. Metode yang ditawarkan adalah metode
komparatif, yaitu membandingkan hubungan sebab dan akibat. Hubungan yang
terjadi haruslah terjadi secara dua arah, serta sebab atau akibat yang ada
harus lebih dari satu buah. Metode ini berasal dari pemikiran Comte tentang
metode historis yang menjadikan keteraturan sosial (teleologis) bertahap
menjadi tiga bagian, yaitu teologis, epistemologi, dan aksiologis. Lalu, metode
lainnya berasal dari Mill yang mengutip system of logic, dan sebenarnya
hal tersebut merupakan pengandaian ilmu ekonomi sebagai ilmu praktis yang
mempunyai tujuan tertentu. Metode dari Mill tersebut menginspirasikan adanya
hubungan kausal yang tidak hanya berasal dari sebab pertama yang mengakibatkan
sebab pertama. Metode kedua adalah metode asosiasi. Metode ini merupakan metode
perbandingan antar variabel yang terdapat pada judul penelitian. Metode
terakhir yakni mengenai metode deduktif. Metode deduktif, adalah metode yang
menitikberatkan kepada hal yang umum lalu kepada hal yang khusus. Artinya, kita
harus memakai teori dahulu serta hipotesis untuk menduga secara baik, dan hasil
akhirnya diukur melalui sebuah rangkaian uji teori, dan konsep.
Rumusan-rumusan Durkheim yang disatukan dalam The
Rules of Sociological Method awalnya didasari oleh keinginan untuk menghasilkan
teori-teori sosiologi dengan aturan dan disiplin ilmu alam (science). Durkheim
mengkritik pendahulunya, Auguste Comte dan Herbert Spencer yang meskipun telah
membuka jalan ke arah positivisme, keduanya masih mendasarkan teori-teorinya
pada spekulasi dan ide-ide yang belum tentu merepresentasikan benda-benda
konkret yang seharusnya menjadi dasar objek penelitian sosiologi.
Maka, sebagaimana kalimat Durkheim yang dikutip
pada bagian awal tulisan ini, langkah pertama dalam penelitian sosiologi adalah
memperlakukan fakta sosial sebagai benda konkret yang bisa dilihat dan
diteliti.
Dari sini sudah terlihat bagaimana Durkheim
menjadikan kegiatan melihat dan meneliti fakta sosial sebagai dasar dalam
sosiologi. Dengan demikian, sebuah kesimpulan atau teori dalam sosiologi akan
lahir dari proses mengenali fakta sosial, meneliti, mendeskripsikan apa yang
dilihat, dan membandingkan antar fakta sosial tersebut. Sosiologi bukan sebuah
ilmu yang didasarkan pada pendapat atau spekulasi yang didapatkan secara turun
-temurun atau pendapat umum masyarakat yang dianggap merepresentasikan
realitas.
Pertanyaannya kini adalah, sebelum kita melihat
dan memperlakukan fakta sosial sebagai benda, bagaimana kita menentukan mana
yang disebut sebagai fakta sosial dan mana yang bukan. Durkheim telah membuat
beberapa batasan tentang hal ini. Menurutnya, tidak setiap hal yang terjadi di
masyarakat bisa disebut sebagai fakta sosial. Sebuah fenomena bisa menjadi fakta
sosial dan menjadi obyek penelitian sosiologi jika memenuhi syarat-syarat
tertentu.
Syarat pertama adalah terjadi di luar individu
(1966: 3). Durkheim menyebut fakta sosial bisa berupa aturan, norma, gejala,
atau perilaku yang berada di luar individu. Artinya, fakta sosial bukanlah
sesuatu yang berupa pikiran atau kondisi kejiwaan dari individu.
Meski demikian, tidak serta merta setiap fenomena
sosial yang terjadi di luar individu adalah fakta sosial. Durkheim merumuskan
syarat kedua fakta sosial yakni harus bersifat umum (1966: 7). Bersifat umum di
sini artinya, fenomena tersebut tidak hanya terjadi pada satu atau dua individu
saja. Aturan, norma, gejala, atau perilaku baru bisa disebut fakta sosial jika
telah menjadi fenomena umum yang terjadi dalam masyarakat tertentu. Jika
merujuk ke rumusan ini, kemiskinan belum bisa disebut sebagai fakta sosial
apabila hanya ada satu atau dua orang miskin di satu kelompok masyarakat. Tapi
ketika data menunjukkan dalam satu kampung hamper seluruhnya adalah orang
miskin, maka kemiskinan di kampung tersebut adalah sebuah fakta sosial yang
bisa diteliti secara sosiologi. Data menjadi salah satu alat utama untuk
menentukan apakah sebuah fenomena bisa menjadi fakta sosial atau tidak.
Setelah dua hal tersebut, syarat berikutnya agar
sebuah fenomena sosial bisa menjadi fakta sosial adalah memiliki kekuatan untuk
membatasi atau memaksa individu tersebut (1966: 4). Individu tidak memiliki
kemampuan untuk melawan aturan atau gejala sosial yang bersifat umum ini.
Durkheim juga melihat bahwa kebanyakan orang tidak merasa hal ini adalah
batasan atau sesuatu yang memaksa karena mereka menganggapnya sebagai hal yang
wajar. Namun dia baru merasakannya ketika dia mencoba melawan batasan ini.
Dari tiga rumusan tentang fakta sosial ini, nyata
sekali terlihat Durkheim adalah seorang strukturalis. Artinya, Durkheim percaya
individu dibatasi dan dibentuk oleh sistem di luarnya (fakta sosial). Apa yang
terjadi pada individu, bagaimana kondisi individu, adalah hasil bentukan
dari sistem di luarnya meskipun banyak individu yang tidak menyadarinya dan
menganggap apa yang terjadi pada dirinya sebagai hal yang harus diterima karena
sudah seharusnya terjadi seperti itu. Bagi Durkheim, kekacauan dalam
masyarakat akan teratasi jika sistem di luarnya kuat dan bisa mengatur
individu. Misalnya aturan hukum, agama, solidaritas sosial, dan sistem ekonomi.
Definisi Durkheim tentang fakta sosial juga
menunjukkan ia seorang empiris. Ini sejalan dengan keinginan Durkheim agar
sosiologi menggunakan dasar-dasar penelitian seketat ilmu alam. Dengan
menjadikan fakta sosial sebagai benda, penelitian sosiologi adalah sebuah
kegiatan meneliti obyek konkret yang bisa dilihat, diukur, dan dibandingkan.
Meski fakta sosial adalah fenomena yang bersifat
umum dalam satu kelompok masyarakat, tidak berarti fenomena tersebut berlaku
untuk setiap orang. Akan tetapi Durkheim percaya bahwa penelitian fakta sosial
akan menghasilkan gambaran umum dalam masyarakat. Durkheim memperkenalkan
penelitian sosiologi sebagai sebuah proses induksi yg menghasilkan
generalisasi. Hasil dari penelitian fakta sosial akan berlaku umum untuk
seluruh masyarakat. Meski sifatnya generalisasi, Durkheim tetap percaya sebuah
penelitian sosiologi yang mengikuti rumusan-rumusan fakta sosial memiliki
validitas tinggi, sebagaimana ilmu alam.
Rumusan-rumusan fakta sosial yang kemudian juga
membedakan sosiologi dengan bidang penelitian alam, terutama biologi dan
psikologi. Meski sama-sama meneliti manusia, biologi dan psikologi tidak
menggunakan rumusan fakta sosial untuk memilih obyek penelitiannya. Biologi dan
psikologi meneliti manusia sebagai individu. Berbeda halnya dengan sosiologi
yang meneliti individu sebagai bagian dari fakta sosial.
Durkheim membahas
secara mendetail dengan membaginya kedalam 6 sub bab bahasan, antara lain :
hakikat fakta sosial, aturan mengenai observasi fakta sosial, aturan mengenai
pembedaan antara normal dengan abnormal (patologis), klasifikasi tipe sosial,
penjelasan mendalam, mengenai fakta sosial, dan aturan untuk mendirikan pembuktian
sosiologis
“A social fact is any way of acting,
whether fixed or not, capable of exerting over the individual an external
constraint…which is general over the whole of a given society whilst having an
existence of its own, independent of its individual manifestations.” (1966:
59)