This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 19 April 2013

STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS


A. STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS
1. Antara “Science” dan “Humanistis”
Kehadiran strukturalisme, di samping membuka cakrawala dari kegelapan sistem, memang banyak mengundang kontroversial. Tidak sedikit kritik dilancarkan atas kecemerlangan ide Levi-Strauss, kendati dia sendiri hanya meminjam disiplin lain. Muara kritik itu, cukup menggoda dan menggoyang strukturalisme – ketika telah menyudut­kan dalam term: peneliti budaya struktural sepenuhnya “science” atau sepenuhnya “humanistis”; atau “science” sekaligus “humanistis”. Cu­kup problematis memang permasalahan ini, sebab semua klaim dari pernyataan ini memiliki alasan yang sulit dipandang lemah.

A. STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS
1. Antara “Science” dan “Humanistis”
Kehadiran strukturalisme, di samping membuka cakrawala dari kegelapan sistem, memang banyak mengundang kontroversial. Tidak sedikit kritik dilancarkan atas kecemerlangan ide Levi-Strauss, kendati dia sendiri hanya meminjam disiplin lain. Muara kritik itu, cukup menggoda dan menggoyang strukturalisme – ketika telah menyudut­kan dalam term: peneliti budaya struktural sepenuhnya “science” atau sepenuhnya “humanistis”; atau “science” sekaligus “humanistis”. Cu­kup problematis memang permasalahan ini, sebab semua klaim dari pernyataan ini memiliki alasan yang sulit dipandang lemah.
Setelah mencermati beberapa literatur dan bukti pun, pikiran saya terkadang masih goyah – artinya juga ikut terperosok pada perbatasan. Karena itu, saya berusaha meyakinkan (diri saya sendiri), dengan mencari tahu apa sebenarnya yang dikehendaki “science” dan “humanistis”. Dari sini, pada akhirnya saya harus `pasrah’ dengan kenisbian bahwa peneliti budaya struktural memang “science” seka­ligus “humanistis”. Tidak lain dari itu. Pasal saya, istilah “science” menurut Webster’s Collegiate Dictionary berasal dari bahasa Latin scientia yang berarti “to know”. Selanjutnya, Lastrucci (Pelto, 1970:22) memberikan kriteria “science” khususnya yang menyangkut fenomeria dalam sastra (termasuk budaya tentunya): an objective, logical, and systematic method of analysis of phenomena, deviced to permit the accumulation of reliable knowledge”.
Dalam kaitan itu, bahasa memang memiliki -kedudukan khusus dalam strukturalisme. Bahkan, Sapir (1973:147-150) mengakui bahasa merupakan perangkat studi ilmiah dalam budaya. Hubungan pola-pola budaya diekspresikan melalui bahasa. Bahasa merupakan `social reality’ dan bahasa sekaligus juga sebagai `symbolic guide to culture’. Atas dasar ini, untuk melihat setuju dan atau menolak terhadap pendekatan strukturalisme, apakah “humanistis” dan atau “science” sepenuhnya, ataukah “science” sekaligus “humanistis”, tidak akan bisa lepas dari apa dan siapa pencetusnya, Levi-Strauss. Tokoh struk­turalisme besar ini dalam hidupnya memang telah dibom oleh sekian ragam pengetahuan. Karena beraneka pengetahuan, seperti filsafat, seni, bahasa, budaya, politik, dan sebagainya, bukan tidak mungkin jika wawasannya pun menjadi lebih luas dan dalam.
Keberagaman pengetahuan itu, sedikitnya dipengaruhi oleh kontak dengan sejumlah ilmuwan. Levi-Strauss mendapatkan inspirasi dari tiga sumber, yang disebut mistresses, yaitu geologi, Freud, dan Marx. Dalam istilah lain, Bertens (1996:192) menyebut mistresses adalah “guru”. Perkenalannya dengan geologi yang dimungkinkan menjadi ide-ide menarik adalah ihwal the majestic meaning dan the master meaning. Dari sini, sangat mungkin kalau Levi-Strauss yang nanti asyik dengan struktural, tetap akan melihat meaning juga. Hasil perkenalan dengan Freud, memungkinkan dia memiliki kepekaan dalam struktural yang disebut unconsciousness. Sedangkan dengan karya-karya Marx, dia mampu menangkap bahwa tujuan ilmu sosial – seperti halnya fisika yang ada di laboratorium – adalah membangun suatu model, mempelajari hakekat dan sifat, serta berbagai reaksinya atas macam-macam kondisi yang dibentuk, untuk kemudian mene­rapkan hasil observasi ini dalam penafsiran berbagai gejala empiris.
Dari ketiga sumber inspirasi itu saja, sebenarnya sulit beralasan jika bangunan strukturalisme itu hanya mengandalkan “science” saja. Begitu pula, tidak selalu benar kalau dikatakan strukturalisme itu mengabaikan empiris dan sifatnya `kering’. Pijakan ketiga sumber di atas, mungkin akan lebih cemerlang dan lengkap (bukan puma), jika dikemukakan hal yang senada, seperti ditunjukkan Cremers (1997:35­45), bahwa Levi-Strauss pernah:
(1) bergaul dengan seniman surrealis, seperti A. Breton, yang amat berpengaruh pada saat menganalisis mitos, (2) bergaul dengan peneliti budaya, seperti F. Boas yang memiliki “ketegasan ilmiah”, sehingga mengilhami dalam hal memandang pengaruh lingkungan ekologis terhadap proses perkembangan fisik, psikis, dan mental manusia, (3) kontak dengan Durkheim dan M. Mauss, keduanya telah memberi inspirasi dalam menemukan prinsip dan hukum pada tatanan yang tak kelihatan, maupun melatarbelakangi aneka ragam gejala kompleks yang jelas kelihatan, (4) bergaul dengan Roman Jakobson (penerus F. de Saussure) yang `mengajarinya’ dalam wawasan linguistik.
Rupa-rupanya, pergaulan yang ke (4) itulah yang akan mengu­bah wawasan peneliti budaya Levi-Strauss. Jika pada awalnya, dia masih meraba ke arah pengetehuan prarefleksi praktis dan spontan, kini berubah menjadi metode analisis yang secara eksplisit dapat dipertanggungjawabkan. Tentu saja, tidak berarti strukturalisme Levi­Strauss tercerabut dari akar humanistis, karena di samping wawasan no (4) yang menggoda pikirannya, ia juga terpengaruh no (1), (2), dan (3) yang sangat “concern” terhadap masalah kemanusiaan. Levi­Strauss tetap beritikad dan berangkat dari fenomena sosial budaya, karena itu suatu hal yang muskil jika strukturalisme meninggalkan sisi humanistis. Di sini, produk ilmiah dari strukturalisme yang memiliki obyektivitas ilmiah, tidak lalu meninggalkan pendirian sense of humanisties.
Levi-Strauss mengacu (baca: analog) atau mungkin mengadopsi teori linguistik struktural dari Ferdinand de Saussure. Adopsi keilmuan ini tetap sah-sah saja, tanpa harus mengurangi orisinalitas.
Levi-Strauss memang berniat membangun “the most humanistic science” atau “the most scientific humanistic”. Tentu saja, hal ini merupakan upaya menjembatani peneliti budaya sebelumnya, teruta­ma hertneneutik atau tafsir kebudayaan yang dianggap kurarig “science”. Usahanya dimaksudkan untuk memahami fenomena sosial budaya, melalui model-model yang bersifat ekonomis tanpa kehi­langan sifat generalnya. Sederhana, tetapi tetap dapat memahami seluruh fenomena sosial budaya.
Paham strukturalisme Levi-Strauss, selain terilhami de Saus­sure, juga terpengaruh Jakobson dan Troubetzkoy. Dalam membahas mitos misalnya, Levi-Strauss menyatakan bahwa mitos pada dasarnya juga mirip dengan bahasa. Jika dalam bahasa ada konsep la languge, yaitu keseluruhan sistem tanda yang dimiliki kelompok orang yang menggunakan bahasa dan la parole adalah perwujudan individual dari sistem tanda itu, yaitu tindak bicara konkrit seorang individu yang pada saat tertentu menggunakan sistem tanda itu untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, ada aspek diaronik dan sinkronik, paradigmatik dan sintagmatik yang di dalamnya ada relasi-relasi – dalam mitos pun demikian juga. Aspek sinkronik adalah mitos yang diyakini sebagai peristiwa masa lampau namun masih relevan untuk masa kini dan aspek diakronik adalah mitos yang yang berasal dari masa lampau tetapi tetap ada sampai sekarang.
Itulah sebabnya, menurut Badcock (1975:10-11) ditantang untuk menerapkan konsep linguistik Chomsky tentang deep structure dan surface structure untuk memahami fenomena manusia dan
budayanya. Jika peneliti model Levi Strauss mampu menjelaskan kedua hal itu, berarti akan cemerlang meniti keberhasilan. Jika peneliti mampu mengungkap sampai hal-hal yang unconscious maupun conscious tentu hebat. Berarti pula bahwa strukturalisme mampu menjawab segala persoalan budaya yang selama,ini menjadi misteri.
Hal itu penting dikemukakan, karena Levi-Strauss sendiri telah menyimpulkan bahwa suatu kegiatan intelektual tidak mampu mencenninkan organisasi konkret masyarakat yang bersangkutan (Peaget, 1995:91). Karenanya muncul penolakan terhadap keunggulan atas intelektual tersebut. Maka, kaum strukturalis akan mencari lebih dari itu, yakni menemukan di balik hubungan-hubungan konret tersebut, akan menemukan struktur bawah sadar dan “tidak sadar” melalui konstruksi deduktif abstrak. Abstrakisasi ini akan membentuk sebuah sistem yang mampu mewadahi gejala fenomena budaya konkret. Upaya ini telah menjadi obsesi dan tantangan kaum strukturalisme terus-menerus sepanjang peradaban manusia.
Misalkan saja, kalau strukturalisme Levi-Strauss mampu mem­bongkar mitos masyarakat Jawa, seperti dijelaskan dalam Babad
Tanah Jawa, ada mitos Nyi Loro Kidul yang ternyata masih relevan dan juga masih berlaku sampai sekarang – tentu istimewa. Relevansi mitos ini, misalnya dengan adanya labuhan Kraton Yogyakarta, akan mendidik sikap berkorban dan mengingat jasa leluhur. Bukti bahwa mitos itu masih ada, bisa dilihat di Parangkusuma, tempat bertemunya Panembahan Senapati dengan Nyi Loro Kidul yang masih dipercaya sampai sekarang. Bahkan pada deretan pantai selatan mitos itu sangat bervariasi, namun hakekatnya sama. Artinya, di satu pihak tetap menggunakan sistem yang jelas, di lain pihak tetap memperhatikan tindak bahasa. Tindak bahasa inilah wujud nyata dari komunikaksi sosial budaya.
Fenomena budaya memiliki realitas yang lebih dari kenyataan empiris. Fenomena yang sebenarnya adalah di balik realitas, yaitu fenomena simbolik dan semiotik. Artinya, fenomena sosial budaya itu selain bahasa juga terkandung fenomena yang dimaknai dan juga fenomena komunikasi. Eksistensi ini, meneguhkan lagi bahwa strukturalisme tetap berada pada jalur peneliti budaya “science sosial budaya”, maksudnya ilmu pengetahuan yang ilmiah dan sekaligus manusiawi.
Hal ini juga telah diakui oleh Baal (1988:139) bahwa apa yang dihasilkan Levi-Strauss merupakan pemikiran ilmiah dan tetap manusiawi. Dalam hal ini, Baal memberikan contoh seorang insinyur yang membuat rancangan struktur bangunan, namun pada saat yang sama ia juga membayangkan suku cadang yang akan digunakan. Suku cadang yang memiliki nilai kesejarahan dan arti khusus baginya itu, berarti bahwa struktur yang dihasilkan mendapat perlakuan ukuran manusiawi, yang dapat dikatakan memiliki nilai emosional dan menambah arti. Levi-Strauss tidak kalah pentingnya dalam menje­laskan fenomena budaya jika dibanding dengan ilmuwan sosial yang berpaham positivistik.
Levi-Strauss sendiri telah menjelaskan panjang lebar tentang ‘ peneliti budaya struktural yang “science” dan sekaligus “humanistis”. Kendati hal ini boleh dibantah, dalam buku pintarnya Structural Anthrophology, ia telah membuktikannya. Pada bab II buku ini, tam­pak dia ingin menajamkan perhatian kita bahwa paradigma linguistik, yang dikemukakan Troubetzkoy (ada empat alasan dasar metodis) itu bisa diterapkan ke dalam peneliti budaya. Dengan gaya mengritik Radcliff-Brown dan Malinowski yang telah mengawali menganalisis kekerabatan, la mampu berbuat lain, seperti halnya telah dikutip ba­nyak ahli peneliti budaya yang sejalan, termasuk Bertens (1996:193­194) –
Levi-Strauss mampu mengandalkan analisis struktural kekerabatan dan mitologi. Satu hal yang menarik direnungkan (oleh yang ragu kehumanistisan), sistem oposisi berpasangan dalam keke­rabatan seperti “bapa-biyungjaki-nini, gedhana-gedhini” (contoh ini ditranformasikan ke budaya Jawa), akan menyuguhkan komunikasi yang berbeda. Komunikasi ini persoalan kemanusiaan, persoalan parole, dan bukan kzrzgue semata. Belum lagi ihwal larangan incest (incest-taboo), seperti halnya larangan perkawinan “indogami” dalam masyarakat Jawa cukup menghadirkan kultur tersendiri, seperti “aja nikah karo sedulur misan”, aja nikah karo pring sedulur sedhapur”, dan sejumlah gugon tuhon (larangan) lain yang termuat dalam Primbon. Hal semacam ini, tidak jauh berbeda dengan pernyataan Maranda (1972:331) “The structural analysis of kinship attempts to lay bare a mechanism and is thus both broader and narrower than stric kinship analysis. It is dynamically related to politics and economics, … “.
Larangan incest di atas, menurut Levi-Strauss (Kuper, 1996:199-203) memang berlaku universal, kendati pada setiap komu­nitas berbeda-beda namanya. Dari analisis larangan incest itu, Levi­Strauss telah membuktikan bahwa peneliti budaya stuktural memang “science” dan “humanistis”. Maksudnya, di balik model-model yang tak disadari dari karya Levi-Strauss itu, terdapat pemikiran manusia, dan tujuan akhirnya adalah pengungkapan prinsip-prinsip universal mentalitas manusia. Karena itu, Bertens (1996:230) setelah memban­dingkan kritik-kritik terhadap strukturalisme, menyimpulkan: boleh saja strukturalisme dihargai sebagai metode, asalkan tidak sebagai ideologi, tidak absolut, tetapi manusia harus “dileburkan”, sehingga terbuka jalan humanisme yang realistis.
Levi-Strauss memang peneliti budaya struktural yang mampu mengungkapkan sentuhan kemanusiaan yang memikat. Camkan, ketika ia menjelaskan ihwal incest, di satu pihak larangan itu terdapat
di berbagai suku bangsa, sifatnya natural. Di pihak lain, larangan itu ternyata berbeda-beda sehingga memiliki sifat kultural. Jadi, `nilai’, `makna’ larangan incest adalah menciptakan kehidupan masyarakat itu sendiri, sekaligus juga melahirkan kemanusiaan, humanity yang berbeda dengan kebinatangan, animality. Pendek kata, Levi-Strauss telah membawa angin baru dalam kajian peneliti budaya-budaya: yakni memuncul epistemologi strukturalisme, yang membuat peneliti budaya lebih dekat dengan bidang humaniora, dan menyempal dari tradisi yang selama ini banyak mendominasi pemikiran para peneliti budaya, yaitu epistemologi positivisme.
Akan lebih tajam lagi, untuk meneropong ihwal “science” dan “humanistik” dari peneliti budaya struktural, Levi-Strauss membe­berkan pada buku Structural Antrophology 2, khususnya Bab N. Pada bagian ini ia memaparkan konsep humanisme dalam kajian etnologi. Dalam kaitan ini, ia menegaskan bahwa humanisme tidak saja terdapat pada sifat-sifat masyarakat terbelakang, melainkan juga terdapat pada masyarakat maju dan industrial. Untuk memahami hal ini, paradigma struktural dari linguistik, dikatakan lebih objektif-ilmiah.
Implementasi peneliti budaya struktural yang “science” dan “humanistis” juga tampak pada sistem linguistik “berpasangan” dan atau beroposisi, yang pada gilirannya melahirkan struktur “tiga”, “lima” dan seterusnya. Struktur “empat” hampir jarang ditemukan, kendati hal ini boleh ada. Adanya oposisi biner, seperti dalam konsep berpikir orang Jawa, akan melahirkan pasangan: lair-batin, ala-becik, bener-luput, begja-cilaka, tuna satak-bathi sanak, bapa-biyung, kaken-kaken-ninen-ninen, mimi-mintuna, kawula-Gusti, bapa akasa­ibu pertiwi, dhalang-wayang, obah-mamah, ana dina-ana upa, tamba teka-lara lunga, tega larane-ora tega patine, desa mawa cara-negara mawa tata, diculke endhase-digondheli buntute, dan masih banyak lagi. Kata-kata berpasangan itu, merupakan transformasi ideologi orang Jawa yang dalam konsep linguistik dinamakan depth structure. Dalam struktur kehidupan orang Jawa mengenal pola pikir: donya iki mung ana werna loro. Konsep ini, dalam surface structure yaitu implementasinya melalui wacana pragmatik bahasa Jawa dapat berupa segudang istilah.
2. Model Levi-Strauss
Laksono (1994) juga pernah mencoba terapkan konsep struk­tural Levi-Strauss untuk memahami pandangan hidup orang Jawa, yang intinya bahwa konsep hidup orang Jawa ada pada titik 0 (suwung). Konsep ini ia temukan melalui pustaka ketika di Belanda, sehingga model strukturalnya pun kuat dipengaruhi oleh Belanda.. Begitu pula De Jong (1977:12-13) juga telah mencoba menerapkan konsep struktural Levi-Strauss untuk melihat perhitungan perkawinan di Jawa, yakni melalui perhitungan: 1. Guru, 2. Ratu, 3. Pandhita, 4. Wali, S. Setan. Angka S berada di tengah (menurut perhitungan man­capat) dan dihitung dengan `hidupnya hari’).
Dalam buku Strukturalisme Levi Strauss; Mitos dan Karya Sastra (2001). Ahimsa-Putra telah mencoba terapkan strukturalisme Levi-Strauss ke dalam terhadap tiga karya Umar Kayam, yaitu Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi. Kendati Ahimsa-Putra berterus terang tidak menjiplak mentah-mentah Levi-Strauss, namun, setidak­nya dari analisis mitos tersebut kita akan diyakinkan bahwa sfrukturalisme tetap “science” dan “humanistis”. Dia, berhasil melihat lebih jauh bangunan klasifikaksi “dua” (PKI dan bukan PKI) dan klasifikasi “tiga” yakni mendasarkan “sejarah kehidupan” tokoh.
Dari -sini, tampak segi “science” dalam strukturalisme, karena struktur segi tiga (tidak saya kutip gambarnya), telah menjadi sarana “bingkai pemahaman” untuk menjelaskan “siapa yang harus” dan “tidak harus” menjadi korban G 30 S PKI. Aspek humanistis, menurut hemat saya adalah pada kemampuan Ahimsa-Putra untuk menafsirkan tataran `nirsadar’ nalar Jawa dari struktur tadi. Menurutnya, struktur nalar orang Jawa menunjukkan keteraturan, tatanan, dan pandangan yang harus tumata (tertata). Konsep ketertataan ini, dalam pandangan orang Jawa terkandung tiga komponen, yaitu: kesatuan (unity), kesinam­bungan (cotinuity), dan keselarasan (harmoni). Hal serupa pun, sebenarnya telah diakui juga oleh Franz Magnis Suseno dan Sri Sultan Hamengkubuwana X.
Jika demikian, bukankah hal itu sebuah bukti bahwa struktu­ralisme itu bernuansa “science” dan sekaligus “humanistis” yang patut dipertahankan? Ini bukti bahwa strukturalisme lebih demokrat, kendati tidak harus nihil kritik. Dengan strukturalisme, Levi-Strauss (Cremers dan Santo, 1995:16) telah dikagumi dan dihormati sebagai tokoh peneliti budaya yang penting. Bahkan ia memiliki sembangan penting dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Hanya saja, Levi-Strauss sendiri lalu muak dengan istilah “struktural” yang ia perjuangkan mati-matian itu, karena metode analisis ini diakui atau tidak memang mudah goyah. Karena itu, sering bermunculan kritik-kritik sebagai berikut:
Pertama, kecaman tajam yang begitu menyakitkan, memang, adanya kritik metodologis bahwa strukturalisme Levi-Strauss dituduh kurang atau belum memperlihatkan empiri secukupnya, bahkan ia dicap bersifat anti empiri. la terlalu memutlakkan satu tipe matematika (Bourbaki) dan satu tipe linguistik (Saussure dan Jakobson) sebagai ilmu acuan untuk melakukan inovasi peneliti budaya-budaya. Per­soalannya, apakah bahasa dan fakta sosial boleh dipertalikan demi­kian? Pandangannya bahwa struktur sosial tidak berhubungan dengan kenyataan empiris, tetapi menunjuk pada “model-model yang disusun menurut acuan “struktur”, mengandung berbagai pengertian dan perlu dipertanyakan.
Apakah analisis struktural hanya berhenti pada analisis terhadap seluruh relasi formal dan logis dari sebuah sistem, padahal ia kurang mempedulikan segala isi nyata dari pengalaman yang hidup serta seluruh kenyataan semantis. Ternyata Levi-Strauss begitu senang dengan prinsip resiprositas dan asyik mencari aturan-aturan formal tranformasi, sehingga kurang sempat mendengarkan apa yang dikata­kan oleh mitos itu sendiri.
Akibatnya, “hermeneutik” semantis diabai­kan. Jika seluruh hidup kemasyarakatan akhirnya dikembalikan pada permainan struktur dan sistem paksaan mental yang anonim dan menentukan pola-pola hidup sosial, maka peneliti budaya sosial akan kehilangan ciri manusiawinya, padahal peneliti budaya justru ingin mempelajari gejala bentuk hidup kemasyarakatan asli.
Kedua, mempersoalkan keabsahan oposisi tajam dari alam/ke­budayaan apriori sebagai prinsip metodologis dasariah yang meresapi seluruh karya Levi-Strauss. Oposisi alam/kebudayaan merupakan kerangka pokok untuk memahami larangan inses dan cara-cara mem­persiapkan terjadinya peralihan dari yang satu ke yang lain. Apakah larangan inses dapat dimengerti secara tuntas de ngan cara itu? Apakah larangan inses yang merupakan titik silang antara alam (biologi) dan kebudayaan (sistem peraturan) itu betul-betul merupakan peraturan universal?
Ketiga, tentang titik tolak filosofis pikiran manusia. Benarkah dalam kodrat manusia ditemukan sejenis mekanisme penyusunan yang berfungsi secara tidak sadar? Hal ini membawa kita pada masalah filosofis mengenai pikiran dan akal budi manusia – yang dipandang sebagai sebuah mesin kibernetis yang mengadakan kombinasi oposisi dan pada masalah “ketidaksadaran struktural”. Benarkah struktura­lisme mereduksi manusia menjadi “cyberanthropos” (manusia mesin kibernetis) yang dikuasai dan ditentukan oleh sebuah struktur, aturan berpikir dan bahasa yang pada dasarnya tidak berubah, sehingga manusia sebagai subjek tidak berdaya sedangkan kebebasannya merupakan khayalan belaka.
Keempat, metode strukturalisme juga mengabaikan “sejarah’. la hanya asyik dengan sifat-sifat sinkronis struktur dan meremehkan ciri diakronik.
Kelima, terdapat paradoks dalam rasionalisme Levi-Struss. Apakah hasrat Levi-Strauss untuk memahami objeknya secara tuntas merupakan ciri dari sejenis “hiper-rasionalisme” yang entah merupa­kan sisa rasionalisme Cartesian (yang justru ingin dibantahnya) atau suatu bentuk baru cara pengenalan mistiko-puistis yang agak “irasio­nal” dan surealistis berupa mitologi reflektif?
Menghadapi kritik tajam itu, Levi-Strauss (Cremers dan Santo, 1995:55-70) menurut wawancara dengan majalah “Spiegel”, berusaha membela diri. la berkilah ketika dipojokkan pertanyaan wartawan, bahwa dirinya berpaling dari humanisme dalam konsepsi struktura­lismenya.
Kata Levi-Strauss: “Saya berpendapat bahwa celaan tersebut didasarkan pada suatu kekeliruan ganda, yaitu kekeliruan teoritis dan kekeliruan praktis. Kekeliruan teoritis adalah bahwa saya belum pernah me­nyangkal siapa pun untuk mempelajari manusia pada tingkat peneli­tian yang dipilihnya.
Namun, yang saya bantah adalah pendirian yang disebut monopolistik itu, yakni manusia hanya dapat didefinisikan dan dipelajari pada satu tingkat tunggal saja. Jika anda memandang suatu tetes air dengan mata telanjang, Anda tidak akan melihat apa-apa. Namun jika anda menempatkan setetes air itu di bawah sebuah mikroskop elektron yang membesarkannya 50.000 kali, Anda akan melihat hal-hal yang berbeda sama sekali.
Demikian pula halnya dengan usaha mempelajari manusia. Mereka yang menamakan dirinya humanis memandang manusia menurut sudut pandang sama seperti orang memandang setetes air yang diperbesar sedikit. Tampak sejumlah binatang kecil-sebagai makhluk individual yang memang ada, saling memerangi dan saling mencintai. Namun, kita tahu bahwa ilmu hanya ada karena kita telah mengerti bahwa sejumlah fenomena tidak bisa dipandang dari satu tingkat saja,:… Namun dari segi praktis, akhirnya kita harus memberi pertanggungjawaban tentang soal bahwa sikap humanistik yang absolut dan yang meraja sejak zaman Renai­sans, dan rupanya berasal dari agama-agama besar Barat, membawa akibat yang sangat katastrofal. Selama beberapa abad humanisme menyebabkan peperangan, permusuhan, kamp konsentrasi, dan pem­basmian berbagai jenis makhluk hidup. Kita mempermiskin alam. Sikap yang melebih-lebihkan itulah yang mengancam manusia sendiri, yaitu sikap percaya bahwa dengan sewenang-wenang ia dapat memiliki dan menguasai segala-galanya.”
Kritik lain juga mengalir dari peneliti interpretif, yaktti Geertz (1980:101-119), dengan gaya estetis mencoba memberi catatan Levi­Strauss demikian:
“Apakah Levi-Strauss sedang menulis untuk semua peneliti budaya di masa depan, sebagaimana ia tampaknya menyatakan itu dalam halaman-halaman penting Pensee Sauvage? Ataukah dia, seperti intelegensia neolitik tertentu yang tercerabut yang tercampak dalam sebuah cagar, membongkar-bongkar peninggalan tradisi-tradisi kuno dalam sebuah usaha sia-sia untuk menghidupkan kembali suatu kepercayaxh primitif yang keindahan moralnya masih jelas namun yang darinya baik relevansi maupun kredibilitasnya sejak lama telah sirna”.
Lagi-lagi, Ember dan Malvin Ember (1996:66-67) juga mengri­tik, walaupun Levi-Strauss membukakan banyak pikiran baru dan seringkali ditulis dengan gaya bahasa yang menarik, oleh banyak
orang dianggap menyajikan hal-hal yang kabur dan tidak dapat diuji, suatu teori yang mengandung pemikiran intelektual yang tidak mengundang pertanyaan dan kemampuannya untuk menjelaskan gejala budaya hampir tidak ada.
Tentunya masih banyak lagi kritik-kritik terhadap Levi-Strauss yang bermuara ke arah metodologis. Namun, setidaknya peneliti budaya struktural telah mampu merangkul dua kutub yang sering berseberangan, “science” dan “humanistis”. Ini jelas kelebihan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena itu, layak jika Barthes (1970:413) menyatakan bahwa strukturalisme sebagai “science” bisa dikatakan telah menemukan dirinya pada setiap karya sastra. Pada tingkat bentuk-isi dan juga pada tingkat wacana. Pada tingkat bentuk­isi telah menunjukkan logika dan pada tingkat wacana telah mampu membuat klasifikasi budaya.
B. TAFSIR KEBUDAYAAN
1. Memandang.Budaya sebagai Teks
Sebenarnya, telah diakui Keesing (1999:5) bahwa pemaknaan budaya akhir-akhir ini cenderung ke arah penafsiran. Penafsiran budaya cenderung memandang fenomena budaya sebagai sebuah teks. Teks tersebut dapat ditafsirkan sekehendak si peneliti. Oleh sebab itu, dalam banyak hal pemahaman budaya justru dekat ke arah kema­nusiaan dibanding ilmu alam. Dari paham ini, belakangan muncul gerakan tafsir kebudayaan yang mulai dikembangkan Geertz.
Tafsir kebudayaan merupakan langkah atau penerapan model hermeneutik terhadap kebudayaan. Secara harafiah, hermeneutik berarti “cara membaca” fenomena budaya. Namun, makna ini berkembang ke arah pemahaman dan atau penafsiran terhadap budaya. Dalam kaitan ini, peneliti budaya dituntut untuk membaca lebih jernih terhadap feno­mena budaya yang dihadapi.
Secara etimologis, hermeneutik berasal dari bahasa Yunani “hermeneuein” yang berarti “menafsirkan” (Sumaryono, 1999:23).
prinsip hermeneutiknya, mulai goyah dengan kritik dari ahli lain. Model interpretif yang mengarahkan perhatian untuk mencari makna di balik teks secara lebih dalam, dalam istilah Bachelard, adalah ingin menemukan `gema budaya’ dalam ritual, metafor, dan dalam makna kehidupan setiap hari – mungkin seiring dengan istilah Spradley (1997:249) sebagai pencarian `tema budaya’. Apa pun isitilahnya, ternyata mendapat serangan tajam, antara lain dari Keesing. Bahkan juga oleh Clifford (Wadson, 1991:73) yang memper­tanyakan ihwal metodologis, terutama bagaimana etnografi interpretif itu dibuat.
Keberatan Keesing atas pendekatan interpretif memang cukup beralasan dan logis. Ketidaksetujuan dia, dimotori oleh asumsi kritis bahwa pandangan budaya sebagai fenomena kolektif harus ditunjuk­kan sebagai pandangan ilmu pengetahuan yang dikumpulkan dan terkontrol. Artinya, apakah makna dari budaya itu harus terdistribu­sikan dan atau sebagai ilmu pengetahuan memang tidak harus dimiliki bersama. Dalam interpretasi, kita perlu bertanya siapa yang menyebarkan makna budaya dan untuk tujuan apa. Kita tahu bahwa sering ada teks alternatif dan kita bisa membaca kiasan budaya dari teks itu. Karena itu, jika kebudayaan simbolik memang memiliki sumbangan besar, mampukah menunjukkan makna budaya yang terkait dengan hidup manusia. Karena, sadar atau tidak, pemahaman sebuah wacana budaya, sering tergantung oleh siapa. Kekuasaan, jelas seperti ditegaskan Keesing akan tetap memberi makna budaya.
Menurut Denzin (1990:22) Geertz memang tergolong pada tipe pure interpretation, artinya interpretasi yang bertujuan untuk menemukan makna persoalan sosial budaya. Yakni, upaya memburu makna melalui interaksi sosial. Berbeda dengan tipe kedua yaitu interpretive evaluation, peneliti pesanan yang berusaha membuat kebijakan tertentu dan atau ingin merekomendasikan sesuatu yang sifatnya pragmatik.
Berdasarkan hal itu, memang nalar jika Keesing menyangsikan Geertz. Karena, menurutnya interpretasi itu memerlukan bakat, letusan naluri, kecermatan dalam mengamati makna yang tersembunyi dari teks. Padahal, iya atau tidak, memang hanya para ahli yang bisa membuat perangkat hubungan sistem simbolis. Jika hal ini terabaikan, bisa jadi tafsir kebudayaan akan mengalami kegagalan dan kandas. Disamping itu, tugas kita sebagai peneliti budaya, tentu saja tidak hanya menafsirkan teks, namun ada tugas lain di luar penafsiran itu sendiri. Karena itu, Keesing mengemukakan tiga alasan dasar atas keberatannya terhadap hermeneutik (tafsir) sebagai berikut:
Pertama, dalam masyarakat sekecil apapun, pandangan liudaya sebagai fenomena kolektif, simbol, dan makna secara umum, perlu didasarkan pada pengetahuan yang tersebar dan terkontrol. Perlu disadari, bahwa dalam masyarakat yang tidak mengenal kelas sosial dan masyarakat sekecil apapun, budaya sebagai “teks” akan berbeda antara yang ditulis pria dan wanita, orang tua dan pemuda, ahli dan bukan ahli. Hal ini berarti peneliti budaya interpretif jelas sama saja mengabaikan dan mengacaukan dinamika serta dialektika pengete­hauan.
Kedua, budaya bukanlah jaringan makna, seperti halnya sistem malaia yang mengarahkan manusia dan dunia. Semua asumsi demikian hanya ideologi, yang kadang-kadang mengabaikan realita politik dan ekonomi yang telah dan mengitari budaya itu. Dalam masyarakat tanpa kelas pun, ideologi budaya tetap ada perbedaan, di satu pihak ada yang setuju dan di lain pihak ada yang tidak mengi­yakan, bahkan sebagian yang lain lebih suka mengambil keuntungan dari ideologi yang disahkan itu. Itulah sebabnya, jika budaya dika­takan sebagai jaringan makna dan wacana batin, kita perlu bertanya – siapa yang menciptakan makna budaya dan demi tujuan apa. Dari sini, memang bisa diterima nalar jika Scholte lalu berkilah: “kita tidak bisa menetapkan pria dan wanita jika hanya berdasarkan jaringan makna yang inheren di dalamnya, melainkan, perlu dilihat dalam konteks sejarah, politik, dan ekonomi.” Pernyataan ini, mungkin menghendaki bahwa dalam interpretasi perlu memperhatikan wacana `kekuasaan’ dan `hegemoni’ budaya. Tidakkah mereka yang memegang peran, yang memiliki tangan panj ang, sering memberikan warna dan makna budaya itu sendiri?
Ketiga, pada awalnya, tafsir kebudayaan menjadi populer atas karya terbaru Lakoff dan Johnson tentang metafor konvensional dan usaha Keesing sendiri dalam arkeologi hermeniutik, yakni sebagai upaya memahami pembacaan teks dan kesalahannya tentang agama Oseania dan ide-ide pribumi.
Menurut dia, ternyata wawasan budaya sebagai teks, ritus, mitos, dan konsep suatu bangsa, pandangannya sangat kabur. Oleh karena, diakui atau tidak, peneliti budaya sering memilih bacaan (teks) yang menarik dan sesuai dengan “sense”-nya, dan lalu merasa bangga dengan pilihan itu. Jika ini yang terjadi, subjektivitas budaya pun memang sulit terhindarkan. Makna menjadi menurut siapa, dan mungkin akan lari pada ihwal like dan dislike terhadap budaya tertentu.
Lebih tajam lagi, Keesing menegaskan, manakala budaya adalah teks yang harus dibaca, bagaimana jika dibaca oleh pemilik kebudayaan An sendiri. Apakah pemilik kebudayaan mengetahui konvensi budaya yang berupa simbol-simbol ritual, metafor yang indah, jar’ingan hubungan logika, dan sebagainya. Kalau begitu, apakah peneliti budaya hanya akan terpahami oleh peneliti budaya sendiri, seperti Geertz, Schneider dan Orthner. Alasan ini pun cukup pedas; karena Teeuw pernah mengungkapkan bahwa pemahamap teks perlu mengetahui `kode’, antara lain `kode budaya, kode sastra, dan kode bahasa’. Jika pemiliki budaya (yang berkeperttingan) ingin membaca teks budaya Geertz tentang Abangan, Santri, dan, Priyayi, apakah tidak rumit jika tanpa menguasai kode tertentu dan apakah tafsiran Geertz saat itu sekarang tidak mungkin berubah seiring dengan perjalanan waktu?
Dengan tajam, Keesing menyontohkan budaya suku Bin-in Kuskumin di Papua yang menyamakan makna ritual mereka yang rumit dengan kacang yang diletakkan pada bawang. Begitu pula dengan penelitiannya sendiri atas masyarakat suku Kwaio Malaitadi di Kepulauan Solomon, yang tidak mempunyai kelas, tenaga ahli, hirar­khi politik, dan lain-lain, peradabannya jauh lebih rendah dari suku Bimin. Menurut kedua suku ini, dalam memandang alam kematian dan bumi sebagai simbol budaya memang tidak jauh berbeda. Setelah mati, orang akan pergi ke alam kematian yaitu anogwa’u, yang lain mengatakan bahwa orang mati akan menanti rekan-rekannya yang masih hidup dan terlibat dalam kehidupan sosial masyarakat.
Namun,setelah 10 tahun terakhir, ketika Keesing mewawancarai 50 orang Kwaio (pria-wanita, tua-muda, orang tahu-tidak tahu), ternyata jawabannya beragam. Kesimpulan Keesing sepintas dapat diraba bahwa budaya sebagai sistem makna bisa berubah. Rentang waktu sangat menentukan apa dan bagaimana makna itu ada. Karena itu, patut dipertanyakan adanya asumsi bahwa budaya memiliki makna bersama.
Contoh lain dari Keesing untuk meyakinkan argumentasinya, adalah adanya konsep bumi atau tanah menurut suku Kwaio. Orang Kwaio mengaku berasal dari tanah. Anehnya, warga Kwaio yang lain tidak begitu memperhatikan simbol tanah itu dalam kehidupan sehari­hari. Hal ini berarti akan menumbuhkan banyak makna tentang tanah itu. Kalau begitu, apa yang dikemukakan Levi-Strauss, bahwa pikiran adalah sebagai penghubung jaringan makna budaya apakah signifi­kan? Dari mana struktur budaya akan muncul jika maknanya tidak selalu dianut, jika pelaku budaya itu sendiri memiliki perspektif yang berbeda tentang pemahaman struktur budayanya. Di sinilah perge­seran makna sangat mungkin terjadi dan pada suatu saat, prinsip relativitas budaya yang dikembangkan oleh Amerika akan bisa diterima.
3. Masalah Terjemahan Teks
Akhirnya, Keesing berada di perbatasan yang kurang jelas. Di satu pihak kurang setuju dengan tafsir kebudayaan dengan sejumlah -kekurangannya, di lain pihak, ia ragu-ragu terhadap tafsir kebudayaan. Keraguan itu, (1) tentang epistemologi, yakni, jika budaya hidup dalam daya cipta yang muncul dan struktur kehidupan sosial terus­menerus, apakah hasil etnografi simbolik tidak berbahaya. Apakah kumpulan budaya yang dibuat peneliti budaya hanya potongan situasi? (2) pada saat Rosaldo (murid Geertz) menerjemahkan pikiran umum dari dunia budaya orang lain melalui bahasa, apakah mungkin karena budaya itu sendiri memiliki multi makna, (3) masalah kehidupan sehari-hari yang ditafsirkan dan penyebaran pengetahuan yang dimak­sud, berlaku bagi kehidupan siapa?
Keesing juga sedikit keberatan dengan adanya budaya sebagai ideologi, terutama konsep Geertz yang telah lari jauh dalam inter­pretasi. Geertz telah mendefinisikan agama sebagai sistem simbol yang berfungsi menciptakan suasana kuat, merasuk dan tahan lama serta memotivasi manusia dalam merumuskan konsep struktur kehidupan. Lukisan Geertz tentang bagaimana bagi setiap individu dan bagi suatu generasi, berarti mengarahkan bahwa peneliti budaya simbolik kurang memperhatikan relativisme kebudayaan serta sama sekali tidak melihat dampak politik budaya sebagai ideologi. Pendek kata, budaya lalu harus diatur secara historis, dilihat dalam kerangka teoritis yang menguji perwujudannya di dalam struktur ekonomi, politik, dan sosial.
Tafsir kebudayaan, menurut Keesing juga akan menghadapi tantangan dalam `penerjemahan’ (translation). Masalah ini akan terkait langsung tentang bagaimana teks itu harus disajikan. Terutama, jika kita (baca: peneliti budaya) bukan pengguna bahasa asli. Sebagai contoh, ketika PM Laksono meneliti orang Key dalam disertasinya, pernah diprotes keras (dalam majalah Femina) oleh orang Key sendiri, karena dianggap keliru dalam menerjemahkan kata-kata tertentu. Agak berbeda memang dengan kegigihan Geertz, Husken, Wouden, yang mencoba memahami Indonesia dengan cermat belajar bahasa lokal.
Peneliti budaya interpretif seringkali juga akan `mengagungkan’ intrepretasinya berdasarkan persepsi profesionalnya, kepentingannya, dengan metode ilmiah, dan tidak sedikit yang sampai pada arogansi tafsir. Hasil kerja tafsir peneliti budaya simbolik, Johnson dan Lakoff tampak bahwa sistematika kerjanya sangat konvensional dan tidak ke arah kreativitas. Kedua ahli ini dalam memahami struktur metafor mengandalkan apa yang telah `meresap’ dalam pikirannya, dan bukan pada pembuktian. Sebagai misal, kalau kita memperhatikan istilah liget yang menyebabkan suku IIongot terbunuh, justru timbul pertanyaan – jenis wacana apa istilah itu diterapkan. Mengapa orang Ilongot melihat liget dalam konteks orang yang bekerja keras. Mengapa mereka memuji “marah” (liget) ketika terlihat dalam tarian lemah? Mengapa mereka memunculkan gambaran liget terpusat pada gambaran magis sebelum mereka memanen padi? Figur ucapan semacam ini, tidak perlu diuraikan dalam struktur, lebih baik untuk menunjuk makna harafiah dan diletakkan pada wacana kehidupan mereka. Keesing setuju akan gambaran penafsiran makna Johnson dan Lakoff, manakala metafor konvensional itu dikaitkan dengan pengala­man, jika tidak memang berbahaya.
Persoalan lain akan timbul, ketika terjadi penafsiran mana bagi agama Oceania. Mana ditafsirkan sebagai kekuatan spiritual dan sakral. Namun, ketika dilihat teks aslinya, ternyata mana sebagai energi spiritual nampaknya sebuah ciptaan orang Eropa, bukan pendu­duk kepulauan Pasifik itu sendiri. Pendek kata, usaha penafsiran yang pernah dilakukan Rosaldo untuk menafsirkan makna orang lain lewat bahan pembicaraan sehari-hari, tetap diragukan prosesnya oleh Keesing. Dalam tahap ini, yang diragukan adalah lagi-lagi persoalan kerangka tafsir. Kerangka ini tidak lain adalah metodologi.
Lemparan Keesing yang kritis, memang cukup menyuguhkan fenomena dialog yang berarti. Di antara para ahli antropogi pun, pro kontra terhadap pendapat Keesing, tak terelakkan. Kendati sebagian besar dari bantahan mereka, juga mengiyakan asumsi Keesing, namun keberatan pun tetap muncul. Malcolm Crick, mempermasalahkan bibliografi Keesing dalam pembahasan kurang lengkap. Karena itu ia meragukan akan pijar-pijar kritik Keesing. Kendati Keesing telah menunjukkan bahwa ulasannya tidak ke arah ulasan kepustakaan. Saya juga merasakan bahwa Keesing justru yang paling `parah’ kurang menunjukkan ragam etnografi yang interpretif tetapi juga sarat dengan rujukan metodologis.
Ini juga senada dengan LG. Oosten, yang menyatakan bahwa ketika Keesing menyebut-sebut kemiripan pendekatan Geertz dengan Levi-Strauss, tanpa ada penjelasan lebih jauh. Keesing tidak menunjukkan lebih banyak etnografi yang dia kehendaki. Kalau dia berbicara hanya dalam tataran konsep, berarti kurang eskplisit. Mestinya, dia sudah berani menunjukkan etnografi yang lain, selain penelitian dia sendiri terhadap suku Kwaio itu.
Barbara Frankel, juga setuju dengan Keesing, yaitu tafsir kebu­dayaan kurang jelas dalam memanfaatkan `pendekatan cermin’. Arti­nya, kubu mereka sering mengabaikan kenyataan sosial, seperti kekuasaan yang seringkali mendominasi makna budaya. Pendapat ini menganggap bahwa realitas adalah `guru besar’ dalam pemahaman budaya. Hal ini juga diakui Keesing, karena tugas peneliti budaya tidak berhenti pada penafsiran saja, melainkan perlu menghargai relativisme budaya.
Senada dengan ini, rupanya Jonathan Friedman juga meragukan obyektivitas tafsir kebudayaan. Menjawab hal ini, Keesing mengu­sulkan agar dalam penafsiran memperhatikan pula konteks sejarah. Lebih jauh lagi, Elvin Hatch, mau menyetujui tafsir kebudayaan, asalkan mampu merujuk pada penemuan dan peniruan. Konsep pene­muan, lagi-lagi adalah persoalan obyektivitas metodologi, sedangkan tiruan adalah merujuk pada realitas budaya dalam komunikasi. Maksudnya, tafsir kebudayaan, mestinya tidak hanya berhenti (terpu­sat) pada makna budaya saja, melainkan harus sampai malrna politik dan ekonomi. Karena itu, manakala peneliti budaya simbolik menga­baikan lokasi, ruang, aksi, dan menganggap
dirinya otonom, ini adalah titik kelemahannya.
Dari dialog itu, ternyata peneliti budaya interpretatif yang dipelopori Geertz, dengan hormat, harus mengakui kelemahannya. Kalau dulu Geertz `ngobrak-abrik’ tesis Goodenugh tentang fenome­nologi, sekarang ia harus mulai merenungkan lagi kehebatannya. Hal ini berarti bahwa dalam penelitian budaya, tak ada frame yang `paling super’. Pendekatan Geertz, bukanlah `panglima’ yang harus dinomor­satukan. Tak harus `dipuji’ tetapi perlu `diuji’ terus-menerus. Perlu dicamkan komentar Jerome Rcesseou, bahwa budaya itu adalah persoalan konstruksi metodologi, terkait dengan aktivitas seseorang. Kendati di dalam budaya ada sistem ekonomi, bahasa, taksonomi hewan dan lain-lain, sistem ini tidak bisa diduga sebelumnya, lalu mengapa seorang peneliti budaya sering membuat hepotesa budaya. Kalau budaya adalah teks, bukankah teks akan bervariasi demikian pula interpretasi.
Akhimya Keesing secara tegas menyatakan, dengan mengutip kata-kata estetis Berman (yang berasal dari Marx): kalau kita mau jadi peneliti budaya interpretif, hendaknya datang sebelum semua “benda padat mencair”. Dengan bahasa yang sederhana, Rik Pinxten
menyatakan (mengutip Keesing lagi) bahwa persoalan informan sering terabaikan dalam tafsir kebudayaan. Artinya, pengetahuan informan sering berbeda, sehingga pemahaman teks pun berbeda pula. Karena itu, diusulkan agar etnografi merupakan hasil proses dua arah; yakni etnografer boleh saja memiliki selera namun harus tetap dikontrol oleh informan. Keinginan Pinxten inilah yang dalam bahasa penelitian sering disebut dengan `triangulasi’ data.
Untuk menghindari `perdebatan’ yang panjang, yang mungkin sulit terselesaikan, perlu disadari hakikat kehadiran pendekatan inter­pretif sendiri. Peneliti budaya sebagai teks, tidak untuk mencari gene­ralisasi yang valid dan bersifat universal atau pun untuk memahami struktur logika yang ada di balik fenomena sosial budaya, tetapi lebih untuk memperoleh pemahaman. Asumsi terpenting pendekatan ini adalah bahwa manusia merupakan makhluk simbolik, makhluk yang menggunakan dan mengembangkan simbol-simbol untuk berkomuni­kasi. Bahkan menurut Geertz, manusia terjerat pada jaringan makna. Jaringan yang menjerat atau merajut ini adalah “kebudayaan”. Pendek kata, kebudayaan tidak untuk dijelaskan keberadaannya, melainkan untuk dipahami maknanya.
Terlebih lagi, kalau Todorov (1983:156-157) menyatakan bah­wa malrna itu ada dalam proses penafsiran yang terintegrasi, mengapa harus dipermasalahkan dengan `kerut dahi’? Kalau interpretasi itu mampu mengkombinasikan unsur-unsur, tidakkah `tarik tambang’ pendekatan yang sifatnya epistemologis-teknis itu bisa diakhiri. Akhirnya, kita tetap akan bisa melukiskan budaya – yang tajam dan terpercaya (adopsi istilah penyiar Liputan 6 SCTV).
Manakala kita belum puas, memang tidak berlebihan jika mene­ngok ulasan Strathern yang telah mengalir ke arah postmodernisme. Kalau toh Keesing masih terlalu ngotot dengan `rujukan’ dalam tafsir kebudayaan, sementara hal itu kecil kemungkinannya, Strathern menawarkan arahan baru – yalrni postmodernisme yang lebih bebas rujukan dan juga makna. Etnografi potmodernisme yang dipelopori Tyler, merupakan teks yang disusun bersama pembaca dan penulis. Claim penting dari aliran ini, menurut Strathern adalah adanya makna budaya yang hidup dalam penyusunan kembali konstan dalam arus
gambaran dan kesamaan, tetapi tidak bisa langsung disampaikan dari pikiran ke pikiran, tetapi hanya diuraikan, digambarkan dan diumpa­makan.
Kalau begitu, saran Keesing dalam artikel lain, yang berjudul “Toward a Model of Role Analysis”, bukanlah keharusan dan bukan wajib – hanya altematif dari sekian pilihan saja. Maksudnya, jika dalam artikel ini, Keesing (1973:436) memberikan contoh untuk me­nganalisis `peran ayah’ pada suku Kwaio, observasi, analisis “etnos­cience”, dan validitas psikologis – tidak akan menyelesaikan seluruh kerapuhan pendekatan interpretif.
4. Lebih Indah dari Warna Asli
Keberatan lain yang muncul adalah bahwa kajian-kajian kebudayaan oleh para ahli peneliti budaya interpretif kemudian akan menjadi karya-karya “yang lebih indah daripada warna aslinya”. Bahkan yang lebih ekstrem karya-karya tersebut akan menjadi “fiktif’. Benar tidaknya hal ini, perlu mencermati, antara lain karya inter-’ pretatif Geertz (1971:1-37) yang cukup `menggegerkan’ yalani ketika membahas “Deep Play: Note on the Balinese Cockfight”. Begitu pula perlu melihat perkembangan , baru peneliti budaya yang sangat terpengaruh oleh dunia sastra.
Tafsir budaya Geertz, tentang Sabung Ayam akan terlintas pada sebuah komunitas kecil di Bali, yaitu tentang dunia permainan (baca: perjudian) yang diminati oleh orang Bali. Di balik semua itu, Geertz dengan mengutip Bentham, menyebut `permainan mendalam’, di dalam permainan itu memang terkandung dramatisasi keprihatinan status sosial di Bali sebagai sebuah perjuangan hidup yang harus dipertaruhkan. Yang menarik dari Geertz, terutama simpulan bahwa Bali adalah negara sandiwara, yakni bukan struktur kekuasaan melainkan struktur upacara. Seluruh perpajakan, kelabilan berdarah, negara berpenduduk padat, kontrol ekonomi oleh padagang Cina, semua ini hanya merupakan penjabaran seni pada teks menarik yang merupakan perubahan sosial di Bali. Pandangan ini pada akhirnya mengarah pada pandangan pengorbanan menusia Aztec sebagai ibadah agama, kehidupan sebagai perpaduan makna.
Ketika saya menanyakan langsung dalam berbagai kesempatan kepada orang Bali (saudara Putu Sudarma, Pande Made K.N., Ketut Sunarya, dan Ni Nyoman Seriati), masing-masing menyatakan bahwa Geertz terlalu `licin’ dan estetis dalam menafsirkannya. Keberadaan aslinya memang sangat sederhana, namun ketika menjadi teks Geertz­an, ceriteranya, gayanya menjadi lain. Dari keunggulan `fiktif Geertz, sangat mungkin bila orang Bali itu justru `terkejut’ dan sebaliknya merasa harus belajar juga dalam memaknai budaya miliknya.
Hal semacam itu memang ada aspek negatif dan positifnya. Aspek negatif, akan timbul manakala ada pemilik budaya bersikap kolot yang kadang-kadang memusuhi tafsiran etnografer. Pemilik budaya seringkali menganggap etnografer telah memanipulasi budaya. Mungkin, pada taraf yang lebih kasar lagi, pemilik budaya akan merasa tersesat atas tafsiran etnografer. Bagi peneliti luar, mungkin, akan nggebyah uyah terhadap `agama Jawa’ yang diungkapkan Geertz itu. Ini berarti bahwa karya Geertz tidak bisa berlaku kolektif di seluruh Jawa. Sebaliknya, aspek positif juga diakui oleh Paul Stange atas jasa Geertz, bahwa Muhammadiyah di Pare ternyata akan lebih maju ketika membaca karya Geertz. Orang Jawa, di luar Pare pun, mungkin akan angkat topi terhadap kebesaran Geertz atas Abangan, Santri dan Priyayi – sedikitnya mereka lalu bisa mengaca bahwa ada aroma budaya dalarn masyarakat Jawa yang masih tetap eksis.
Memang, disadari atau tidak, peneliti budaya sebagai teks yang sering lebih indah dari aslinya – tidak akan lepas dari imajinasi etnografer. Terlebih lagi, jika etnografer juga seorang penulis, atau bahkan seorang sastrawan, besar kemungkinan bahwa karyanya akan menjadi lebih estetik. Di satu sisi, etnografi semacam ini memang membingkai, mendekorasi, dan membungkus-kadokan budaya, sehingga budaya lebih enak dibaca – lebih mudah terpahami – di sisi lain memang sering dianggap kurang valid. Apapun akibatnya, kita sebenarnya sulit bisa menolak kalau menengok sejarah peneliti budaya, khususnya peneliti budaya yang telah terimbasi wacana sastra. Dalam kaitan ini, Geertz (1988:27) pun dengan tegas meman­dang Tristes Tropiques karya Levi-Strauss (dhedhengkot strukturalis)
– dikatakan sebagai text-building strategies. Alasannya, Levi-Strauss adalah seorang “author-writer”.
Berdasarkan argumen itu, memang tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa karya-karya Levi-Strauss mempunyai nilai sastra. Bahkan Colby dan Pecock (1973:613-632) sempat melirik bahwa Levi-Strauss juga terpengaruh Morpology of Folktale dari Propp – terutama tesis Propp yang strukturalis juga, yakni: “the description of the folktale according to its component parts and the relationship of these components to each other and to the whole”. Hal ini sekaligus mempertegas bahwa strukturalis juga dekat dengan struktur sastra, terutama kajian folklor (mitos). Kedekatan ini, jelas akan membuat `lipstik’ dalam penulisan dan penelitian etnografi.
Permasalahan yang segera hadir, dari etnografi “fiktif’, imaji­natif, fantastik, atau sejenisnya, memang tidak sesederhana dari yang kita bayangkan. Sebab, muara dari semua itu akan mempengaruhi metode penelitian dan penulisan etnografinya. Tentu saja, yang harus segera disiapkan adalah nalar dan pikiran kita yang sering `menolak’ hal-hal (etnografi) fiktif itu. Mungkin juga akan lahir komentar yang kurang akademis – etnografi estetik yang bernuansa sastra tidak ilmiah. Kendati mungkin ada sebagian yang senang (termasuk saya) dengan model literer itu. Paling tidak, kita tidak akan terbelenggu oleh fanatisme pada salah satu genre etnografi. Pikiran menjadi bebas, tidak kaku, kering, terpaku, dan tetap terkendali.
Tidakkah etnografi termaksud justru menjadi benih lahirnya `bayi’ baru peneliti budaya yang berlebel postmodernisme? Jika embrio potmomodern itu telah mengalami cercaan, cibiran, kritik tajam, komentar pedas – bukankah `bayi’ itu lebih terlatih dan tidak `prematur’ lagi? Mengapa, sekali lagi, `mengapa’ justru sering para ahli yang sudah mapan kurang menghargai jerih payah, kurang mengangguk dengan kebaruan? Padahal inovasi . itulah yang akan meloloskan etnografi orisinil?
Mau tidak mau, etnografi “fiktif” tadi pada gilirannya akan melahirkan peneliti budaya postmodernisme atau high-rnodernisme (istilah Ahimsa-Putra). Dalam tataran ini, batas-batas antara karya etnografi dengan karya fiksi, bahkan surrealis pun, bisa kurang jelas.
Batas ini pun tidak harus diperdebatkan, kendati tetap boleh dikritik. Hanya saja, bingkai kritik yang digunakan harus tetap menggunakan frame baru juga, misalkan kritik surealis. Hal ini mengingat obyek kritik itu sendiri (kebudayaan), menurut dia merupakan bangunan yang “flexible construction”.
Salah satu figur yang ke arah demikian adalah Clifford (1988:117-151) yang khusus membahas etnografi surrealis. Singkat­nya, dari buku yang didahului dengan pernyataan puistis itu, ia
menegaskan bahwa etnografi boleh memainkan imajinasi. Etnografi boleh bergaya sastra, dan bahkan bergaya seni. Tentu saja, seni yang tergolong upper-art, bukan sembarangan. Hal ini sejalan dengan uraian Andrew dan Strathern (1975:347-356), bahwa kehadiran estetika diijinkan dalam beretnografi. Estetika yang dimaksud, tidak harus berupa kata-kata, melainkan dapat berupa gambar, dekorasi, foto, drama (gerak), dan sebagainya.
5. Langkah Interpretasi
Apa pun resiko dan alasannya, analisis budaya interpretif sebenarnya tetap mendapat tempat tersendiri. Analsis interpretasi justru akan mampu mengungkap makna di balik fenomena real dan abstrak. Bahkan, menurut mereka hampir tidak ada penelitian mana pun yang sebenarnya menolak kehadiran penafsiran. Karena, tanpa penafsiran sedikit pun sesungguhnya penelitian itu tersebut menjadi berkadar lemah. Paling tidak, peneliti tidak akan memahami apa yang hakiki dari fenomena yang tampak.
Hal tersebut juga didasari proposisi bahwa setiap gerak yang terpantul pada fenomena budaya penuh dengan simbol. Simbol hanya akan bermakna ketika ditafsirkan. Memang, penafsiran ini bisa hadir dari peneliti maupun orang yang diteliti. Jika hadir dari peneliti, berarti mengandalkan kekuatan teori yang bersifat positivisme, dan bila penafsiran mengandalkan pada pemilik budaya berarti mengandalkan sifat naturalistik. Kedua cabang penafsiran ini, sama­sama kuat dan bisa dibenarkan. Namun demikian, sebagian besar penafsiran yang dipandang bagus manakala hadir dari si pemilik
budaya.
Dalam kaitan itu, Turner (1967:20) memberikan rambu-rambu agar penafsiran simbol budaya selalu dikaitkan dengan faktor-faktor lain, seperti tindakan sosial. Misalkan saja apabila peneliti kebetulan meneliti simbol ritual, pemahaman dan penafsiran dapat dilakukan melalui pengkategorian data menjadi tiga kelompok, yaitu: (a) bentuk eksternal dan karakteristik dari hal-hal yang dapat diamati, (b) penaf­siran yang diberikan oleh orang ahli dan orang awam, (c) signifikansi konteks yang biasanya dikerjakan oleh orang-orang di luar antropolog.
Dari tiga hal tersebut, tampak bahwa penafsiran simbol budaya membutuhkan kecermatan data. Pengolahan data perlu memperha­tikan pengamatan yang serius terhadap fenomena. Peneliti perlu menggali penafsiran dia para ahli dan orang awam. Para ahli dari keduanya tentu memiliki implikasi yang berbeda. Keduanya saling melengkapi dalam penafsiran dan tidak boleh dipandang remeh satu sama lain. Lebih penting lagi dalam penafsiran diperlukan konteks. Penafsiran kadang-kadang juga membutuhkan inferensi. Pengambilan inferensi perlu memperhatikan aspek-aspek relativitas deep level makna. Tingkat kedalaman makna akan berhubungan dengan nilai-­nilai simbol itu sendiri: Dalam hal ini peneliti diharapkan mampu masuk ke dalam rongga-rongga fenomena budaya. Penafsiran budaya menurut Ricoeur (Dillistone, 2002:130) harus melampui makna harafiah.
Rambu-rambu yang biasa ditempuh oleh pengkaji budaya secara hermeneutik adalah seperti ditekankan Gadamer (Sugiharto, 2001: 31 dan 82) adalah konsep “pemahaman”. Pemahaman berarti membuat interpretasi terhadap gejala. Tugas penafsir budaya adalah menjelaskan persoalan mengerti, yaitu dengan cara menyelidiki setiap detail proses interpretasi. Interpretasi adalah sensus non est inferendus sed efferendus, artinya malrna bukanlah diambil dari kesimpulan melainkan harus diturunkan bersifat instruktif. Jadi seorang penafsir tak boleh pasif, melainkan harus merekonstruksi makna. Langkah yang perlu ditempuh dalam interpretasi meliputi empat hal sebagai berikut:
(1) bildung, artinya identik dengan culture. Hal ini merupakan
cerminan budaya individual yang dibentuk oleh lingkungan, sejarah, dan bebas dari hal-hal yang kasuistik. Bildung juga ber­kaitan dengan fenomena budaya yang merekam keindahan, bermoral, dan beradab. Kesempurnaan dari penafsiran akan ter­kait dengan hal-hal yang berguna bagi pendukungnya.
(2) sensus communis, yaitu refleksi kebijaksanaan seseorang, kearif­an hati, dan kemanusiaan. Ini merupakan tampilan budaya indivi­du, bukan kolektif, yang patut dipertimbangkan.
(3) practical reason, artinya pertimbangan moral terhadap penafsiran kebudayaan. Makna yang bagus mustinya akan mempertim­bangkan kaidah-kaidah moral yang berguna bagi pemilik kebuda­yaan.
(4) taste, yaitu peneliti mampu menemukan makna budaya sampai ke tingkat selera masing-masing individual. Selera masing-masing individu sering berbeda, sehingga memerlukan pemahaman yang mendalam.
C. ETNOSAINS DAN ETNOMETODOLOGI
Etnosains dan etnometodologi adalah dua model kajian budaya yang tergolong modern. Keduanya dapat dimanfaatkan oleh peneliti budaya. Etnometodologi sebenarnya banyak diterapkan pada ilmu sosial. Namun, dalam budaya pun kiranya boleh menggunakan model penelitian ini. Etnometodologi dipelopori oleh Harold Garfinkel (Muhadjir, 2000:129). Model penelitian ini merupakan cara pandang kajian sosial budaya masyarakat sebagaimana adanya. Jadi, dasar filosofi model penelitian semacam ini juga fenomenologi.
Model ini menitikberatkan bagaimana pendukung budaya memandang, menjelaskan, dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Peneliti akan mengungkap bagaimana seorang individu maupun kelompok memahami kehidupannya. Subjek penelitian tak harus masyarakat terasing, melainkan masyarakat yang ada di sekitar kita. Bagaimana orang atau suatu kelompok memandang budayanya, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka
hidup. Common sence menjadi modal penting dalam model ini. Common sence akan dilihat di lapangan penelitian. Realita menjadi suatu hal yang sangat penting bagi model ini.
Dengan kata lain, etnometodologi lebih banyak untuk mengung­kap budaya dalam konteks interaksi sosial. Dalam hal ini, bahasa sebagai medium interaksi pun perlu diperhatikan sungguh-sungguh. Tiap-tiap pemilik budaya biasanya memiliki bahasa khas sebagai medium interaksi sosial. Etnometodologi termasuk kajian yang berbau postpositivistik. Paradigma yang dibangun oleh paham ini senada dengan etnosains yang berusaha mendeskripsikan budaya, tradisi, keyakinan, masyarakat itu sendiri. Kesadaran pemilik budaya tentang miliknya menjadi pangkal tolak etnosains.
Etnosains adalah salah satu teori penelitian budaya yang relatif baru. Kata etnosains berasal dari kata Yunani ethnos yang berarti bangsa, dan Latin scientia artinya pengetahuan. Maksudnya, etnosains adalah pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas budaya. Etnosains merupakan ilmu yang mempelajari atau mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-tipe kognitif budaya tertentu. Tekanannya adalah pada pengetahuan asli dan khas suatu komunitas budaya.
Menurut Haviland (1985:13) etnosains adalah cabang pengka­jian budaya yang berusaha memahami bagaimana pribumi memahami alam mereka. Pribumi biasanya memiliki ideologi dan falsafah hidup yang mempengaruhi mereka mempertahankan hidup. Atas dasar ini, dapat dinyatakan bahwa etnosains merupakan salah satu bentuk etnografi baru (the new ethnography). Etnosains sering disejajarkan dengan etnometodologi. Hanya saja, etnometodologi lebih banyak digunakan pada penelitian sosial, sedangkan bidang budaya cenderung ke arah etnosains. Keduanya memiliki akar dan arah yang kurang lebih sama, yaitu menekan penelitian budaya dari subjek.
Melalui etnosains, sebenarnya peneliti budaya justru akan mampu membangun teori yang grass root dan tidak harus mengadopsi teori budaya barat yang belum tentu relevan. Penelitian etnosains terhadap fenomena budaya selalu berbasis etno dan atau folk. Pangkal kajian selalu berpusar pada pemilik budaya.
Kajian etnosains, tidak lagi memandang budaya dari aspek
peneliti, melainkan berlandaskan pengalaman empiris. Budaya diangkat berdasarkan pendapat dari pemilik budaya, tanpa campur tangan peneliti yang berarti. Peneliti tidak bermaksud menilai atau mengeklaim apakah pandangan mereka benar atau keliru, tepat atau tidak tepat, dan seterusnya. Tugas peneliti lebih ke arah menjelaskan kepada publik tentang pandangan-pandangan mereka. Peneliti bertu­gas mensistematiskan pandangan mereka ke dalam bentuk laporan hasil penelitian.
Kehadiran etnosains, menurut Ahimsa-Putra (1985:104) me­mang akan memberi angin segar pada penelitian budaya. Meskipun hal demikian bukan hal yang baru, karena sebelumnya telah mengenal verstehen (pemahaman), namun tetap memberi wajah baru bagi penelitian budaya. Oleh karena, memang banyak peneliti budaya yang secara sistematis memanfaatkan kajian etnosains.
Memang belum ada kesamaan pendapat mengenai istilah etno­sains dikalangan peneliti budaya. Istilah ini ada yang menyebut cog­nitif anthropology, ethnographic semantics, dan descriptive semantics. Berbagai istilah ini muncul karena masing-masing ahli memberikan penekanan berbeda, namun hakikatnya adalah ingin mencari tingkat ilmiah kajian budaya. Tingkat ilmiah tersebut dirunut melalui model klasifikasi data yang akurat. Dasar klasifikasi juga menurut pandangan pemilik budaya. Jadi, penelitian ini cenderung ke arah pendekatan naturalistik budaya.
Peneliti etnosains sangat menghargai ilmu pengetahuan yang diberikan oleh native speaker. Native speaker kemungkinan akan mengungkapkan bahasa asli dan keyakinan asli dengan sejumlah ilmunya, itulah yang diangkat oleh peneliti. Peneliti tinggal mengkla­sifikasikannya. Dengan demikian, andaikata ada makna sebuah buda­ya, adalah makna yang diberikan atau ditemukan di lapangan.
Pengumpulan data juga tidak berbeda dengan penelitian etno­grafi, menggunakan pengamatan dan wawancara. Setelah data terkumpul, pengklasifikasian atau kategorisasi dapat dilakukan oleh peneliti. Kategorisasi tersebut sebaiknya ditunjukkan kepada infor­man, dan kalau mungkin informan boleh ikut mengklasifikasikan sendiri. Justru klasifikasi informan ini yang lebih asli, dibanding peneliti.