A. STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS
1. Antara “Science” dan “Humanistis”
Kehadiran strukturalisme, di samping
membuka cakrawala dari kegelapan sistem, memang banyak mengundang
kontroversial. Tidak sedikit kritik dilancarkan atas kecemerlangan ide
Levi-Strauss, kendati dia sendiri hanya meminjam disiplin lain. Muara kritik
itu, cukup menggoda dan menggoyang strukturalisme – ketika telah menyudutkan
dalam term: peneliti budaya struktural sepenuhnya “science” atau sepenuhnya
“humanistis”; atau “science” sekaligus “humanistis”. Cukup problematis memang
permasalahan ini, sebab semua klaim dari pernyataan ini memiliki alasan yang
sulit dipandang lemah.
Setelah mencermati beberapa literatur dan
bukti pun, pikiran saya terkadang masih goyah – artinya juga ikut terperosok
pada perbatasan. Karena itu, saya berusaha meyakinkan (diri saya sendiri),
dengan mencari tahu apa sebenarnya yang dikehendaki “science” dan “humanistis”.
Dari sini, pada akhirnya saya harus `pasrah’ dengan kenisbian bahwa peneliti
budaya struktural memang “science” sekaligus “humanistis”. Tidak lain dari
itu. Pasal saya, istilah “science” menurut Webster’s Collegiate Dictionary
berasal dari bahasa Latin scientia yang berarti “to know”. Selanjutnya,
Lastrucci (Pelto, 1970:22) memberikan kriteria “science” khususnya yang
menyangkut fenomeria dalam sastra (termasuk budaya tentunya): an objective,
logical, and systematic method of analysis of phenomena, deviced to permit the
accumulation of reliable knowledge”.
Dalam kaitan itu, bahasa memang memiliki
-kedudukan khusus dalam strukturalisme. Bahkan, Sapir (1973:147-150) mengakui
bahasa merupakan perangkat studi ilmiah dalam budaya. Hubungan pola-pola budaya
diekspresikan melalui bahasa. Bahasa merupakan `social reality’ dan bahasa
sekaligus juga sebagai `symbolic guide to culture’. Atas dasar ini, untuk
melihat setuju dan atau menolak terhadap pendekatan strukturalisme, apakah
“humanistis” dan atau “science” sepenuhnya, ataukah “science” sekaligus
“humanistis”, tidak akan bisa lepas dari apa dan siapa pencetusnya,
Levi-Strauss. Tokoh strukturalisme besar ini dalam hidupnya memang telah dibom
oleh sekian ragam pengetahuan. Karena beraneka pengetahuan, seperti filsafat,
seni, bahasa, budaya, politik, dan sebagainya, bukan tidak mungkin jika
wawasannya pun menjadi lebih luas dan dalam.
Keberagaman pengetahuan itu, sedikitnya
dipengaruhi oleh kontak dengan sejumlah ilmuwan. Levi-Strauss mendapatkan
inspirasi dari tiga sumber, yang disebut mistresses, yaitu geologi, Freud, dan
Marx. Dalam istilah lain, Bertens (1996:192) menyebut mistresses adalah “guru”.
Perkenalannya dengan geologi yang dimungkinkan menjadi ide-ide menarik adalah
ihwal the majestic meaning dan the master meaning. Dari sini, sangat mungkin
kalau Levi-Strauss yang nanti asyik dengan struktural, tetap akan melihat
meaning juga. Hasil perkenalan dengan Freud, memungkinkan dia memiliki kepekaan
dalam struktural yang disebut unconsciousness. Sedangkan dengan karya-karya
Marx, dia mampu menangkap bahwa tujuan ilmu sosial – seperti halnya fisika yang
ada di laboratorium – adalah membangun suatu model, mempelajari hakekat dan
sifat, serta berbagai reaksinya atas macam-macam kondisi yang dibentuk, untuk
kemudian menerapkan hasil observasi ini dalam penafsiran berbagai gejala
empiris.
Dari ketiga sumber inspirasi itu saja,
sebenarnya sulit beralasan jika bangunan strukturalisme itu hanya mengandalkan
“science” saja. Begitu pula, tidak selalu benar kalau dikatakan strukturalisme
itu mengabaikan empiris dan sifatnya `kering’. Pijakan ketiga sumber di atas,
mungkin akan lebih cemerlang dan lengkap (bukan puma), jika dikemukakan hal
yang senada, seperti ditunjukkan Cremers (1997:3545), bahwa Levi-Strauss
pernah:
(1) bergaul dengan seniman surrealis,
seperti A. Breton, yang amat berpengaruh pada saat menganalisis mitos, (2)
bergaul dengan peneliti budaya, seperti F. Boas yang memiliki “ketegasan
ilmiah”, sehingga mengilhami dalam hal memandang pengaruh lingkungan ekologis
terhadap proses perkembangan fisik, psikis, dan mental manusia, (3) kontak
dengan Durkheim dan M. Mauss, keduanya telah memberi inspirasi dalam menemukan
prinsip dan hukum pada tatanan yang tak kelihatan, maupun melatarbelakangi
aneka ragam gejala kompleks yang jelas kelihatan, (4) bergaul dengan Roman
Jakobson (penerus F. de Saussure) yang `mengajarinya’ dalam wawasan linguistik.
Rupa-rupanya, pergaulan yang ke (4)
itulah yang akan mengubah wawasan peneliti budaya Levi-Strauss. Jika pada
awalnya, dia masih meraba ke arah pengetehuan prarefleksi praktis dan spontan,
kini berubah menjadi metode analisis yang secara eksplisit dapat
dipertanggungjawabkan. Tentu saja, tidak berarti strukturalisme LeviStrauss
tercerabut dari akar humanistis, karena di samping wawasan no (4) yang menggoda
pikirannya, ia juga terpengaruh no (1), (2), dan (3) yang sangat “concern”
terhadap masalah kemanusiaan. LeviStrauss tetap beritikad dan berangkat dari
fenomena sosial budaya, karena itu suatu hal yang muskil jika strukturalisme
meninggalkan sisi humanistis. Di sini, produk ilmiah dari strukturalisme yang
memiliki obyektivitas ilmiah, tidak lalu meninggalkan pendirian sense of
humanisties.
Levi-Strauss mengacu (baca: analog) atau
mungkin mengadopsi teori linguistik struktural dari Ferdinand de Saussure.
Adopsi keilmuan ini tetap sah-sah saja, tanpa harus mengurangi orisinalitas.
Levi-Strauss memang berniat membangun
“the most humanistic science” atau “the most scientific humanistic”. Tentu
saja, hal ini merupakan upaya menjembatani peneliti budaya sebelumnya, terutama
hertneneutik atau tafsir kebudayaan yang dianggap kurarig “science”. Usahanya
dimaksudkan untuk memahami fenomena sosial budaya, melalui model-model yang
bersifat ekonomis tanpa kehilangan sifat generalnya. Sederhana, tetapi tetap
dapat memahami seluruh fenomena sosial budaya.
Paham strukturalisme Levi-Strauss, selain
terilhami de Saussure, juga terpengaruh Jakobson dan Troubetzkoy. Dalam
membahas mitos misalnya, Levi-Strauss menyatakan bahwa mitos pada dasarnya juga
mirip dengan bahasa. Jika dalam bahasa ada konsep la languge, yaitu keseluruhan
sistem tanda yang dimiliki kelompok orang yang menggunakan bahasa dan la parole
adalah perwujudan individual dari sistem tanda itu, yaitu tindak bicara konkrit
seorang individu yang pada saat tertentu menggunakan sistem tanda itu untuk
menyampaikan pesan kepada orang lain, ada aspek diaronik dan sinkronik,
paradigmatik dan sintagmatik yang di dalamnya ada relasi-relasi – dalam mitos
pun demikian juga. Aspek sinkronik adalah mitos yang diyakini sebagai peristiwa
masa lampau namun masih relevan untuk masa kini dan aspek diakronik adalah
mitos yang yang berasal dari masa lampau tetapi tetap ada sampai sekarang.
Itulah sebabnya, menurut Badcock
(1975:10-11) ditantang untuk menerapkan konsep linguistik Chomsky tentang deep
structure dan surface structure untuk memahami fenomena manusia dan
budayanya. Jika peneliti model Levi
Strauss mampu menjelaskan kedua hal itu, berarti akan cemerlang meniti
keberhasilan. Jika peneliti mampu mengungkap sampai hal-hal yang unconscious
maupun conscious tentu hebat. Berarti pula bahwa strukturalisme mampu menjawab
segala persoalan budaya yang selama,ini menjadi misteri.
Hal itu penting dikemukakan, karena
Levi-Strauss sendiri telah menyimpulkan bahwa suatu kegiatan intelektual tidak
mampu mencenninkan organisasi konkret masyarakat yang bersangkutan (Peaget,
1995:91). Karenanya muncul penolakan terhadap keunggulan atas intelektual
tersebut. Maka, kaum strukturalis akan mencari lebih dari itu, yakni menemukan
di balik hubungan-hubungan konret tersebut, akan menemukan struktur bawah sadar
dan “tidak sadar” melalui konstruksi deduktif abstrak. Abstrakisasi ini akan
membentuk sebuah sistem yang mampu mewadahi gejala fenomena budaya konkret.
Upaya ini telah menjadi obsesi dan tantangan kaum strukturalisme terus-menerus
sepanjang peradaban manusia.
Misalkan saja, kalau strukturalisme
Levi-Strauss mampu membongkar mitos masyarakat Jawa, seperti dijelaskan dalam
Babad
Tanah Jawa, ada mitos Nyi Loro Kidul yang
ternyata masih relevan dan juga masih berlaku sampai sekarang – tentu istimewa.
Relevansi mitos ini, misalnya dengan adanya labuhan Kraton Yogyakarta, akan
mendidik sikap berkorban dan mengingat jasa leluhur. Bukti bahwa mitos itu
masih ada, bisa dilihat di Parangkusuma, tempat bertemunya Panembahan Senapati
dengan Nyi Loro Kidul yang masih dipercaya sampai sekarang. Bahkan pada deretan
pantai selatan mitos itu sangat bervariasi, namun hakekatnya sama. Artinya, di
satu pihak tetap menggunakan sistem yang jelas, di lain pihak tetap
memperhatikan tindak bahasa. Tindak bahasa inilah wujud nyata dari komunikaksi
sosial budaya.
Fenomena budaya memiliki realitas yang
lebih dari kenyataan empiris. Fenomena yang sebenarnya adalah di balik
realitas, yaitu fenomena simbolik dan semiotik. Artinya, fenomena sosial budaya
itu selain bahasa juga terkandung fenomena yang dimaknai dan juga fenomena
komunikasi. Eksistensi ini, meneguhkan lagi bahwa strukturalisme tetap berada
pada jalur peneliti budaya “science sosial budaya”, maksudnya ilmu pengetahuan
yang ilmiah dan sekaligus manusiawi.
Hal ini juga telah diakui oleh Baal
(1988:139) bahwa apa yang dihasilkan Levi-Strauss merupakan pemikiran ilmiah
dan tetap manusiawi. Dalam hal ini, Baal memberikan contoh seorang insinyur
yang membuat rancangan struktur bangunan, namun pada saat yang sama ia juga
membayangkan suku cadang yang akan digunakan. Suku cadang yang memiliki nilai
kesejarahan dan arti khusus baginya itu, berarti bahwa struktur yang dihasilkan
mendapat perlakuan ukuran manusiawi, yang dapat dikatakan memiliki nilai
emosional dan menambah arti. Levi-Strauss tidak kalah pentingnya dalam menjelaskan
fenomena budaya jika dibanding dengan ilmuwan sosial yang berpaham
positivistik.
Levi-Strauss sendiri telah menjelaskan
panjang lebar tentang ‘ peneliti budaya struktural yang “science” dan sekaligus
“humanistis”. Kendati hal ini boleh dibantah, dalam buku pintarnya Structural
Anthrophology, ia telah membuktikannya. Pada bab II buku ini, tampak dia ingin
menajamkan perhatian kita bahwa paradigma linguistik, yang dikemukakan
Troubetzkoy (ada empat alasan dasar metodis) itu bisa diterapkan ke dalam
peneliti budaya. Dengan gaya mengritik Radcliff-Brown dan Malinowski yang telah
mengawali menganalisis kekerabatan, la mampu berbuat lain, seperti halnya telah
dikutip banyak ahli peneliti budaya yang sejalan, termasuk Bertens (1996:193194)
–
Levi-Strauss mampu mengandalkan analisis
struktural kekerabatan dan mitologi. Satu hal yang menarik direnungkan (oleh
yang ragu kehumanistisan), sistem oposisi berpasangan dalam kekerabatan
seperti “bapa-biyungjaki-nini, gedhana-gedhini” (contoh ini ditranformasikan ke
budaya Jawa), akan menyuguhkan komunikasi yang berbeda. Komunikasi ini
persoalan kemanusiaan, persoalan parole, dan bukan kzrzgue semata. Belum lagi
ihwal larangan incest (incest-taboo), seperti halnya larangan perkawinan “indogami”
dalam masyarakat Jawa cukup menghadirkan kultur tersendiri, seperti “aja nikah
karo sedulur misan”, aja nikah karo pring sedulur sedhapur”, dan sejumlah gugon
tuhon (larangan) lain yang termuat dalam Primbon. Hal semacam ini, tidak jauh
berbeda dengan pernyataan Maranda (1972:331) “The structural analysis of
kinship attempts to lay bare a mechanism and is thus both broader and narrower
than stric kinship analysis. It is dynamically related to politics and
economics, … “.
Larangan incest di atas, menurut
Levi-Strauss (Kuper, 1996:199-203) memang berlaku universal, kendati pada
setiap komunitas berbeda-beda namanya. Dari analisis larangan incest itu, LeviStrauss
telah membuktikan bahwa peneliti budaya stuktural memang “science” dan
“humanistis”. Maksudnya, di balik model-model yang tak disadari dari karya
Levi-Strauss itu, terdapat pemikiran manusia, dan tujuan akhirnya adalah
pengungkapan prinsip-prinsip universal mentalitas manusia. Karena itu, Bertens
(1996:230) setelah membandingkan kritik-kritik terhadap strukturalisme,
menyimpulkan: boleh saja strukturalisme dihargai sebagai metode, asalkan tidak
sebagai ideologi, tidak absolut, tetapi manusia harus “dileburkan”, sehingga
terbuka jalan humanisme yang realistis.
Levi-Strauss memang peneliti budaya struktural
yang mampu mengungkapkan sentuhan kemanusiaan yang memikat. Camkan, ketika ia
menjelaskan ihwal incest, di satu pihak larangan itu terdapat
di berbagai suku bangsa, sifatnya
natural. Di pihak lain, larangan itu ternyata berbeda-beda sehingga memiliki
sifat kultural. Jadi, `nilai’, `makna’ larangan incest adalah menciptakan
kehidupan masyarakat itu sendiri, sekaligus juga melahirkan kemanusiaan,
humanity yang berbeda dengan kebinatangan, animality. Pendek kata, Levi-Strauss
telah membawa angin baru dalam kajian peneliti budaya-budaya: yakni memuncul
epistemologi strukturalisme, yang membuat peneliti budaya lebih dekat dengan
bidang humaniora, dan menyempal dari tradisi yang selama ini banyak mendominasi
pemikiran para peneliti budaya, yaitu epistemologi positivisme.
Akan lebih tajam lagi, untuk meneropong
ihwal “science” dan “humanistik” dari peneliti budaya struktural, Levi-Strauss
membeberkan pada buku Structural Antrophology 2, khususnya Bab N. Pada bagian
ini ia memaparkan konsep humanisme dalam kajian etnologi. Dalam kaitan ini, ia
menegaskan bahwa humanisme tidak saja terdapat pada sifat-sifat masyarakat
terbelakang, melainkan juga terdapat pada masyarakat maju dan industrial. Untuk
memahami hal ini, paradigma struktural dari linguistik, dikatakan lebih
objektif-ilmiah.
Implementasi peneliti budaya struktural
yang “science” dan “humanistis” juga tampak pada sistem linguistik
“berpasangan” dan atau beroposisi, yang pada gilirannya melahirkan struktur
“tiga”, “lima” dan seterusnya. Struktur “empat” hampir jarang ditemukan,
kendati hal ini boleh ada. Adanya oposisi biner, seperti dalam konsep berpikir
orang Jawa, akan melahirkan pasangan: lair-batin, ala-becik, bener-luput,
begja-cilaka, tuna satak-bathi sanak, bapa-biyung, kaken-kaken-ninen-ninen,
mimi-mintuna, kawula-Gusti, bapa akasaibu pertiwi, dhalang-wayang, obah-mamah,
ana dina-ana upa, tamba teka-lara lunga, tega larane-ora tega patine, desa mawa
cara-negara mawa tata, diculke endhase-digondheli buntute, dan masih banyak
lagi. Kata-kata berpasangan itu, merupakan transformasi ideologi orang Jawa
yang dalam konsep linguistik dinamakan depth structure. Dalam struktur
kehidupan orang Jawa mengenal pola pikir: donya iki mung ana werna loro. Konsep
ini, dalam surface structure yaitu implementasinya melalui wacana pragmatik
bahasa Jawa dapat berupa segudang istilah.
2. Model Levi-Strauss
Laksono (1994) juga pernah mencoba
terapkan konsep struktural Levi-Strauss untuk memahami pandangan hidup orang
Jawa, yang intinya bahwa konsep hidup orang Jawa ada pada titik 0 (suwung).
Konsep ini ia temukan melalui pustaka ketika di Belanda, sehingga model
strukturalnya pun kuat dipengaruhi oleh Belanda.. Begitu pula De Jong
(1977:12-13) juga telah mencoba menerapkan konsep struktural Levi-Strauss untuk
melihat perhitungan perkawinan di Jawa, yakni melalui perhitungan: 1. Guru, 2.
Ratu, 3. Pandhita, 4. Wali, S. Setan. Angka S berada di tengah (menurut
perhitungan mancapat) dan dihitung dengan `hidupnya hari’).
Dalam buku Strukturalisme Levi Strauss;
Mitos dan Karya Sastra (2001). Ahimsa-Putra telah mencoba terapkan
strukturalisme Levi-Strauss ke dalam terhadap tiga karya Umar Kayam, yaitu Sri
Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi. Kendati Ahimsa-Putra berterus terang tidak
menjiplak mentah-mentah Levi-Strauss, namun, setidaknya dari analisis mitos
tersebut kita akan diyakinkan bahwa sfrukturalisme tetap “science” dan
“humanistis”. Dia, berhasil melihat lebih jauh bangunan klasifikaksi “dua” (PKI
dan bukan PKI) dan klasifikasi “tiga” yakni mendasarkan “sejarah kehidupan”
tokoh.
Dari -sini, tampak segi “science” dalam
strukturalisme, karena struktur segi tiga (tidak saya kutip gambarnya), telah
menjadi sarana “bingkai pemahaman” untuk menjelaskan “siapa yang harus” dan
“tidak harus” menjadi korban G 30 S PKI. Aspek humanistis, menurut hemat saya
adalah pada kemampuan Ahimsa-Putra untuk menafsirkan tataran `nirsadar’ nalar
Jawa dari struktur tadi. Menurutnya, struktur nalar orang Jawa menunjukkan
keteraturan, tatanan, dan pandangan yang harus tumata (tertata). Konsep ketertataan
ini, dalam pandangan orang Jawa terkandung tiga komponen, yaitu: kesatuan
(unity), kesinambungan (cotinuity), dan keselarasan (harmoni). Hal serupa pun,
sebenarnya telah diakui juga oleh Franz Magnis Suseno dan Sri Sultan
Hamengkubuwana X.
Jika demikian, bukankah hal itu sebuah
bukti bahwa strukturalisme itu bernuansa “science” dan sekaligus “humanistis”
yang patut dipertahankan? Ini bukti bahwa strukturalisme lebih demokrat,
kendati tidak harus nihil kritik. Dengan strukturalisme, Levi-Strauss (Cremers
dan Santo, 1995:16) telah dikagumi dan dihormati sebagai tokoh peneliti budaya
yang penting. Bahkan ia memiliki sembangan penting dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.
Hanya saja, Levi-Strauss sendiri lalu muak dengan istilah “struktural” yang ia
perjuangkan mati-matian itu, karena metode analisis ini diakui atau tidak
memang mudah goyah. Karena itu, sering bermunculan kritik-kritik sebagai
berikut:
Pertama, kecaman tajam yang begitu
menyakitkan, memang, adanya kritik metodologis bahwa strukturalisme Levi-Strauss
dituduh kurang atau belum memperlihatkan empiri secukupnya, bahkan ia dicap
bersifat anti empiri. la terlalu
memutlakkan satu tipe matematika (Bourbaki) dan satu tipe linguistik (Saussure
dan Jakobson) sebagai ilmu acuan untuk melakukan inovasi peneliti
budaya-budaya. Persoalannya, apakah bahasa dan fakta sosial boleh dipertalikan
demikian? Pandangannya bahwa struktur sosial tidak berhubungan dengan
kenyataan empiris, tetapi menunjuk pada “model-model yang disusun menurut acuan
“struktur”, mengandung berbagai pengertian dan perlu dipertanyakan.
Apakah analisis struktural hanya berhenti
pada analisis terhadap seluruh relasi formal dan logis dari sebuah sistem,
padahal ia kurang mempedulikan segala isi nyata dari pengalaman yang hidup
serta seluruh kenyataan semantis. Ternyata Levi-Strauss begitu senang dengan
prinsip resiprositas dan asyik mencari aturan-aturan formal tranformasi,
sehingga kurang sempat mendengarkan apa yang dikatakan oleh mitos itu sendiri.
Akibatnya, “hermeneutik” semantis diabaikan.
Jika seluruh hidup kemasyarakatan akhirnya dikembalikan pada permainan struktur
dan sistem paksaan mental yang anonim dan menentukan pola-pola hidup sosial,
maka peneliti budaya sosial akan kehilangan ciri manusiawinya, padahal peneliti
budaya justru ingin mempelajari gejala bentuk hidup kemasyarakatan asli.
Kedua, mempersoalkan keabsahan oposisi
tajam dari alam/kebudayaan apriori sebagai prinsip metodologis dasariah yang
meresapi seluruh karya Levi-Strauss. Oposisi alam/kebudayaan merupakan kerangka
pokok untuk memahami larangan inses dan cara-cara mempersiapkan terjadinya
peralihan dari yang satu ke yang lain. Apakah larangan inses dapat dimengerti
secara tuntas de ngan cara itu? Apakah larangan inses yang merupakan titik
silang antara alam (biologi) dan kebudayaan (sistem peraturan) itu betul-betul
merupakan peraturan universal?
Ketiga, tentang titik tolak filosofis
pikiran manusia. Benarkah dalam kodrat manusia ditemukan sejenis mekanisme
penyusunan yang berfungsi secara tidak sadar? Hal ini membawa kita pada masalah
filosofis mengenai pikiran dan akal budi manusia – yang dipandang sebagai
sebuah mesin kibernetis yang mengadakan kombinasi oposisi dan pada masalah
“ketidaksadaran struktural”. Benarkah strukturalisme mereduksi manusia menjadi
“cyberanthropos” (manusia mesin kibernetis) yang dikuasai dan ditentukan oleh
sebuah struktur, aturan berpikir dan bahasa yang pada dasarnya tidak berubah,
sehingga manusia sebagai subjek tidak berdaya sedangkan kebebasannya merupakan
khayalan belaka.
Keempat, metode strukturalisme juga
mengabaikan “sejarah’. la hanya asyik dengan sifat-sifat sinkronis struktur dan
meremehkan ciri diakronik.
Kelima, terdapat paradoks dalam
rasionalisme Levi-Struss. Apakah hasrat Levi-Strauss untuk memahami objeknya
secara tuntas merupakan ciri dari sejenis “hiper-rasionalisme” yang entah merupakan
sisa rasionalisme Cartesian (yang justru ingin dibantahnya) atau suatu bentuk
baru cara pengenalan mistiko-puistis yang agak “irasional” dan surealistis
berupa mitologi reflektif?
Menghadapi kritik tajam itu, Levi-Strauss
(Cremers dan Santo, 1995:55-70) menurut wawancara dengan majalah “Spiegel”,
berusaha membela diri. la berkilah
ketika dipojokkan pertanyaan wartawan, bahwa dirinya berpaling dari humanisme
dalam konsepsi strukturalismenya.
Kata Levi-Strauss: “Saya berpendapat
bahwa celaan tersebut didasarkan pada suatu kekeliruan ganda, yaitu kekeliruan
teoritis dan kekeliruan praktis. Kekeliruan teoritis adalah bahwa saya belum
pernah menyangkal siapa pun untuk mempelajari manusia pada tingkat penelitian
yang dipilihnya.
Namun, yang saya bantah adalah pendirian
yang disebut monopolistik itu, yakni manusia hanya dapat didefinisikan dan
dipelajari pada satu tingkat tunggal saja. Jika anda memandang suatu tetes air
dengan mata telanjang, Anda tidak akan melihat apa-apa. Namun jika anda
menempatkan setetes air itu di bawah sebuah mikroskop elektron yang
membesarkannya 50.000 kali, Anda akan melihat hal-hal yang berbeda sama sekali.
Demikian pula halnya dengan usaha
mempelajari manusia. Mereka yang menamakan dirinya humanis memandang manusia
menurut sudut pandang sama seperti orang memandang setetes air yang diperbesar
sedikit. Tampak sejumlah binatang kecil-sebagai makhluk individual yang memang
ada, saling memerangi dan saling mencintai. Namun, kita tahu bahwa ilmu hanya
ada karena kita telah mengerti bahwa sejumlah fenomena tidak bisa dipandang
dari satu tingkat saja,:… Namun dari segi praktis, akhirnya kita harus memberi
pertanggungjawaban tentang soal bahwa sikap humanistik yang absolut dan yang
meraja sejak zaman Renaisans, dan rupanya berasal dari agama-agama besar
Barat, membawa akibat yang sangat katastrofal. Selama beberapa abad humanisme
menyebabkan peperangan, permusuhan, kamp konsentrasi, dan pembasmian berbagai
jenis makhluk hidup. Kita mempermiskin alam. Sikap yang melebih-lebihkan itulah
yang mengancam manusia sendiri, yaitu sikap percaya bahwa dengan
sewenang-wenang ia dapat memiliki dan menguasai segala-galanya.”
Kritik lain juga mengalir dari peneliti
interpretif, yaktti Geertz (1980:101-119), dengan gaya estetis mencoba memberi
catatan LeviStrauss demikian:
“Apakah Levi-Strauss sedang menulis untuk
semua peneliti budaya di masa depan, sebagaimana ia tampaknya menyatakan itu
dalam halaman-halaman penting Pensee Sauvage? Ataukah dia, seperti intelegensia
neolitik tertentu yang tercerabut yang tercampak dalam sebuah cagar,
membongkar-bongkar peninggalan tradisi-tradisi kuno dalam sebuah usaha sia-sia
untuk menghidupkan kembali suatu kepercayaxh primitif yang keindahan moralnya
masih jelas namun yang darinya baik relevansi maupun kredibilitasnya sejak lama
telah sirna”.
Lagi-lagi, Ember dan Malvin Ember
(1996:66-67) juga mengritik, walaupun Levi-Strauss membukakan banyak pikiran
baru dan seringkali ditulis dengan gaya bahasa yang menarik, oleh banyak
orang dianggap menyajikan hal-hal yang
kabur dan tidak dapat diuji, suatu teori yang mengandung pemikiran intelektual
yang tidak mengundang pertanyaan dan kemampuannya untuk menjelaskan gejala
budaya hampir tidak ada.
Tentunya masih banyak lagi kritik-kritik terhadap
Levi-Strauss yang bermuara ke arah metodologis. Namun, setidaknya peneliti
budaya struktural telah mampu merangkul dua kutub yang sering berseberangan,
“science” dan “humanistis”. Ini jelas kelebihan yang tidak bisa diabaikan
begitu saja. Karena itu, layak jika Barthes (1970:413) menyatakan bahwa
strukturalisme sebagai “science” bisa dikatakan telah menemukan dirinya pada
setiap karya sastra. Pada tingkat bentuk-isi dan juga pada tingkat wacana. Pada
tingkat bentukisi telah menunjukkan logika dan pada tingkat wacana telah mampu
membuat klasifikasi budaya.
B. TAFSIR KEBUDAYAAN
1. Memandang.Budaya sebagai Teks
Sebenarnya, telah diakui Keesing (1999:5)
bahwa pemaknaan budaya akhir-akhir ini cenderung ke arah penafsiran. Penafsiran
budaya cenderung memandang fenomena budaya sebagai sebuah teks. Teks tersebut
dapat ditafsirkan sekehendak si peneliti. Oleh sebab itu, dalam banyak hal
pemahaman budaya justru dekat ke arah kemanusiaan dibanding ilmu alam. Dari
paham ini, belakangan muncul gerakan tafsir kebudayaan yang mulai dikembangkan
Geertz.
Tafsir kebudayaan merupakan langkah atau
penerapan model hermeneutik terhadap kebudayaan. Secara harafiah, hermeneutik
berarti “cara membaca” fenomena budaya. Namun, makna ini berkembang ke arah
pemahaman dan atau penafsiran terhadap budaya. Dalam kaitan ini, peneliti
budaya dituntut untuk membaca lebih jernih terhadap fenomena budaya yang
dihadapi.
Secara etimologis, hermeneutik berasal
dari bahasa Yunani “hermeneuein” yang berarti “menafsirkan” (Sumaryono,
1999:23).
prinsip hermeneutiknya, mulai goyah
dengan kritik dari ahli lain. Model interpretif yang mengarahkan perhatian untuk
mencari makna di balik teks secara lebih dalam, dalam istilah Bachelard, adalah
ingin menemukan `gema budaya’ dalam ritual, metafor, dan dalam makna kehidupan
setiap hari – mungkin seiring dengan istilah Spradley (1997:249) sebagai
pencarian `tema budaya’. Apa pun isitilahnya, ternyata mendapat serangan tajam,
antara lain dari Keesing. Bahkan juga oleh Clifford (Wadson, 1991:73) yang
mempertanyakan ihwal metodologis, terutama bagaimana etnografi interpretif itu
dibuat.
Keberatan Keesing atas pendekatan
interpretif memang cukup beralasan dan logis. Ketidaksetujuan dia, dimotori
oleh asumsi kritis bahwa pandangan budaya sebagai fenomena kolektif harus
ditunjukkan sebagai pandangan ilmu pengetahuan yang dikumpulkan dan
terkontrol. Artinya, apakah makna dari budaya itu harus terdistribusikan dan
atau sebagai ilmu pengetahuan memang tidak harus dimiliki bersama. Dalam
interpretasi, kita perlu bertanya siapa yang menyebarkan makna budaya dan untuk
tujuan apa. Kita tahu bahwa sering ada teks alternatif dan kita bisa membaca
kiasan budaya dari teks itu. Karena itu, jika kebudayaan simbolik memang
memiliki sumbangan besar, mampukah menunjukkan makna budaya yang terkait dengan
hidup manusia. Karena, sadar atau tidak, pemahaman sebuah wacana budaya, sering
tergantung oleh siapa. Kekuasaan, jelas seperti ditegaskan Keesing akan tetap
memberi makna budaya.
Menurut Denzin (1990:22) Geertz memang
tergolong pada tipe pure interpretation, artinya interpretasi yang bertujuan
untuk menemukan makna persoalan sosial budaya. Yakni, upaya memburu makna
melalui interaksi sosial. Berbeda dengan tipe kedua yaitu interpretive
evaluation, peneliti pesanan yang berusaha membuat kebijakan tertentu dan atau
ingin merekomendasikan sesuatu yang sifatnya pragmatik.
Berdasarkan hal itu, memang nalar jika
Keesing menyangsikan Geertz. Karena, menurutnya interpretasi itu memerlukan
bakat, letusan naluri, kecermatan dalam mengamati makna yang tersembunyi dari
teks. Padahal, iya atau tidak, memang hanya para ahli yang bisa membuat
perangkat hubungan sistem simbolis. Jika hal ini terabaikan, bisa jadi tafsir
kebudayaan akan mengalami kegagalan dan kandas. Disamping itu, tugas kita
sebagai peneliti budaya, tentu saja tidak hanya menafsirkan teks, namun ada
tugas lain di luar penafsiran itu sendiri. Karena itu, Keesing mengemukakan
tiga alasan dasar atas keberatannya terhadap hermeneutik (tafsir) sebagai
berikut:
Pertama, dalam masyarakat sekecil apapun,
pandangan liudaya sebagai fenomena kolektif, simbol, dan makna secara umum,
perlu didasarkan pada pengetahuan yang tersebar dan terkontrol. Perlu disadari,
bahwa dalam masyarakat yang tidak mengenal kelas sosial dan masyarakat sekecil
apapun, budaya sebagai “teks” akan berbeda antara yang ditulis pria dan wanita,
orang tua dan pemuda, ahli dan bukan ahli. Hal ini berarti peneliti budaya
interpretif jelas sama saja mengabaikan dan mengacaukan dinamika serta
dialektika pengetehauan.
Kedua, budaya bukanlah jaringan makna,
seperti halnya sistem malaia yang mengarahkan manusia dan dunia. Semua asumsi
demikian hanya ideologi, yang kadang-kadang mengabaikan realita politik dan
ekonomi yang telah dan mengitari budaya itu. Dalam masyarakat tanpa kelas pun,
ideologi budaya tetap ada perbedaan, di satu pihak ada yang setuju dan di lain
pihak ada yang tidak mengiyakan, bahkan sebagian yang lain lebih suka
mengambil keuntungan dari ideologi yang disahkan itu. Itulah sebabnya, jika
budaya dikatakan sebagai jaringan makna dan wacana batin, kita perlu bertanya
– siapa yang menciptakan makna budaya dan demi tujuan apa. Dari sini, memang
bisa diterima nalar jika Scholte lalu berkilah: “kita tidak bisa menetapkan
pria dan wanita jika hanya berdasarkan jaringan makna yang inheren di dalamnya,
melainkan, perlu dilihat dalam konteks sejarah, politik, dan ekonomi.” Pernyataan
ini, mungkin menghendaki bahwa dalam interpretasi perlu memperhatikan wacana
`kekuasaan’ dan `hegemoni’ budaya. Tidakkah mereka yang memegang peran, yang
memiliki tangan panj ang, sering memberikan warna dan makna budaya itu sendiri?
Ketiga, pada awalnya, tafsir kebudayaan
menjadi populer atas karya terbaru Lakoff dan Johnson tentang metafor
konvensional dan usaha Keesing sendiri dalam arkeologi hermeniutik, yakni
sebagai upaya memahami pembacaan teks dan kesalahannya tentang agama Oseania
dan ide-ide pribumi.
Menurut dia, ternyata wawasan budaya
sebagai teks, ritus, mitos, dan konsep suatu bangsa, pandangannya sangat kabur.
Oleh karena, diakui atau tidak, peneliti budaya sering memilih bacaan (teks)
yang menarik dan sesuai dengan “sense”-nya, dan lalu merasa bangga dengan
pilihan itu. Jika ini yang terjadi, subjektivitas budaya pun memang sulit
terhindarkan. Makna menjadi menurut siapa, dan mungkin akan lari pada ihwal
like dan dislike terhadap budaya tertentu.
Lebih tajam lagi, Keesing menegaskan,
manakala budaya adalah teks yang harus dibaca, bagaimana jika dibaca oleh
pemilik kebudayaan An sendiri. Apakah pemilik kebudayaan mengetahui konvensi
budaya yang berupa simbol-simbol ritual, metafor yang indah, jar’ingan hubungan
logika, dan sebagainya. Kalau begitu, apakah peneliti budaya hanya akan
terpahami oleh peneliti budaya sendiri, seperti Geertz, Schneider dan Orthner.
Alasan ini pun cukup pedas; karena Teeuw pernah mengungkapkan bahwa pemahamap
teks perlu mengetahui `kode’, antara lain `kode budaya, kode sastra, dan kode
bahasa’. Jika pemiliki budaya (yang berkeperttingan) ingin membaca teks budaya
Geertz tentang Abangan, Santri, dan, Priyayi, apakah tidak rumit jika tanpa
menguasai kode tertentu dan apakah tafsiran Geertz saat itu sekarang tidak mungkin
berubah seiring dengan perjalanan waktu?
Dengan tajam, Keesing menyontohkan budaya
suku Bin-in Kuskumin di Papua yang menyamakan makna ritual mereka yang rumit
dengan kacang yang diletakkan pada bawang. Begitu pula dengan penelitiannya
sendiri atas masyarakat suku Kwaio Malaitadi di Kepulauan Solomon, yang tidak
mempunyai kelas, tenaga ahli, hirarkhi politik, dan lain-lain, peradabannya
jauh lebih rendah dari suku Bimin. Menurut kedua suku ini, dalam memandang alam
kematian dan bumi sebagai simbol budaya memang tidak jauh berbeda. Setelah
mati, orang akan pergi ke alam kematian yaitu anogwa’u, yang lain mengatakan
bahwa orang mati akan menanti rekan-rekannya yang masih hidup dan terlibat
dalam kehidupan sosial masyarakat.
Namun,setelah 10 tahun terakhir, ketika
Keesing mewawancarai 50 orang Kwaio (pria-wanita, tua-muda, orang tahu-tidak
tahu), ternyata jawabannya beragam. Kesimpulan Keesing sepintas dapat diraba
bahwa budaya sebagai sistem makna bisa berubah. Rentang waktu sangat menentukan
apa dan bagaimana makna itu ada. Karena itu, patut dipertanyakan adanya asumsi
bahwa budaya memiliki makna bersama.
Contoh lain dari Keesing untuk meyakinkan
argumentasinya, adalah adanya konsep bumi atau tanah menurut suku Kwaio. Orang
Kwaio mengaku berasal dari tanah. Anehnya, warga Kwaio yang lain tidak begitu
memperhatikan simbol tanah itu dalam kehidupan seharihari. Hal ini berarti
akan menumbuhkan banyak makna tentang tanah itu. Kalau begitu, apa yang
dikemukakan Levi-Strauss, bahwa pikiran adalah sebagai penghubung jaringan
makna budaya apakah signifikan? Dari mana struktur budaya akan muncul jika
maknanya tidak selalu dianut, jika pelaku budaya itu sendiri memiliki
perspektif yang berbeda tentang pemahaman struktur budayanya. Di sinilah pergeseran
makna sangat mungkin terjadi dan pada suatu saat, prinsip relativitas budaya
yang dikembangkan oleh Amerika akan bisa diterima.
3. Masalah Terjemahan Teks
Akhirnya, Keesing berada di perbatasan
yang kurang jelas. Di satu pihak kurang setuju dengan tafsir kebudayaan dengan
sejumlah -kekurangannya, di lain pihak, ia ragu-ragu terhadap tafsir
kebudayaan. Keraguan itu, (1) tentang epistemologi, yakni, jika budaya hidup
dalam daya cipta yang muncul dan struktur kehidupan sosial terusmenerus,
apakah hasil etnografi simbolik tidak berbahaya. Apakah kumpulan budaya yang
dibuat peneliti budaya hanya potongan situasi? (2) pada saat Rosaldo (murid
Geertz) menerjemahkan pikiran umum dari dunia budaya orang lain melalui bahasa,
apakah mungkin karena budaya itu sendiri memiliki multi makna, (3) masalah
kehidupan sehari-hari yang ditafsirkan dan penyebaran pengetahuan yang dimaksud,
berlaku bagi kehidupan siapa?
Keesing juga sedikit keberatan dengan
adanya budaya sebagai ideologi, terutama konsep Geertz yang telah lari jauh
dalam interpretasi. Geertz telah mendefinisikan agama sebagai sistem simbol
yang berfungsi menciptakan suasana kuat, merasuk dan tahan lama serta
memotivasi manusia dalam merumuskan konsep struktur kehidupan. Lukisan Geertz
tentang bagaimana bagi setiap individu dan bagi suatu generasi, berarti
mengarahkan bahwa peneliti budaya simbolik kurang memperhatikan relativisme
kebudayaan serta sama sekali tidak melihat dampak politik budaya sebagai
ideologi. Pendek kata, budaya lalu harus diatur secara historis, dilihat dalam
kerangka teoritis yang menguji perwujudannya di dalam struktur ekonomi,
politik, dan sosial.
Tafsir kebudayaan, menurut Keesing juga
akan menghadapi tantangan dalam `penerjemahan’ (translation). Masalah ini akan
terkait langsung tentang bagaimana teks itu harus disajikan. Terutama, jika
kita (baca: peneliti budaya) bukan pengguna bahasa asli. Sebagai contoh, ketika
PM Laksono meneliti orang Key dalam disertasinya, pernah diprotes keras (dalam
majalah Femina) oleh orang Key sendiri, karena dianggap keliru dalam
menerjemahkan kata-kata tertentu. Agak berbeda memang dengan kegigihan Geertz,
Husken, Wouden, yang mencoba memahami Indonesia dengan cermat belajar bahasa
lokal.
Peneliti budaya interpretif seringkali
juga akan `mengagungkan’ intrepretasinya berdasarkan persepsi profesionalnya,
kepentingannya, dengan metode ilmiah, dan tidak sedikit yang sampai pada
arogansi tafsir. Hasil kerja tafsir peneliti budaya simbolik, Johnson dan
Lakoff tampak bahwa sistematika kerjanya sangat konvensional dan tidak ke arah
kreativitas. Kedua ahli ini dalam memahami struktur metafor mengandalkan apa
yang telah `meresap’ dalam pikirannya, dan bukan pada pembuktian. Sebagai
misal, kalau kita memperhatikan istilah liget yang menyebabkan suku IIongot
terbunuh, justru timbul pertanyaan – jenis wacana apa istilah itu diterapkan.
Mengapa orang Ilongot melihat liget dalam konteks orang yang bekerja keras.
Mengapa mereka memuji “marah” (liget) ketika terlihat dalam tarian lemah?
Mengapa mereka memunculkan gambaran liget terpusat pada gambaran magis sebelum
mereka memanen padi? Figur ucapan semacam ini, tidak perlu diuraikan dalam
struktur, lebih baik untuk menunjuk makna harafiah dan diletakkan pada wacana
kehidupan mereka. Keesing setuju akan gambaran penafsiran makna Johnson dan
Lakoff, manakala metafor konvensional itu dikaitkan dengan pengalaman, jika
tidak memang berbahaya.
Persoalan lain akan timbul, ketika
terjadi penafsiran mana bagi agama Oceania. Mana ditafsirkan sebagai kekuatan
spiritual dan sakral. Namun, ketika dilihat teks aslinya, ternyata mana sebagai
energi spiritual nampaknya sebuah ciptaan orang Eropa, bukan penduduk
kepulauan Pasifik itu sendiri. Pendek kata, usaha penafsiran yang pernah
dilakukan Rosaldo untuk menafsirkan makna orang lain lewat bahan pembicaraan
sehari-hari, tetap diragukan prosesnya oleh Keesing. Dalam tahap ini, yang
diragukan adalah lagi-lagi persoalan kerangka tafsir. Kerangka ini tidak lain
adalah metodologi.
Lemparan Keesing yang kritis, memang
cukup menyuguhkan fenomena dialog yang berarti. Di antara para ahli antropogi
pun, pro kontra terhadap pendapat Keesing, tak terelakkan. Kendati sebagian
besar dari bantahan mereka, juga mengiyakan asumsi Keesing, namun keberatan pun
tetap muncul. Malcolm Crick, mempermasalahkan bibliografi Keesing dalam
pembahasan kurang lengkap. Karena itu ia meragukan akan pijar-pijar kritik
Keesing. Kendati Keesing telah menunjukkan bahwa ulasannya tidak ke arah ulasan
kepustakaan. Saya juga merasakan bahwa Keesing justru yang paling `parah’
kurang menunjukkan ragam etnografi yang interpretif tetapi juga sarat dengan
rujukan metodologis.
Ini juga senada dengan LG. Oosten, yang
menyatakan bahwa ketika Keesing menyebut-sebut kemiripan pendekatan Geertz
dengan Levi-Strauss, tanpa ada penjelasan lebih jauh. Keesing tidak menunjukkan
lebih banyak etnografi yang dia kehendaki. Kalau dia berbicara hanya dalam
tataran konsep, berarti kurang eskplisit. Mestinya, dia sudah berani
menunjukkan etnografi yang lain, selain penelitian dia sendiri terhadap suku
Kwaio itu.
Barbara Frankel, juga setuju dengan
Keesing, yaitu tafsir kebudayaan kurang jelas dalam memanfaatkan `pendekatan
cermin’. Artinya, kubu mereka sering mengabaikan kenyataan sosial, seperti
kekuasaan yang seringkali mendominasi makna budaya. Pendapat ini menganggap
bahwa realitas adalah `guru besar’ dalam pemahaman budaya. Hal ini juga diakui
Keesing, karena tugas peneliti budaya tidak berhenti pada penafsiran saja,
melainkan perlu menghargai relativisme budaya.
Senada dengan ini, rupanya Jonathan
Friedman juga meragukan obyektivitas tafsir kebudayaan. Menjawab hal ini,
Keesing mengusulkan agar dalam penafsiran memperhatikan pula konteks sejarah.
Lebih jauh lagi, Elvin Hatch, mau menyetujui tafsir kebudayaan, asalkan mampu
merujuk pada penemuan dan peniruan. Konsep penemuan, lagi-lagi adalah
persoalan obyektivitas metodologi, sedangkan tiruan adalah merujuk pada
realitas budaya dalam komunikasi. Maksudnya, tafsir kebudayaan, mestinya tidak
hanya berhenti (terpusat) pada makna budaya saja, melainkan harus sampai
malrna politik dan ekonomi. Karena itu, manakala peneliti budaya simbolik mengabaikan
lokasi, ruang, aksi, dan menganggap
dirinya otonom, ini adalah titik
kelemahannya.
Dari dialog itu, ternyata peneliti budaya
interpretatif yang dipelopori Geertz, dengan hormat, harus mengakui
kelemahannya. Kalau dulu Geertz `ngobrak-abrik’ tesis Goodenugh tentang fenomenologi,
sekarang ia harus mulai merenungkan lagi kehebatannya. Hal ini berarti bahwa
dalam penelitian budaya, tak ada frame yang `paling super’. Pendekatan Geertz,
bukanlah `panglima’ yang harus dinomorsatukan. Tak harus `dipuji’ tetapi perlu
`diuji’ terus-menerus. Perlu dicamkan komentar Jerome Rcesseou, bahwa budaya
itu adalah persoalan konstruksi metodologi, terkait dengan aktivitas seseorang.
Kendati di dalam budaya ada sistem ekonomi, bahasa, taksonomi hewan dan
lain-lain, sistem ini tidak bisa diduga sebelumnya, lalu mengapa seorang
peneliti budaya sering membuat hepotesa budaya. Kalau budaya adalah teks,
bukankah teks akan bervariasi demikian pula interpretasi.
Akhimya Keesing secara tegas menyatakan,
dengan mengutip kata-kata estetis Berman (yang berasal dari Marx): kalau kita
mau jadi peneliti budaya interpretif, hendaknya datang sebelum semua “benda
padat mencair”. Dengan bahasa yang sederhana, Rik Pinxten
menyatakan (mengutip Keesing lagi) bahwa
persoalan informan sering terabaikan dalam tafsir kebudayaan. Artinya,
pengetahuan informan sering berbeda, sehingga pemahaman teks pun berbeda pula.
Karena itu, diusulkan agar etnografi merupakan hasil proses dua arah; yakni
etnografer boleh saja memiliki selera namun harus tetap dikontrol oleh
informan. Keinginan Pinxten inilah yang dalam bahasa penelitian sering disebut
dengan `triangulasi’ data.
Untuk menghindari `perdebatan’ yang
panjang, yang mungkin sulit terselesaikan, perlu disadari hakikat kehadiran
pendekatan interpretif sendiri. Peneliti budaya sebagai teks, tidak untuk
mencari generalisasi yang valid dan bersifat universal atau pun untuk memahami
struktur logika yang ada di balik fenomena sosial budaya, tetapi lebih untuk
memperoleh pemahaman. Asumsi terpenting pendekatan ini adalah bahwa manusia
merupakan makhluk simbolik, makhluk yang menggunakan dan mengembangkan
simbol-simbol untuk berkomunikasi. Bahkan menurut Geertz, manusia terjerat
pada jaringan makna. Jaringan yang menjerat atau merajut ini adalah
“kebudayaan”. Pendek kata, kebudayaan tidak untuk dijelaskan keberadaannya,
melainkan untuk dipahami maknanya.
Terlebih lagi, kalau Todorov
(1983:156-157) menyatakan bahwa malrna itu ada dalam proses penafsiran yang
terintegrasi, mengapa harus dipermasalahkan dengan `kerut dahi’? Kalau
interpretasi itu mampu mengkombinasikan unsur-unsur, tidakkah `tarik tambang’
pendekatan yang sifatnya epistemologis-teknis itu bisa diakhiri. Akhirnya, kita
tetap akan bisa melukiskan budaya – yang tajam dan terpercaya (adopsi
istilah penyiar Liputan 6 SCTV).
Manakala kita belum puas, memang tidak
berlebihan jika menengok ulasan Strathern yang telah mengalir ke arah
postmodernisme. Kalau toh Keesing masih terlalu ngotot dengan `rujukan’ dalam
tafsir kebudayaan, sementara hal itu kecil kemungkinannya, Strathern menawarkan
arahan baru – yalrni postmodernisme yang lebih bebas rujukan dan juga makna.
Etnografi potmodernisme yang dipelopori Tyler, merupakan teks yang disusun
bersama pembaca dan penulis. Claim penting dari aliran ini, menurut Strathern
adalah adanya makna budaya yang hidup dalam penyusunan kembali konstan dalam
arus
gambaran dan kesamaan, tetapi tidak bisa
langsung disampaikan dari pikiran ke pikiran, tetapi hanya diuraikan,
digambarkan dan diumpamakan.
Kalau begitu, saran Keesing dalam artikel
lain, yang berjudul “Toward a Model of Role Analysis”, bukanlah keharusan dan
bukan wajib – hanya altematif dari sekian pilihan saja. Maksudnya, jika dalam
artikel ini, Keesing (1973:436) memberikan contoh untuk menganalisis `peran
ayah’ pada suku Kwaio, observasi, analisis “etnoscience”, dan validitas
psikologis – tidak akan menyelesaikan seluruh kerapuhan pendekatan interpretif.
4. Lebih Indah dari Warna Asli
Keberatan lain yang muncul adalah bahwa
kajian-kajian kebudayaan oleh para ahli peneliti budaya interpretif kemudian
akan menjadi karya-karya “yang lebih indah daripada warna aslinya”. Bahkan yang
lebih ekstrem karya-karya tersebut akan menjadi “fiktif’. Benar tidaknya hal
ini, perlu mencermati, antara lain karya inter-’ pretatif Geertz (1971:1-37)
yang cukup `menggegerkan’ yalani ketika membahas “Deep Play: Note on the
Balinese Cockfight”. Begitu pula perlu melihat perkembangan , baru peneliti
budaya yang sangat terpengaruh oleh dunia sastra.
Tafsir budaya Geertz, tentang Sabung Ayam
akan terlintas pada sebuah komunitas kecil di Bali, yaitu tentang dunia
permainan (baca: perjudian) yang diminati oleh orang Bali. Di balik semua itu,
Geertz dengan mengutip Bentham, menyebut `permainan mendalam’, di dalam
permainan itu memang terkandung dramatisasi keprihatinan status sosial di Bali
sebagai sebuah perjuangan hidup yang harus dipertaruhkan. Yang menarik dari
Geertz, terutama simpulan bahwa Bali adalah negara sandiwara, yakni bukan
struktur kekuasaan melainkan struktur upacara. Seluruh perpajakan, kelabilan berdarah,
negara berpenduduk padat, kontrol ekonomi oleh padagang Cina, semua ini hanya
merupakan penjabaran seni pada teks menarik yang merupakan perubahan sosial di
Bali. Pandangan ini pada akhirnya mengarah pada pandangan pengorbanan menusia
Aztec sebagai ibadah agama, kehidupan sebagai perpaduan makna.
Ketika saya menanyakan langsung dalam
berbagai kesempatan kepada orang Bali (saudara Putu Sudarma, Pande Made K.N.,
Ketut Sunarya, dan Ni Nyoman Seriati), masing-masing menyatakan bahwa Geertz
terlalu `licin’ dan estetis dalam menafsirkannya. Keberadaan aslinya memang
sangat sederhana, namun ketika menjadi teks Geertzan, ceriteranya, gayanya
menjadi lain. Dari keunggulan `fiktif Geertz, sangat mungkin bila orang Bali
itu justru `terkejut’ dan sebaliknya merasa harus belajar juga dalam memaknai
budaya miliknya.
Hal semacam itu memang ada aspek negatif
dan positifnya. Aspek negatif, akan timbul manakala ada pemilik budaya bersikap
kolot yang kadang-kadang memusuhi tafsiran etnografer. Pemilik budaya
seringkali menganggap etnografer telah memanipulasi budaya. Mungkin, pada taraf
yang lebih kasar lagi, pemilik budaya akan merasa tersesat atas tafsiran
etnografer. Bagi peneliti luar, mungkin, akan nggebyah uyah terhadap `agama
Jawa’ yang diungkapkan Geertz itu. Ini berarti bahwa karya Geertz tidak bisa
berlaku kolektif di seluruh Jawa. Sebaliknya, aspek positif juga diakui oleh
Paul Stange atas jasa Geertz, bahwa Muhammadiyah di Pare ternyata akan lebih
maju ketika membaca karya Geertz. Orang Jawa, di luar Pare pun, mungkin akan
angkat topi terhadap kebesaran Geertz atas Abangan, Santri dan Priyayi –
sedikitnya mereka lalu bisa mengaca bahwa ada aroma budaya dalarn masyarakat
Jawa yang masih tetap eksis.
Memang, disadari atau tidak, peneliti
budaya sebagai teks yang sering lebih indah dari aslinya – tidak akan lepas
dari imajinasi etnografer. Terlebih lagi, jika etnografer juga seorang penulis,
atau bahkan seorang sastrawan, besar kemungkinan bahwa karyanya akan menjadi
lebih estetik. Di satu sisi, etnografi semacam ini memang membingkai,
mendekorasi, dan membungkus-kadokan budaya, sehingga budaya lebih enak dibaca –
lebih mudah terpahami – di sisi lain memang sering dianggap kurang valid.
Apapun akibatnya, kita sebenarnya sulit bisa menolak kalau menengok sejarah
peneliti budaya, khususnya peneliti budaya yang telah terimbasi wacana sastra.
Dalam kaitan ini, Geertz (1988:27) pun dengan tegas memandang Tristes
Tropiques karya Levi-Strauss (dhedhengkot strukturalis)
– dikatakan sebagai text-building
strategies. Alasannya, Levi-Strauss adalah seorang “author-writer”.
Berdasarkan argumen itu, memang tidak
berlebihan jika dinyatakan bahwa karya-karya Levi-Strauss mempunyai nilai
sastra. Bahkan Colby dan Pecock (1973:613-632) sempat melirik bahwa
Levi-Strauss juga terpengaruh Morpology of Folktale dari Propp – terutama tesis
Propp yang strukturalis juga, yakni: “the description of the folktale according
to its component parts and the relationship of these components to each other
and to the whole”. Hal ini sekaligus mempertegas bahwa strukturalis juga dekat
dengan struktur sastra, terutama kajian folklor (mitos). Kedekatan ini, jelas
akan membuat `lipstik’ dalam penulisan dan penelitian etnografi.
Permasalahan yang segera hadir, dari
etnografi “fiktif’, imajinatif, fantastik, atau sejenisnya, memang tidak
sesederhana dari yang kita bayangkan. Sebab, muara dari semua itu akan
mempengaruhi metode penelitian dan penulisan etnografinya. Tentu saja, yang
harus segera disiapkan adalah nalar dan pikiran kita yang sering `menolak’
hal-hal (etnografi) fiktif itu. Mungkin juga akan lahir komentar yang kurang
akademis – etnografi estetik yang bernuansa sastra tidak ilmiah. Kendati
mungkin ada sebagian yang senang (termasuk saya) dengan model literer itu.
Paling tidak, kita tidak akan terbelenggu oleh fanatisme pada salah satu genre
etnografi. Pikiran menjadi bebas, tidak kaku, kering, terpaku, dan tetap
terkendali.
Tidakkah etnografi termaksud justru
menjadi benih lahirnya `bayi’ baru peneliti budaya yang berlebel
postmodernisme? Jika embrio potmomodern itu telah mengalami cercaan, cibiran,
kritik tajam, komentar pedas – bukankah `bayi’ itu lebih terlatih dan tidak
`prematur’ lagi? Mengapa, sekali lagi, `mengapa’ justru sering para ahli yang
sudah mapan kurang menghargai jerih payah, kurang mengangguk dengan kebaruan?
Padahal inovasi . itulah yang akan meloloskan etnografi orisinil?
Mau tidak mau, etnografi “fiktif” tadi
pada gilirannya akan melahirkan peneliti budaya postmodernisme atau
high-rnodernisme (istilah Ahimsa-Putra). Dalam tataran ini, batas-batas antara
karya etnografi dengan karya fiksi, bahkan surrealis pun, bisa kurang jelas.
Batas ini pun tidak harus diperdebatkan,
kendati tetap boleh dikritik. Hanya saja, bingkai kritik yang digunakan harus
tetap menggunakan frame baru juga, misalkan kritik surealis. Hal ini mengingat
obyek kritik itu sendiri (kebudayaan), menurut dia merupakan bangunan yang
“flexible construction”.
Salah satu figur yang ke arah demikian
adalah Clifford (1988:117-151) yang khusus membahas etnografi surrealis.
Singkatnya, dari buku yang didahului dengan pernyataan puistis itu, ia
menegaskan bahwa etnografi boleh
memainkan imajinasi. Etnografi boleh bergaya sastra, dan bahkan bergaya seni.
Tentu saja, seni yang tergolong upper-art, bukan sembarangan. Hal ini sejalan
dengan uraian Andrew dan Strathern (1975:347-356), bahwa kehadiran estetika
diijinkan dalam beretnografi. Estetika yang dimaksud, tidak harus berupa
kata-kata, melainkan dapat berupa gambar, dekorasi, foto, drama (gerak), dan
sebagainya.
5. Langkah Interpretasi
Apa pun resiko dan alasannya, analisis
budaya interpretif sebenarnya tetap mendapat tempat tersendiri. Analsis
interpretasi justru akan mampu mengungkap makna di balik fenomena real dan
abstrak. Bahkan, menurut mereka hampir tidak ada penelitian mana pun yang
sebenarnya menolak kehadiran penafsiran. Karena, tanpa penafsiran sedikit pun
sesungguhnya penelitian itu tersebut menjadi berkadar lemah. Paling tidak,
peneliti tidak akan memahami apa yang hakiki dari fenomena yang tampak.
Hal tersebut juga didasari proposisi
bahwa setiap gerak yang terpantul pada fenomena budaya penuh dengan simbol.
Simbol hanya akan bermakna ketika ditafsirkan. Memang, penafsiran ini bisa
hadir dari peneliti maupun orang yang diteliti. Jika hadir dari peneliti,
berarti mengandalkan kekuatan teori yang bersifat positivisme, dan bila
penafsiran mengandalkan pada pemilik budaya berarti mengandalkan sifat
naturalistik. Kedua cabang penafsiran ini, samasama kuat dan bisa dibenarkan.
Namun demikian, sebagian besar penafsiran yang dipandang bagus manakala hadir
dari si pemilik
budaya.
Dalam kaitan itu, Turner (1967:20)
memberikan rambu-rambu agar penafsiran simbol budaya selalu dikaitkan dengan
faktor-faktor lain, seperti tindakan sosial. Misalkan saja apabila
peneliti kebetulan meneliti simbol ritual, pemahaman dan penafsiran dapat
dilakukan melalui pengkategorian data menjadi tiga kelompok, yaitu: (a) bentuk
eksternal dan karakteristik dari hal-hal yang dapat diamati, (b) penafsiran yang
diberikan oleh orang ahli dan orang awam, (c) signifikansi konteks yang
biasanya dikerjakan oleh orang-orang di luar antropolog.
Dari tiga hal tersebut, tampak bahwa
penafsiran simbol budaya membutuhkan kecermatan data. Pengolahan data perlu
memperhatikan pengamatan yang serius terhadap fenomena. Peneliti perlu
menggali penafsiran dia para ahli dan orang awam. Para ahli dari keduanya tentu
memiliki implikasi yang berbeda. Keduanya saling melengkapi dalam penafsiran
dan tidak boleh dipandang remeh satu sama lain. Lebih penting lagi dalam
penafsiran diperlukan konteks. Penafsiran kadang-kadang juga membutuhkan
inferensi. Pengambilan inferensi perlu memperhatikan aspek-aspek relativitas
deep level makna. Tingkat kedalaman makna akan berhubungan dengan nilai-nilai
simbol itu sendiri: Dalam hal ini peneliti diharapkan mampu masuk ke dalam
rongga-rongga fenomena budaya. Penafsiran budaya menurut Ricoeur (Dillistone,
2002:130) harus melampui makna harafiah.
Rambu-rambu yang biasa ditempuh oleh
pengkaji budaya secara hermeneutik adalah seperti ditekankan Gadamer
(Sugiharto, 2001: 31 dan 82) adalah konsep “pemahaman”. Pemahaman berarti
membuat interpretasi terhadap gejala. Tugas penafsir budaya adalah menjelaskan
persoalan mengerti, yaitu dengan cara menyelidiki setiap detail proses
interpretasi. Interpretasi adalah sensus non est inferendus sed efferendus,
artinya malrna bukanlah diambil dari kesimpulan melainkan harus diturunkan
bersifat instruktif. Jadi seorang penafsir tak boleh pasif, melainkan harus
merekonstruksi makna. Langkah yang perlu ditempuh dalam interpretasi meliputi
empat hal sebagai berikut:
(1) bildung, artinya identik dengan
culture. Hal ini merupakan
cerminan budaya individual yang dibentuk
oleh lingkungan, sejarah, dan bebas dari hal-hal yang kasuistik. Bildung juga
berkaitan dengan fenomena budaya yang merekam keindahan, bermoral, dan
beradab. Kesempurnaan dari penafsiran akan terkait dengan hal-hal yang berguna
bagi pendukungnya.
(2) sensus communis, yaitu refleksi
kebijaksanaan seseorang, kearifan hati, dan kemanusiaan. Ini merupakan
tampilan budaya individu, bukan kolektif, yang patut dipertimbangkan.
(3) practical reason, artinya
pertimbangan moral terhadap penafsiran kebudayaan. Makna yang bagus mustinya
akan mempertimbangkan kaidah-kaidah moral yang berguna bagi pemilik kebudayaan.
(4) taste, yaitu peneliti mampu menemukan
makna budaya sampai ke tingkat selera masing-masing individual. Selera
masing-masing individu sering berbeda, sehingga memerlukan pemahaman yang
mendalam.
C. ETNOSAINS DAN ETNOMETODOLOGI
Etnosains dan etnometodologi adalah
dua model kajian budaya yang tergolong modern. Keduanya dapat dimanfaatkan oleh
peneliti budaya. Etnometodologi sebenarnya banyak diterapkan pada ilmu sosial.
Namun, dalam budaya pun kiranya boleh menggunakan model penelitian ini.
Etnometodologi dipelopori oleh Harold Garfinkel (Muhadjir, 2000:129). Model
penelitian ini merupakan cara pandang kajian sosial budaya masyarakat
sebagaimana adanya. Jadi, dasar filosofi model penelitian semacam ini juga
fenomenologi.
Model ini menitikberatkan bagaimana
pendukung budaya memandang, menjelaskan, dan menggambarkan tata hidup mereka
sendiri. Peneliti akan mengungkap bagaimana seorang individu maupun kelompok
memahami kehidupannya. Subjek penelitian tak harus masyarakat terasing,
melainkan masyarakat yang ada di sekitar kita. Bagaimana orang atau suatu
kelompok memandang budayanya, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia
tempat mereka
hidup. Common sence menjadi modal penting
dalam model ini. Common sence akan dilihat di lapangan penelitian. Realita
menjadi suatu hal yang sangat penting bagi model ini.
Dengan kata lain, etnometodologi lebih
banyak untuk mengungkap budaya dalam konteks interaksi sosial. Dalam hal ini,
bahasa sebagai medium interaksi pun perlu diperhatikan sungguh-sungguh.
Tiap-tiap pemilik budaya biasanya memiliki bahasa khas sebagai medium interaksi
sosial. Etnometodologi termasuk kajian yang berbau postpositivistik. Paradigma
yang dibangun oleh paham ini senada dengan etnosains yang berusaha
mendeskripsikan budaya, tradisi, keyakinan, masyarakat itu sendiri. Kesadaran
pemilik budaya tentang miliknya menjadi pangkal tolak etnosains.
Etnosains adalah salah satu teori
penelitian budaya yang relatif baru. Kata etnosains berasal dari kata Yunani
ethnos yang berarti bangsa, dan Latin scientia artinya pengetahuan. Maksudnya,
etnosains adalah pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas budaya. Etnosains
merupakan ilmu yang mempelajari atau mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-tipe
kognitif budaya tertentu. Tekanannya adalah pada pengetahuan asli dan khas
suatu komunitas budaya.
Menurut Haviland (1985:13) etnosains
adalah cabang pengkajian budaya yang berusaha memahami bagaimana pribumi
memahami alam mereka. Pribumi biasanya memiliki ideologi dan falsafah hidup
yang mempengaruhi mereka mempertahankan hidup. Atas dasar ini, dapat dinyatakan
bahwa etnosains merupakan salah satu bentuk etnografi baru (the new
ethnography). Etnosains sering disejajarkan dengan etnometodologi. Hanya saja,
etnometodologi lebih banyak digunakan pada penelitian sosial, sedangkan bidang
budaya cenderung ke arah etnosains. Keduanya memiliki akar dan arah yang kurang
lebih sama, yaitu menekan penelitian budaya dari subjek.
Melalui etnosains, sebenarnya peneliti
budaya justru akan mampu membangun teori yang grass root dan tidak harus
mengadopsi teori budaya barat yang belum tentu relevan. Penelitian etnosains
terhadap fenomena budaya selalu berbasis etno dan atau folk. Pangkal kajian
selalu berpusar pada pemilik budaya.
Kajian etnosains, tidak lagi memandang
budaya dari aspek
peneliti, melainkan berlandaskan pengalaman
empiris. Budaya diangkat berdasarkan pendapat dari pemilik budaya, tanpa campur
tangan peneliti yang berarti. Peneliti tidak bermaksud menilai atau mengeklaim
apakah pandangan mereka benar atau keliru, tepat atau tidak tepat, dan
seterusnya. Tugas peneliti lebih ke arah menjelaskan kepada publik tentang
pandangan-pandangan mereka. Peneliti bertugas mensistematiskan pandangan
mereka ke dalam bentuk laporan hasil penelitian.
Kehadiran etnosains, menurut Ahimsa-Putra
(1985:104) memang akan memberi angin segar pada penelitian budaya. Meskipun
hal demikian bukan hal yang baru, karena sebelumnya telah mengenal verstehen
(pemahaman), namun tetap memberi wajah baru bagi penelitian budaya. Oleh
karena, memang banyak peneliti budaya yang secara sistematis memanfaatkan
kajian etnosains.
Memang belum ada kesamaan pendapat
mengenai istilah etnosains dikalangan peneliti budaya. Istilah ini ada yang
menyebut cognitif anthropology, ethnographic semantics, dan descriptive
semantics. Berbagai istilah ini muncul karena masing-masing ahli memberikan
penekanan berbeda, namun hakikatnya adalah ingin mencari tingkat ilmiah kajian
budaya. Tingkat ilmiah tersebut dirunut melalui model klasifikasi data yang
akurat. Dasar klasifikasi juga menurut pandangan pemilik budaya. Jadi,
penelitian ini cenderung ke arah pendekatan naturalistik budaya.
Peneliti etnosains sangat menghargai ilmu
pengetahuan yang diberikan oleh native speaker. Native speaker kemungkinan akan
mengungkapkan bahasa asli dan keyakinan asli dengan sejumlah ilmunya, itulah
yang diangkat oleh peneliti. Peneliti tinggal mengklasifikasikannya. Dengan
demikian, andaikata ada makna sebuah budaya, adalah makna yang diberikan atau
ditemukan di lapangan.
Pengumpulan data juga tidak berbeda
dengan penelitian etnografi, menggunakan pengamatan dan wawancara. Setelah
data terkumpul, pengklasifikasian atau kategorisasi dapat dilakukan oleh
peneliti. Kategorisasi tersebut sebaiknya ditunjukkan kepada informan, dan
kalau mungkin informan boleh ikut mengklasifikasikan sendiri. Justru
klasifikasi informan ini yang lebih asli, dibanding peneliti.