Teori-Teori
Tentang Budaya*
Roger
M. Keesing[1]
Pendahuluan
"Budaya Yanomamo",
"budaya Jepang", "evolusi budaya", "alam versus
budaya": kita para ahli antropologi masih terus menggunakan kata budaya
tersebut, dan kita masih mengira bahwa kata budaya tersebut punya suatu arti.
Namun, dengan memperhatikan cara kerabat primate kita, seperti
Chimpanzee, Gorilla, dan Orang Utan mempelajari tradisi-tradisi setempat,
menggunakan peralatan, dan menggunakan simbol-simbol dengan cekatan, kita tidak
dapat lagi berkata dengan seenaknya bahwa "budaya" adalah warisan tingkah
laku simbolik yang membuat makhluk manusia menjadi "manusia".Jadi
dengan memperhatikan gerak perubahan dan keanekaragaman individualitas, kita tidak
dapat lagi dengan mudah berkata bahwa "satu budaya" adalah satu
warisan yang dimiliki bersama oleh sekelompok manusia dalam suatu masyarakat
tertentu. Selanjutnya, kita makin menyadari bahwa pandangan yang holistik
terhadap budaya seperti yang disimpulkan oleh Kroeber dan Kluckhohn dalam tahun
1950-an adalah mencakup terlampau banyak hal,. dan juga ku -
rang
tajam, untuk digunakan bagi menelaah pengalaman manusia yang begitu rumit dan
untuk
menafsirkan pola-pola kerumitan pengalaman manusia tersebut.
Tantangan masa kini adalah menemukan cara
untuk mempertajam konsep "budaya", sedemikian rupa, sehingga konsep
itu mempunyai cakupan [terdiri atas bagian-bagian] yang lebih sedikit tetapi
mengungkapkan hal yang lebih banyak. Seperti dikatakan oleh Geertz (30, him.
4), "pemotongan konsep budaya . . . [ke dalam] satu konsep yang tajam,
mengkhusus, dan secara teoritis lebih kuat adalah satu tema besar dalam perteorian
antropologi modern".2 Dalam pandangan ini, secara tersirat tcrlihat satu
asumsi yang dimiliki oleh hampir keseluruhan dari kita. Saya pikir konsep
budaya (culture) tidak punya satu arti yang benar, dikeramatkan dan tak
pernah habis kita coba temukan. Tetapi, seperti halnya simbol-simbol lain,
konsep ini mempunyai makna saat kita memakainya; dan sebagaimana konsepkonsep
analitik
lainnya, pemakai konsep ini harus membentuk—mencoba sedikitnya setuju pada—pengelompokan
gejala alam, (di mana) konsep ini dapat diberi label secara [2]sangat
strategis.
Dan
seperti diramalkan, ahli-ahli antropologi modern belum tentu sepaham dalam menentukan
cara yang terbaik untuk mempersempit dan mempertajam konsep pokok yang mereka
warisi dari para pendahulu mereka itu.
Dalam uraian berikut ini, saya akan membuat
sebuah ringkasan mengenai pemikiran-
pemikiran
masa kini tentang budaya. Pemikiran-pemikiran ini dapat dibagi ke dalam empat
bidang yang utama. Setelah membicarakan dengan singkat perkembangan masing- masing
bidang,3 saya akan mencoba menyoroti isu-isu terminologi, filosofi, dan substantif
yang memisahkan ahli-ahli teori besar. Dalam prosesnya nanti saya akan membicarakan
implikasi dari pemikiran-kembali (rethinking) ini terhadap sejumlah
pertanyaan yang klasik dalam ilmu antropolo - gi, misalnya: bagaimana caranya
budaya berkembang dan kekuatan apa yang membentuk mereka? Bagaimana caranya
budaya dipelajari? Bagaimana caranya sistem simbol yang dimiliki bersama
merasuk ke dalam dunia pikiran individu? Seberapa jauhkah budaya-budaya
tersebut berbeda-beda dan unik? Apakah pola-pola universal yang mendasari keanekaragaman
budaya? Bagaimana caranya deskripsi kultural dimungkinkan?
Budaya
Sebagai Sistem Adaptif
Satu perkembangan penting dalam
teori kultural berasal dari aliran yang meninjau kebudayaan dari sudut
pandangan evolusionari. Satu jembatan antara kajian-kajian tentang
evolusi
makhluk hominid (seperti Aus-tralopithecus dan Pithecanthropus)
dan kajian- kajian tentang kehidupan sosial makhluk manusia telah membawa
kita kepada pandangan yang lebih jelas bahwa pola bentuk biologis tubuh manusia
adalah "open ended", dan mengakui bahwa cara penyempurnaandan
penyesuaiannya melalui proses pembelajara kultural (cultural learning) memungkinkan
manusia untuk membentuk dan mengembangkan kehidupan dalam lingkungan ekologi
tertentu. Penerapan satu model evolusionari seleksi-alam atas dasar biologis
terhadap bangunan kultural telah membuat ahliahli antropologi bertanya dengan
kearifan yang makin tinggi tentang cara bagaimana komuniti manusia
mengembangkan pola-pola kultural tertentu.
Sejumlah besar penerbitan, populer
dan teknis, telah membahas tentang pentingnya dan
tentang saling keterkaitan antara komponen biologis dan komponen kultural dalam tingkah
laku manusia. Agresi, teritorialitas, peranan-peranan jenis kelamin, ekspresi
wajah, seksualitas,
dan ranah-ranah lain di mana kultural dan biologis saling terkait telah dibicangkan
orang tanpa putus-putusnya dan seringkali tanpa perasaan (mindlessly). Dari semua
perbincangan ini kita dapat menarik dua kesimpulan singkat.
Pertama, setiap pemikiran bahwa
apabila kita menguliti lapisan konvensi kultural maka
pada akhirnya kita akan menemukan Primal man dan keadaan manusia yang
bugildi
dasarnya, merupakan pemikiran yang steril dan berbahaya. Kita memerlukan satu
model interaksional
yang kompleks, bukan satu pelapisan yang sederhana seperti itu (19, 25). Kedua,
baik determinisme ekologis maupun determinisme kultural yang ekstrem sekarang dapat
didukung oleh kepercayaan dan ideologi, tetapi tidak oleh ilmu pengetahuan yang
arif bijaksana. Yang perlu untuk ditelusuri adalah cara-cara bagaimana garis
acuan biologis ditransformasikan dan dikembangkan ke dalam pola-pola kultural;
dan ini memer-lukan rencana penelitian yang imajinasi dan hati-hati dan
penyelidikan yang telaten, bukan polemik-polemik dan sensasionalisme.
Bagaimana khasnya budaya-budaya
manusia, meskipun terdapat diskontinuitas dalam evolusi makhluk hominid, telah
dibincangkan dengan panjang lebar oleh Hollo -
way
(45), Alland (2, 5), Montagu (59), dan lain-lain. Satu isu yang penting di sini
adalah bagaimana dan pada tingkat mana bahasa vocal berkembang dan
hal-hal apakah yang mendahuluinya (44). Kalau kita berpegang pada bukti bahwa
satu bahasa vocal telah berkembang dalam kehidupan sosial manusia kurang
lebih 100.000 tahun yang lalu, maka satu "periode antara" yang
panjang muncul, yaitu satu periode ketika manusia-manusia
pertama
hidup dalam kelompok-kelompok pengembara, membuat alat-alat, berburu, dan
mungkin
hidup dalam ikatan keluarga berpasangan. Satu periode 2 juta tahun atau lebih
kehidupan
manusia kuno tanpa satu peraturan yang sempurna untuk komunikasi simbolik.
Pemahaman
kita tentang apa yang membuat makhluk manusia jadi "manusia" dan
bagaimana budaya berevolusi tidak ayal lagi akan terbuka dan berubah secara
mengagumkan dalam beberapa tahun yang akan datang.
Dari sudut pandang teori kultural,
perkembangan penting telah muncul dari pendekatan evolusionari/ekologis
terhadap budaya sebagai sistem adaptif. Pusat-pusat besar
perkembangan
pemikiran-kembali evolusionari/ ekologis adalah Michigan dan Columbia.
Dasar
yang diletakkan oleh Leslie White telah dipermak dengan kreatif oleh pakarpakar
seperti Sahlins, Rappaport, Vayda, Harris, Carneiro; dan oleh pakar-pakar
arkeologi yang theory minded seperti suami-istri Binford, Flannery,
Longacre, Sanders, Price, dan Meggers. Pendekatan-kembali (re-approachment)
arkeologi teoritis dengan antropologi ekologis muncul sebagai salah satu perkembangan
penting dalam dasawarsa yang lalu.
Ini tidak berarli bahwa terdapat
konsensus dalam memandang bagaimana sebaiknya
konsep
budaya didefinisikan atau bagaimana dan mengapa budaya berkembang dan berubah. baru-baru
ini, kritikan orang-orang Marxist terhadap materialisme budaya dari Harris,
perbedaan-perbedaan antara
ekologi-kultural dari Steward dan ekologi-manusia yang dianjurkan Vayda dan
Rappaport (8.1), perang sekte dan "arkeologi baru", semuanya membuktikan
adanya keanekaragaman dan percanggahan di antara mereka. Meskipun terdapat
keanekaragaman sekte tersebut, namun sebagian besar sarjana yang bekerja
mengikuti tradisi ini (untuk singkatnya mereka saya sebut "cultural
adaptionist")* sepakat dalam beberapa asumsi pokok. Asumsi-asumsi
tersebut adalah sebagai berikut: (a) Budaya adalah sistem (dari pola-pola tingkah
laku yang diturunkan secara sosial) yang bekerja menghubungkan komunitas
manusia dengan lingkungan ekologi mereka.
Dalam
"cara-hidup-komuniti" ini termasuklah teknologi dan bentuk organisasi
ekonomi, pola-pola menetap, bentuk pengelompokan sosial dan organisasi politik,
kepercayaan dan praktek keagamaan, dan seterusnya. Bila budaya dipandang secara
luas sebagai sis - tem tingkah laku yang khas dari suatu penduduk, satu
penyambung dan penyelaras kondisi- kondisi badaniah manusia, maka perbedaan pandangan
mengenai budaya sebagai pola -pola dari (pattern -of) atau pola-pola untuk
(pattern -for) adalah soal kedua.
Budaya
adalah semua cara yang bentuk bentuknya
[1].* Judul asli:
"Theories of Culture," Annual Review of Anthropology (1974).
Diterjemahankan olehAmri Marzal
0 komentar:
Posting Komentar